Busung lapar ditetapkan sebagai KLB

Sabtu, 28 Mei 2005

YOGYAKARTA --Sekitar 8 persen anak balita di Tanah Air, sebenarnya menderita penyakit ini. Menteri Kesehatan RI Dr Siti Fadilah Supari SpJP (K), menyatakan bahwa penyakit busung lapar yang menimpa anak balita di Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ini, sebagai peristiwa Kondisi Luar Biasa (KLB) Nasional. Untuk mengatasi penyakit tersebut, pemerintah pusat meminta pemerintah daerah setempat untuk mengatasi lebih dulu. ''Tapi karena sudah menjadi kondisi luar biasa, pemerintah juga akan membantu mengatasi penyakit itu,'' kata Menkes kepada wartawan di Yogyakarta, Jumat (27/5).
Menkes berada di kota ini dalam rangka membuka acara Muktamar III Assosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) di Yogyakarta, kemarin. Muktamar tersebut dihadiri sekitar 48 utusan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Menkes mengatakan, berkaitan dengan penyakit busung lapar tersebut, pihaknya telah mengirimkan tim tenaga medis untuk membantu penanganan. Mereka akan bertugas beberapa pekan untuk membantu tenaga medis daerah setempat mengatasi KLB Busung Lapar.
Menkes sendiri menyebutkan, kasus bayi yang menderita penyakit busung lapar, sebenarnya terjadi hampir sepanjang tahun. Bahkan menurut catatan Depkes, sekitar 8 persen anak balita di Tanah Air, menderita penyakit ini. ''Khusus di NTB, jumlahnya memang lebih banyak dibanding daerah lain di Indonesia. Mungkin mencapai 10 persen dari jumlah bayi yang ada di daerah itu,'' jelas Menkes. Menkes juga menyebutkan, dalam penanganan masalah kesehatan balita ini, pemerintah melalui Departemen Kesehatan, sebenarnya sudah mengalokasikan anggaran tersendiri. Pada tahun 2005 ini, pemerintah telah menganggarkan dana Rp 150 miliar, khusus untuk pemulihan gizi melalui program makanan tambahan bagi balita dan ibu hamil.
Namun sayangnya, kata Menkes, pemberian makanan tambahan tersebut tidak bisa mengcover seluruh anak balita di Tanah Air. Bisa karena alasan transportasi atau alasan lainnya.Ditanya tentang penyebab busung lapar, Menkes mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah kondisi balita yang kurang gizi. Soal kenapa sampai terjadi kurang gizi, umumnya karena bayi itu berasal dari keluarga yang betul-betul miskin. Tapi bisa juga akibat kekurang-tahuan ibu terhadap kebutuhan gizi anak balitanya. ''Bisa juga akibat sakit berkepanjangan yang tidak kunjung sembuh sehingga balita tersebut menjadi kurang makan,'' tambah Menkes.
Karena itu, masalah penyakit busung lapar ini, sebenarnya bukan hanya persoalan Departemen Kesehatan saja. Tapi menjadi tanggung jawab beberapa departemen terkait, karena penyakit busung lapar biasanya terjadi pada anak-anak balita dari kalangan keluarga tidak mampu. Untuk itulah, Menkes menyebutkan bahwa penanganan kasus busung lapar di NTB dan di daerah lain, harus tangani secara komprehensif dengan melibatkan instansi terkait lainnya. ''Soal bagaimana meningkatkan kehidupan rakyat agar tidak miskin, bagaimana meningkatkan pertanian rakyat, tentunya merupakan urusan departemen lain. Jadi tidak hanya Depkes yang mendapat beban,'' tegas Menkes.
Sementara itu saat menjadi pembicara di Muktamar III AIPKI, Menkes mengatakan, setiap fakultas kedokteran yang didirikan di perguruan tinggi, seharusnya memiliki rumah sakit sendiri. Karena kalau tidak, fakultas kedokteran itu seperti keong yang tidak memiliki rumah. Berkaitan dengan kondisi itu, Menkes mengaku pihaknya sedang berupaya mengembangkan berdirinya rumah sakit pendidikan di seluruh Indonesia. Salah satu langkah yang ditempuh Depkes, adalah dengan meminta Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Dalam Negeri untuk melakukan kerjasama. Namun sayangnya, kata Menkes, harapan kerjasama untuk mendirikan hospital university tersebut, sejauh ini belum mendapat tanggapan memadai dari Depdiknas. ''Saya jadi seperti bertepuk sebelah tangan'', terang Menkes.
Sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=199309&kat_id=6

Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Membangun bangsa, menghapus busung lapar

Kompas Jumat, 30 September 2005

Pengantar Redaksi:
Dibandingkan dengan flu burung, polio, dan mungkin sebentar lagi demam berdarah, busung lapar memang tidak ”seksi”. Meski membuat masa depan suram karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, dampaknya tidak langsung terasa sehingga isu busung lapar hilang ditelan ingar-bingar persoalan negeri ini. Maka, diskusi panel Kompas, 6 September 2005 -- hasil kerja sama dengan Jaringan Solidaritas Pencegahan Busung Lapar -- mencoba mengangkatnya. Sebagai panelis hadir Butet Kertarajasa (seniman), Sri Palupi (Institute for Ecosoc Rights), Rachmat Sentika (dokter anak), dan moderator Benny Susetyo (pengamat sosial). Hadir pula Siti Musdah Mulia (Koordinator Jaringan Solidaritas untuk Penanggulangan Busung Lapar), Jalaluddin Rahmat (pengamat sosial), dan Ratna Riantiarno (seniman). Hasilnya adalah dua tulisan di bawah ini.
***
Oleh: Agnes Aristiarini
Santiago memandang kawanan dombanya. ”Mereka hanya peduli pada makanan dan air. Hari-hari mereka tak pernah berubah, selalu di antara matahari terbit dan terbenam. Mereka tak pernah membaca buku, tak pernah paham keindahan suatu kota.”
Renungan penggembala yang mencari takdirnya seperti digambarkan Paulo Coelho dalam bukunya, The Alchemist (2003), tampaknya tak berlaku di negeri ini.
Santiago bisa menjual dombanya dan kemudian pergi mengembara. Dalam kehidupan nyata, sebagian yang beruntung lahir di keluarga mampu sibuk mengejar cita-citanya: bersekolah, membaca, dan segala aktivitas lainnya. Namun, sebagian besar lagi ternyata masih pada taraf mengais remah-remah rezeki. Jangankan baca buku, hari ini bisa makan saja masih tanda tanya.
Hingga tujuh tahun pascakrisis ekonomi, Indonesia belum juga beranjak bangkit. Sampai tahun lalu, 36,1 juta penduduk masuk kategori miskin absolut yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.
Harga bahan pokok yang terus melambung tak terjangkau, sementara kebijakan ekonomi tidak membuka lapangan kerja, membuat rakyat miskin terpuruk dan berakhir dengan busung lapar pada anak-anaknya.
Kembali ke awal
Tahun 1998, ketika krisis ekonomi mulai melanda, pemerintah menyelenggarakan Operasi Pasar Khusus (OPK) untuk mengatasi melambungnya harga bahan pokok yang tak terbeli lagi oleh rumah tangga miskin. Dengan segala kritik—karena menggunakan kriteria Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dianggap kurang pas—OPK dimulai Agustus 1998.
Kepada 17 juta keluarga yang perlu bantuan, diberikan kemudahan membeli beras 10 kg dengan harga Rp 1.000 per kg, kurang dari setengah harga pasar. Kemudian kebijakan direvisi dan penduduk miskin berhak membeli 20 kg beras.
Namun, kenyataan di lapangan ternyata memprihatinkan. Peter Stalker dalam Beyond Krismon, The Social Legacy of Indonesia’s Financial Crisis yang diterbitkan Unicef Innocenti Research Center (2000) menyebutkan, para staf lokal yang harus membagi beras itu mendapat tekanan sosial luar biasa.
Mereka harus memeratakan jatah sehingga akhirnya yang miskin mendapat kurang dari yang seharusnya. Bahkan, survei di beberapa kecamatan menunjukkan, beras untuk keluarga miskin malah lebih sedikit dari yang lebih kaya.
Penduduk miskin di perkotaan juga banyak yang tidak terjangkau karena mereka tinggal di kawasan yang tidak sah, tanpa KTP, sehingga tidak mendapat kartu miskin. Memang program OPK telah menyelamatkan jutaan rakyat miskin di Tanah Air meski tak semua bisa dijangkau. Namun, penerapan OPK yang baru dimulai Agustus itu tidak membendung jatuhnya korban busung lapar.
Mengutip hasil survei mutakhir Hellen Keller International antara Juni 1996-Juni 1998, status gizi ibu dan anak merosot bahkan yang di Jatim dan Jateng lebih rendah dibandingkan dengan Kalsel dan Sulsel. Jumlah absolut anak-anak kurang gizi di Pulau Jawa 7-10 kali lebih besar dibandingkan dengan pulau-pulau lain kecuali Sumatera.
Meningkatnya jumlah bayi yang kekurangan energi protein (KEP) maupun mikronutrien vital menjadi sumber kasus-kasus busung lapar enam bulan kemudian. Memang pemerintah telah meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan Rp 1,4 triliun yang langsung dikirim ke dokter puskesmas dan bidan desa di seluruh Indonesia, namun kasus busung lapar masih saja berjatuhan.
Tak ada perubahan
Bisa dikatakan, tahun 2005 keadaan tidak berubah. Dua pertiga dari 220 juta penduduk Indonesia kelaparan kalau diukur dari konsumsi kalori per harinya dan total masih ada 5,7 juta anak Indonesia kurang gizi, yang merupakan kandidat busung lapar. Mereka tersebar antara lain di Jawa Barat (107.500), Sumatera Barat (54.000), Nusa Tenggara Timur (94.920), dan berbagai pelosok Tanah Air.
Pemerintah pusat telah menganggarkan Rp 150 miliar untuk menanggulangi busung lapar ini dalam bentuk pengawasan, pemberian makanan tambahan, dan program kuratif untuk mengobati yang sudah busung lapar.
Pemerintah daerah seperti NTB mengaktifkan penimbangan massal dan sistem kewaspadaan pangan dan gizi, investigasi busung lapar, serta menjaga ketersediaan pangan.
Program-program tersebut sebenarnya tidak struktural dan lebih bersifat sebagai ”pemadam kebakaran” karena baru muncul saat ada masalah. Tidak ada program pencegahan jangka panjang yang bisa diandalkan untuk mengurangi jatuhnya korban busung lapar ke depan.
Padahal, besok (1 Oktober) pemerintah bakal menaikkan harga BBM lagi. Fakta menunjukkan, kenaikan harga BBM awal 2005 telah berbuntut munculnya kasus-kasus busung lapar enam bulan kemudian.
Memang pemerintah telah mengupayakan kompensasi subsidi BBM terutama untuk pendidikan dan kesehatan, namun ketidakefisienan birokrasi memperlambat dana ke yang berhak.
Masalah makin panjang karena kompensasi kesehatan ini bukan untuk memperbaiki status gizi masyarakat miskin dan revitalisasi puskesmas dan posyandu, tetapi untuk asuransi kesehatan. Akibatnya, busung lapar tetap jadi ancaman.
Seperti diketahui, asuransi kesehatan merupakan pendekatan pengobatan individual karena lebih bersifat kuratif. Dengan memiliki asuransi kesehatan, sebenarnya penduduk hanya dijamin saat dia jatuh sakit. Namun, asuransi ini tidak mengajak apalagi menstimulir penduduk bertindak preventif supaya tidak sakit dengan makan makanan bergizi.
Sebenarnya Indonesia punya dasar hukum yang sangat kuat dalam menanggulangi kasus busung lapar karena memasukkan hak anak dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, konstitusi yang menjamin tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak ini dalam kehidupan nyata amatlah memprihatinkan.
Rendahnya kesadaran akan kesehatan masyarakat tercermin dari anggaran negara untuk kesehatan yang hanya 0,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tak ada satu negara pun di Asia Pasifik dengan anggaran kesehatan serendah itu.
Filipina dan Vietnam, misalnya, masing-masing 1,5 persen. China 2,0 persen, sementara Thailand dan Malaysia masing- masing 2,1 persen.
Pemerintah daerah setali tiga uang. Di Kabupaten Takalar, misalnya, dari total APBD, 57 persen di antaranya untuk biaya rutin, termasuk perjalanan dinas dan membeli mobil. Anggaran untuk kesehatan hanya 2 persen dan pendidikan 1 persen. Di Jayawijaya 2 persen untuk kesehatan dan 5 persen untuk pendidikan.
Maka, kalau pemerintah mau bersungguh-sungguh menanggulangi busung lapar, selain yang mengubah yang paling mendasar, yaitu perbaikan persentase untuk anggaran kesehatan, paradigma sakitnya juga harus diubah menjadi paradigma sehat.
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat hidup sehat melalui empat kegiatan: perbaikan gizi (30 persen), perbaikan lingkungan (30 persen), perbaikan perilaku (30 persen), dan baru 10 persen sisanya untuk pengobatan dan pengadaan obat maupun alat kesehatan.
Dengan paradigma sehat, tidak hanya busung lapar yang bisa ditekan kasusnya, melainkan juga ledakan kasus demam berdarah, polio, campak, dan sebagainya. Sistem kesehatan dasar dikembalikan ke posyandu dan puskesmas, sementara privatisasi rumah sakit harus ditinjau kembali karena pemerintahlah yang berkewajiban memenuhi hak paling dasar rakyat: pangan dan kesehatan.
Keadilan ekonomi
Paradigma sehat ini harus disertai pemerataan dan keadilan ekonomi secara menyeluruh sehingga jumlah angka kemiskinan terus bisa dikurangi. Sistem ketahanan pangan harus dikembangkan untuk menjamin ketersediaan pangan dan gizi dengan harga terjangkau berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal.
Prioritas kebijakan pangan harus diarahkan pada kelompok yang paling rentan, demikian pula program-program kesehatan dan kesejahteraan lainnya.
Ciptakan aktivitas-aktivitas ekonomi produktif dan penyertaan sebanyak mungkin partisipasi dan kontribusi masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Intinya, buka kesempatan selebar-lebarnya bagi rakyat miskin untuk memberdayakan diri, dan karena itu program-program yang bersifat karitatif sebaiknya dihindari. Sumber kompas http://kompas.com/kompas-cetak/0509/30/humaniora/2089791.htm
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Penderita busung lapar di NTT bertambah

Pos Kupang Sabtu : 16 Jul 2005 00:59

Kupang, PK -- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kupang meminta Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat, terus memantau kondisi para penderita busung lapar, yang sedang dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit umum (RSU) Prof. Dr. WZ Johannes-Kupang.
Permintaan itu disampaikan dua anggota DPRD Kabupaten Kupang, masing-masing John Saitakela, A.Md dan Melitus Ataupah, S.H, secara ditemui secara terpisah, Jumat (15/7). Keduanya dihubungi terkait penanganan penderita busung lapar di daerah setempat. "Kami minta kepada instansi teknis agar selalu memantau perkembangan penderita busung lapar yang sedang dirawat di puskesmas dan di rumah sakit. Kesembuhan mereka adalah hal yang paling penting," ujar Saitakela.
Dikatakannya, persoalan busung lapar adalah masalah kemanusiaan yang tak boleh disepelehkan. Masalah itu harus ditangani sungguh-sungguh, apalagi kebanyakan penderita adalah anak-anak balita. Bila ada bantuan susu dan makanan bergizi, lanjut dia, maka hendaknya itu diberikan kepada yang membutuhkan. Jangan sampai dialihkan kepada pihak lain atau kepada mereka yang tidak terlalu membutuhkan.
Sementara itu, Melitus Ataupah mengatakan, pihaknya sangat menyesal dengan sikap pemerintah pusat yang kurang serius menangani masalah busung lapar di NTT. Ketidakseriusan itu terlihat dari belum adanya bantuan untuk penderita busung lapar dan marasmus di daerah ini.
"Kalau bisa, pemerintah segera kucurkan bantuan itu. Lebih cepat bantuan sampai di tangan penderita, akan lebih baik. Karena bantuan makanan bergizi itu sangat membantu pemulihan kesehatan mereka sebagaimana anak-anak lainnya," ujar Ataupah.
Dikatakannya, bila pemerintah pusat belum mengucurkan dana bantuan busung lapar, maka pemerintah kabupaten harus segera mengatasinya. Minimal dengan merealisasikan dana APBD untuk hal tersebut. (ans)

Korban tewas jadi 35 orang
ANAK-ANAK balita yang meninggal dunia di NTT akibat busung lapar kini tercatat sudah 35 orang. Jumlah ini berdasar-kan laporan terbaru pada awal pekan ini, yakni Senin (11/7). Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT, dr. Stef Bria Seran mengatakan hal itu, saat ditemui Pos Kupang, Rabu (13/7). "Jumlah penderita busung lapar yang meninggal di daerah ini sudah mencapai 35 orang. Para korban tewas itu tersebar pada delapan dari 16 kabupate/kota di NTT," ujar Bria Seran.
Dikatakannya, di NTT jumlah anak-anak balita seluruhnya sebanyak 477.829 orang. Dari jumlah tersebut, yang menderita gizi kurang 85.604 balita, gizi buruk 12.925 balita, marasmus 425 balita dan tujuh balita menderita kwashiokor.
Sedangkan para penderita busung lapar yang meninggal, lanjut dia, masing-masing Kabu-paten Kupang 5 orang, Kota Ku-pang 7 orang, Timor Tengah Se-latan (TTS) 4 orang, Timor Te-ngah Utara (TTU) 9 orang, Belu 2 orang, Alor 2 orang dan Sumba Timur 3 orang. Sementara di Kabupaten Rote Ndao, Manggarai Barat dan Manggarai masing-masing 1 penderita busung lapar yang meninggal.
Mengenai langkah preventif untuk menghindari jatuhnya korban susulan akibat penyakit ini, Seran mengatakan, perlu dilakukan intervensi berupa memberikan makanan tambahan bergizi bagi anak-anak balita penderita gizi buruk dan gizi kurang. "Memang pemerintah kabupaten/kota sudah melakukan intervensi dengan membagikan makanan tambahan bagi anak-anak balita. Namun hal itu belum maksimal, karena masih banyak anak balita yang belum mendapat bantuan," ujarnya.
Dikatakannya, yang perlu diperhatikan sekarang ialah perawatan serius selama 90 hari kepada para penderita. Karena menurut Bria Seran, bila anak-anak balita yang sudah dinyatakan sehat secara medis, harus diikuti dengan perawatan lanjutan di rumah dengan memberikan makanan bergizi.
Namun, kata dia, apabila ketersediaan makanan dalam rumah tangga tidak memadai, maka kemungkinan anak-anak balita yang sudah sehat akan kembali lagi menderita busung lapar, atau menderita gizi buruk. "Jadi, perawatan berkelanjutan sangat menentukan. Apabila sampai di rumah ternyata anak-anak itu tidak diberikan makanan yang mengadung gizi, maka mereka yang sudah sehat akan menderita lagi gizi buruk yang bisa mengarah pada busung lapar," tegasnya. (ben) Sumber Pos Kupang online: http://www.indomedia.com/poskup/2005/07/16/edisi16/1607kota1.htm
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Kadinkes TTU diduga sunat dana busung lapar

Kefamenanu, PK -- Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), dr. MS, M.M, diduga kuat menyunat dana busung lapar dan gizi buruk hingga ratusan juta rupiah. Caranya, MS memotong biaya transportasi, operasional posyandu dan dana penunjang serta biaya pembelian bahan makanan tambahan. Khusus pengadaan beras, dr. MS membeli beras kualitas buruk. Ia bahkan mengusir Kasie Gizi Dinkes TTU, Ny. Lin Fernandez, dari ruang kerjanya, dua pekan lalu, karena memrotes mutu beras busung lapar yang jelek tersebut.
Terkait kasus pengusiran dirinya oleh MS, Kasie Gizi di Dinkes TTU, Ny. Lin Fernandez, telah melapornya ke Bupati TTU, Drs. Gabriel Manek, M.Si. Sementara itu, Jumat (23/9) lalu, Ketua DPRD TTU, Agus Talan, S.Sos, telah memerintahkan Ketua Komisi D, Hironimus Banafanu, S.IP, agar memanggil dr. MS menghadap Dewan dan memberikan keterangan dan klarifikasi atas kasus itu.
"Saya akui telah mengusir Ny. Lin Fernandez dari ruang kerja karena ia memrotes mutu beras busung lapar itu. Dia bilang beras itu tidak layak dikonsumsi. Indikatornya apa? Jangan bilang begitu. Saya tersinggung sekali," jelas dr. MS, ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya, Senin (26/9) siang.
Saat dikonfirmasi Pos Kupang dan Timor Ekspress, Senin (26/9) siang, dr. MS nampak menahan emosi. Ia belum bersedia memberikan data yang diminta wartawan tentang berapa nilai bantuan pemerintah untuk penanganan kasus busung lapar dan gizi buruk di Kabupaten TTU. Begitu juga dengan data kepada wartawan tentang item bahan makanan tambahan apa saja yang telah dibeli, berapa banyak beras yang telah didroping ke 15 puskesmas dan 315 posyandu yang ada di TTU, biaya transportasi, dana operasional posyandu dan dana penunjang.
"Aduh, tolong dua hari lagi baru datang ketemu saya. Soalnya saya mesti koordinasikan dengan staf dulu," kata dr. MS. Namun sumber Pos Kupang di Kantor Dinkes TTU menyerahkan data-data yang dibutuhkan itu. Dalam data itu tercantum biaya pemberian makanan tambahan (PMT) bagi 1.332 anak penderita gizi buruk yang tersebar di 15 puskesmas sebesar Rp 158.241. 600,00. Sedangkan PMT untuk 6.203 anak penderita gizi kurang, dianggarkan Rp 368.458.200,00. "Sementara untuk dana operasional 315 posyandu, dianggarkan dana Rp 71.800.000,00," jelas sumber ini seraya menyerahkan fotokopi dokumen setebal 13 halaman itu.
Untuk dana penunjang penanganan gizi buruk, dianggarkan sebesar Rp 63.616.320,00, dana penunjang penanganan gizi kurang sebesar Rp 148.127.640,00. "Jadi total dana untuk PMT, operasional posyandu dan dana penunjang sebesar Rp 810.243. 760,00," jelas sumber ini. Selain itu, masih ada dana untuk pembelian susu sebanyak 4.521 kilogram yang menelan dana sebesar Rp 228.310.500,00.
Berikutnya, demikian sumber, pembelian beras tahap pertama sebanyak 13.560 kilogram senilai Rp 54.242.000,00, gula pasir 5.651,45 kilogram senilai Rp 36.770.800,00, minyak goreng 1.360,5 liter senilai Rp 15.823. 500,00. "Untuk pembelian beras, gula pasir dan minyak goreng, Pak dr. MS proyekkan dengan cara penunjukan langsung (PL) kepada anggota keluarganya, yaitu Toko S, Toko KB, dan toko UD A," jelas sumber ini.
Selain itu, untuk pembelian beras, dalam daftar pembelian tercantum beras dibeli dengan harga Rp 4.000,00/kilogram. "Kalau beras membramo atau beras lonceng, harga ini pantas. Tapi ternyata beras yang ada mutunya jelek. Mungkin harganya sekitar Rp 2.500,00/kg. Bagaimana gizi bisa diperbaiki kalau mutu makanan sangat jelek?" papar sumber ini.
"Akibat diprotes Kasie Gizi, Ny. Lin Fernandez terkait mutu beras yang jelek, dr. MS mengusir Ny. Lin Fernandez keluar dari ruangannya," tambah sumber ini.
Sumber ini juga memaparkan dr. MS diduga juga menyunat uang transpor petugas dari Kota Kefamennu ke puskesmas tujuan, dari puskesmas ke posyandu tujuan. "Selain itu uang transpor kader dan bidan desa dipotong tanpa pemberitahuan terlebih dahulu," jelas sumber. Ia meminta agar lembaga penyidik PNS dan Banwas Kabupaten TTU melakukan pemeriksaan terhadap kasus ini. (ade)
MS: "Kerja harus ada untung"
KADINKES TTU, dr. MS, yang dikonfirmasi Pos Kupang dan Timor Ekspress di ruang kerjanya, Senin (26/9) siang, mengakui telah mendengar ‘bisik-bisik’ tentang dugaan bahwa dirinya menyunat dana penanganan busung lapar. "Saya sudah dengar itu. Apalagi setelah saya mengusir Kasie Gizi, Ny. Lin Fernandez dari ruang kerja tempo hari. Saya usir dia karena sepertinya dia itu yang kadis kesehatan lalu mengatur-ngatur saya. Itu kurang ajar namanya," ujar dr. MS dengan nada marah.
Sebenarnya, kata dr. MS, tidak ada rekanan yang mau mengerjakan proyek penanganan busung lapar dan gizi buruk karena tidak ada untung sedikit pun. "Semua menolak ketika saya tawarkan pekerjaan ini. Alasan mereka, untungnya terlalu sedikit, bahkan tidak ada untung sama sekali. Untungnya cuma capek saja. Dan di seluruh NTT, cuma TTU saja yang sudah mulai kerja proyek ini. Tempat lain belum, karena kendala soal profitnya apa, gitu," jelas dr. MS.
Agar rekanan mau kerja proyek ini, demikian dr. MS, ia terpaksa melakukan beberapa ‘kebijakan’ agar rekanan yang bekerja bisa mendapat untung. "Orang kerja musti ada untung. Saya kepala sakit karena dana yang diplot dari Dinkes NTT terlalu kecil. Rekanan bekerja dengan bersungut-sungut. Saya pusing. Kalau ikut emosi, uang itu saya kembalikan saja ke Dinkes NTT. Daripada saya yang kena getah," tukasnya.
Lalu soal beras yang mutunya jelek? "Siapa bilang beras itu mutunya jelek? Dasarnya apa? Sekarang orang lapar dan butuh makan. Kita jangan bertengkar soal mutu. Sekarang lihat ke lapangan, ada orang lapar di sana. Itu masalah yang harus diselesaikan," jelas dr. MS sambil berjalan mondar-mandir dalam ruang kerjanya. (ade)
Sumber: Pos Kupang (http://www.indomedia.com/poskup) BERITA UTAMA - Rabu, 28 Sep 2005
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Gizi buruk di NTT tak pernah diteliti

Pemerintah rupanya belum pernah meneliti secara khusus guna mencari solusi kasus gizi buruk yang selalu menyerang balita di Nusa Tenggara Timur (NTT) setiap tahun. Hal itu disebabkan persoalannya sangat kompleks, dan perlu penyelesaian mendasar, menyangkut penanggulangan kemiskinan.
Demikian diungkapkan Kepala Pusat Penelitian Gizi Departemen Kesehatan, Sunarno Ranuwidjojo, di Jakarta, Selasa (11/9). "Masalah gizi buruk itu sangat kompleks. Bukan hanya masalah perilaku orangtua, tetapi juga menyangkut kemiskinan," katanya.
Menurut dia, untuk mengatasi gizi buruk tidak cukup hanya dengan memberikan makanan tambahan, tetapi harus menanggulangi masalah dasarnya yaitu kemiskinan.
"Depkes sendiri sudah menyusun program seperti posyandu. Jadi kalau ada gizi buruk, mungkin posyandunya tidak jalan," katanya berkilah.
Dari Kupang dilaporkan, kasus gizi buruk di NTT kali ini telah merenggut nyawa enam balita selama periode Januari-Juni 2007. Korban meninggal masing-masing di Kupang dan Alor masing-masing dua balita, sedangkan dua lainnya di Rote Ndao dan Flores Timur.
Informasi tersebut disampaikan Kepala Dinas Kesehatan NTT, Stef Bria Seran. Selain enam balita meninggal, 95 balita lainnya menderita marasmus dengan kelainan klinis, dengan penderita terbanyak di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Sumba Barat, dan Rote Ndao. Disebutkan pula, 73.388 balita menderita kurang gizi.
Stef menjelaskan, kasus gizi buruk akan terus menimpa anak-anak di NTT selama masalah ketercukupan makanan masih belum tertangani secara tuntas.
Untuk jangka panjang telah disusun program pemberian pelayanan bagi balita penderita marasmus, kwashiorkor, dan marasmus kwashiorkor di fasilitas kesehatan dan TFC (Therapeutic Feeding Centre/Pusat Rehabilitasi Gizi) dengan biaya dari pemerintah dan LSM internasional maupun domestik.
Selain itu, segera dibentuk posko pemantauan kasus di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta mendata kasus dan validasi data ke lokasi yang ditetapkan kondisi luar biasa (KLB). Program lainnya adalah penyebaran informasi kasus kepada masyarakat melalui media massa.
Menurut catatan SP, antara Juni 2005 hingga 30 Desember 2006 terdapat 559 kasus gizi buruk dengan kelainan klinis marasmus, kwashiorkor, atau maramus kwashiorkor. Sebanyak 77 kasus di antaranya meninggal dunia. Tingginya angka kematian pada balita dengan kelompok usia 1-2 tahun, karena ketahanan tubuhnya sangat rawan terhadap penyakit sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dengan adanya intervensi pemerintah pusat dalam penanggulangan KLB gizi buruk, angka penderita marasmus, kwashiorkor, maupun marasmus dengan kwashiorkor dapat ditekan.
Kurang Peka
Secara terpisah, Gubernur NTT, Piet Alexander Tallo, dalam percakapannya dengan SP di Kupang, Selasa (11/9) pagi, meminta walikota dan bupati se-NTT untuk memenuhi ketersediaan pangan masyarakat, untuk mencegah bertambahnya penderita gizi buruk. Apalagi, dana dekonsentrasi yang berasal dari pemerintah pusat, disalurkan langsung ke setiap kota dan kabupaten.
Dikatakan, kasus gizi buruk yang dikenal dengan penyakit busung lapar yang mencuat kembali ke permukaan belakangan ini, disebabkan banyak faktor, di antaranya minimnya curah hujan dan faktor alam lainnya yang menyebabkan petani gagal panen. Di sisi lain, pemerintah kabupaten dan kota gagal memberdayakan masyarakat yang menyebabkan tingginya kebergantungan pada bantuan pemerintah.
Menurut Piet Tallo, ketika gizi buruk ditetapkan menjadi KLB di NTT tahun 2005-2006, pemerintah pusat mengalokasikan dana lewat APBN sebesar Rp 51 miliar. Dana tersebut untuk program pemberian makanan tambahan Rp 29 miliar, revitalisasi posyandu Rp 17 miliar, dan kegiatan penunjang Rp 4 miliar. Pemerintah Provinsi NTT juga mengalokasikan dana APBD sebesar Rp 3 miliar untuk makanan tambahan. Sumber: http://www.gizi.net
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Ribuan Anak Balita di NTT gizi buruk

Kompas Jumat, 27 Mei 2005

Kupang, Kompas - Ribuan anak berumur di bawah lima tahun di Nusa Tenggara Timur mengalami gangguan gizi akut dan kronis yang mengarah kepada marasmus yang diduga kuat akibat krisis pangan. Kasus itu ditemukan antara lain di Alor, Belu, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara.
Masalah itu terungkap dalam rapat koordinasi daerah kerja sama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Care Internasional Indonesia (CII), Kamis (26/5) di Kupang. Hadir utusan dinas kesehatan, badan perencana pembangunan daerah tingkat kabupaten dan Provinsi NTT, serta beberapa dokter dan aktivis.
Teny Bengu dari CII yang melakukan survei terhadap lebih dari 2.000 anak balita di tiga kecamatan di Timor Tengah Utara menjelaskan, sebanyak 400 balita di antaranya menderita gizi buruk. Bahkan dua orang di antaranya telah meninggal, dan yang terakhir meninggal akhir pekan lalu di Miomafo Timur.
Balita yang meninggal itu adalah Kristo Wailiu berusia 1,5 tahun, anak dari keluarga Saturnius Nailiu, warga Desa Bifeta, Miomafo Timur, pada September 2004. Seorang lagi meninggal akhir pekan lalu, yakni Yosli Amanunut, dua tahun, anak dari Roswita Ukat, warga Oelani, Miomafo Timur. Selebihnya menderita gizi sedang.
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Alor Paul S Manuempil secara terpisah melaporkan, ketika melakukan pengobatan di lima desa, yakni Taramana, Air Mancur, Lembur Timur, Lembur Tengah, dan Lembur Barat ditemukan 400 balita yang kekurangan gizi.
"Dari jumlah itu, 10-15 persen mengalami gangguan gizi akut yang mengarah kepada gangguan gizi kronis. Adapun 20 persen lagi mengalami gangguan gizi kronis yang mengarah kepada marasmus. Sudah ada satu atau dua kasus yang menderita busung lapar," katanya.
Hanya kecelakaan
Sementara itu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Alwi Shihab mengatakan, kasus busung lapar yang telah mengakibatkan sedikitnya enam anak balita meninggal dunia di Provinsi Nusa Tenggara Barat semata-mata hanya sebuah kecelakaan.
"Mereka yang terkena penyakit busung lapar bukan disebabkan kelalaian, tapi karena ada unsur pemaksaan," kata Menko Kesra Alwi Shihab ketika ditemui seusai memberikan ceramah di Pondok Pesantren Daarul Ma'arif, Cigondewah, Kabupaten Bandung, Kamis.
Menurut Alwi, yang terjadi di Provinsi NTB tersebut adalah anak-anak yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit setempat dipaksa pulang oleh orangtuanya meski belum sembuh benar dari sakitnya.
"Biasalah. Kalau orangtua merasa anaknya sudah sehat, mereka enggan berlama-lama di rumah sakit. Padahal sang pasien masih perlu perawatan lebih lanjut. Meski begitu, orangtuanya tetap memaksa agar anaknya bisa dibawa pulang ke rumah," katanya.
Selain itu, Alwi menduga kurangnya sosialisasi, berupa penyuluhan kepada warga, menjadi salah satu sebab mengapa penyakit ini muncul kembali di NTB.
Alwi mengatakan, meski Provinsi NTB dikenal sebagai wilayah yang surplus dalam pengadaan beras di daerahnya, tidak berarti seluruh penduduk bisa terbebas dari penyakit itu.
"Ini adalah kecelakaan. Kalau kondisi ini terus merebak dan mewabah, hal ini bisa menjadi pertanyaan. Tapi, bukan berarti pemerintah menganggap enteng persoalan ini," kata Alwi Shihab.
Sementara itu Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, masalah busung lapar yang terjadi di NTB semata-mata bukan hanya masalah kekurangan pangan saja, melainkan juga masalah penghasilan individual di masyarakat NTB yang masih kurang sehingga daya belinya pun rendah. Padahal, kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan yang surplus beras
Oleh sebab itu, pemerintah akan membuat program bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam diversifikasi tanaman pangan dan tanaman keras lainnya.
"Nanti pemerintah akan membantu bibit tanamannya. Katakanlah bibit tanaman apa yang paling cocok untuk ditanam di sana, terutama di tanah yang kering," ujar Jusuf Kalla menjawab pertanyaan wartawan di Istana Wapres, Jakarta.
Cuma Rp 20 juta
Untuk menanggulangi gangguan gizi pada anak-anak balita, menurut Kepala Dinas Kesehatan Alor NTT Paul S Manuempil, Pemerintah Kabupaten Alor telah mengalokasikan dana Rp 20 juta. Paul mengakui jika dana itu digunakan untuk menanggulangi sekitar 400 anak penderita gizi buruk, hampir pasti sangat kekurangan. Apalagi jika terus didampingi selama tiga bulan ke depan.
Menurut data di Dinas Kesehatan NTT, jumlah anak balita yang menderita gangguan gizi buruk telah meningkat menjadi 10.000 pada tahun 2004. Jumlah itu meningkat lebih dari 60 persen jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang hanya berkisar 3.500 anak.
Paul juga melaporkan, penyakit tetanus neonatorum yang seharusnya tidak boleh pernah ada justru telah merenggut nyawa Franky, bayi berusia tujuh hari di Welai Timur. Begitu berbahayanya penyakit ini, hanya dengan satu kasus saja sudah dikategorikan sebagai kejadian luar biasa.
Tanda-tanda penyakit ini adalah bayi akan kaku sekujur tubuh, perut menjadi rata seperti papan dan keras, juga kejang-kejang, tidak bisa menyusu karena mulut juga kaku. "Seharusnya penyakit seperti ini tidak boleh ada. Saya menduga karena petugas lalai memberikan imunisasi," katanya.
Lampung cukup tinggi
Sementara itu di Provinsi Lampung, anak berusia di bawah lima tahun yang menderita gizi buruk cukup tinggi. Pada April 2005 tercatat 50 balita menderita gizi buruk. Jumlah itu jauh lebih baik dibandingkan angka penderita pada Februari 2005 yang mencapai 105 anak. Adapun hingga akhir 2004, jumlah balita penderita gizi buruk di Lampung mencapai 215 anak dan satu di antaranya meninggal dunia.
"Angka penderita gizi buruk memang fluktuatif. Setiap bulan selalu ada balita yang menderita gizi buruk," ujar Kepala Subdinas Bina Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Lampung, Mulyanti. (CAL/MHD/IRN/HAR)Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0505/27/daerah/1776829.htm
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Makanan tambahan menipis

Tempointeraktif, Jumat, 10 Juni 2005 16:51 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Stef Bria Seran, meminta pemerintah segera mengirim susu, biskuit, bubur kacang hijau, dan makanan padat gisi lainnya. Sebab, bahan makanan tambahan bagi anak dan balita kurang gizi sudah menipis.
"Sampai sekrang, yang sudah positif akan mengirimkan bantuan adalah Palang Merah Indonesia. Bantuan segera tiba dan akan disalurkan melalui Posko Satkorlak NTT," kata Stef kepada wartawan, Jumat (10/6).
Rencananya, pemberian makanan tambahan padat gizi akan dilakukan selama 90 hari secara terus menerus. Untuk memulihkan para penderita gizi buruk, setiap balita membutuhkan dana sebesar Rp 10.000 per hari selama 90 hari. Dengan demikian, pemerintah daerah membutuhkan dana sekitar Rp 10 miliar untuk merehabilitasi kesehatan para penderita gizi buruk. Saat ini pemerintah NTT, kata Stef, tengah berupaya untuk melakukan rehabilitasi fisik bagi 11.045 balita yang dalam kondisi kritis karena gizi buruk. Sedangkan 55.543 yang mengalami kurang gizi, mendapat makanan tambahan dan penyuluhan cara hidup sehat bagi orang tua mereka. Jems de Fortuna
Sumber:
http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/nusatenggara/2005/06/10/brk,20050610-62328,id.html
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Krisis gizi di NTT: Jangan salahkan Dinkes

TEMPO Interaktif, Kupang:Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur (NTT), Stef Bria Seran, menegaskan pemerintah harus bertanggung jawab terhadap permasalahan krisis gizi di NTT dan bukan hanya menyalahkan Dinas Kesehatan.
"Kalau terjadi krisis gizi maka semua pihak yang terlibat dalam urusan kesejahteraan masyarakat mesti turut bertanggung jawab. Pemerintah atau masyarakat tidak bisa menyalahkan Dinas Kesehatan karena ada keterkaitan erat antara berbagai sektor," katanya saat dihubungi di Kupang, Rabu (1/6/2005).
Dari 463.370 balita hasil Sensus 2005 di NTT, yang dikategorikan kurang gizi sebanyak 43.402 balita, gizi buruk 9.237 balita dan 54 balita lainnya mengalami busung lapar. Sehingga total balita yang mengalami krisis gizi mencapai 52.693 balita. Data terakhir yang dikeluarkan Dinas Kesehatan NTT menyebutkan, krisis gizi sudah terjadi merata di 16 kabupaten dan kota.
Stef menambahkan, sedikitnya empat sektor terlibat langsung dalam urusan kesejahteraan, yakni yang berhubungan dengan produksi pangan, distribusi pangan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan konsumsi masyarakat. Empat bidang ini punya keterkaitan satu sama lainnya.
"Anak-anak tidak dapat mengkonsumsi susu, protein dan makanan bergizi, bukan tanggung jawab kesehatan, bidang lain yang harus bertanggung jawab. Karena masalah krisis gizi di NTT punya kaitan dengan ketersediaan pangan dan ekonomi warga," katanya. Krisis gizi disebabkan dua faktor, apakah balita dan anak-anak kurang makan atau karena menderita penyakit tertentu dan tidak mau makan.
jems de fortuna. Sumber: http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/nusatenggara/2005/06/01/brk,20050601-61845,id.html.
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar