Rekomendasi Riset Busung Lapar NTT

BANYAK hal bisa dilakukan oleh banyak pihak untuk mengurai benang kusut persoalan gizi buruk-busung lapar. Meski berakar pada persoalan kemiskinan ekonomi, namun faktor non-ekonomi tak bisa diabaikan. Dari menelusuri persoalan di tingkat rumah tangga, komunitas dan kebijakan publik, bisa dipetakan apa yang bisa diperbuat untuk menyelamatkan jutaan anak-anak yang terancam hilang itu.

Di satu sisi, intervensi di tingkat rumah tangga mesti dijalankan secara terpadu dengan intervensi di level komunitas. Di sisi lain, kebijakan publik tak bisa lagi dirumuskan hanya berdasarkan orientasi pertumbuhan ekonomi tanpa perspektif keadilan dan hak asasi. Melawan gizi buruk-busung lapar tak bisa dilepaskan dari komitmen kuat untuk membuat kebijakan publik yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar warga, dengan prioritas pada kelompok miskin dan perempuan.

Masyarakat, betapapun masih dalam lingkup kecil, mulai mencari peluang-peluang alternatif dan menjalankan terobosan-terobosan untuk turut terlibat dalam mengatasi persoalan gizi buruk-busung lapar. Di NTT sendiri, berbagai pihak telah bekerja untuk menanggulangi masalah ini.

Pemerintah daerah, NGO, komunitas agama, dan lembaga/badan/NGO internasional adalah pihak yang selama ini telah terlibat dalam kerja-kerja penanggulangan gizi buruk-busung lapar dengan dana ratusan milyar rupiah. Meski banyak pihak telah bekerja dengan dana yang tidak sedikit, namun banyak pihak juga menilai, belum tampak ada tanda-tanda NTT berubah ke arah lebih baik. Ini mengisyaratkan, ada yang salah dengan pendekatan yang selama ini dilakukan.

Setidaknya ada tiga masalah mendasar yang teridentifikasi dalam studi ini, yang disadari atau tidak, telah berdampak pada lemahnya efektivitas penanggulangan gizi buruk: (1) Lemahnya kerjasama dan koordinasi di antara berbagai pihak yang terlibat; (2) Pendekatan yang condong emergensi-kuratif-jangka pendek tanpa disertai program-program strategis yang berorientasi preventif-jangka panjang; (3) Diabaikannya potensi dan sumber daya komunitas lokal.

Diskusi yang dilakukan para peneliti bersama para pemangku kepentingan di provinsi NTT dalam berbagai forum, berhasil merumuskan alternatif-alternatif intervensi yang mungkin dilakukan. Diskusi itu juga menyimpulkan, detil intervensi yang direkomendasikan dalam studi ini bisa dilakukan secara lebih efektif, efisien dan berkelanjutan apabila disertai atau didukung oleh sebuah sistem atau mekanisme kerja bersama.

Forum akademisi, forum komunitas agama dan NGO di provinsi NTT yang terlibat dalam pembahasan rekomendasi mengajukan sebuah alternatif sistem kerja bersama dalam bentuk KOMITE penanggulangan gizi buruk. Komite ini direkomendasikan untuk dibentuk mulai dari level desa, kabupaten, provinsi dan pusat, dengan anggota-anggotanya mencakup berbagai pihak dalam masyarakat yang sudah atau potensial terlibat dalam kerja-kerja penanggulangan gizi buruk-busung lapar, seperti: pemerintah, NGO, komunitas agama dan pihak lain yang mendukung. Pemerintah, NGO, dan komunitas agama inilah yang telah dan sedang terlibat dalam penanggulangan gizi buruk di NTT, selain lembaga/badan internasional.

Mereka ini memiliki kekuatan dan sumber daya yang bisa saling sinergis dan komplementer. Melalui KOMITE ini seluruh sumber daya yang ada bisa disatukan dan didayagunakan secara lebih efektif, efisien, berdampak luas dan berkelanjutan. Dalam KOMITE ini pula dapat dirumuskan sistem penanggulangan gizi buruk-busung lapar yang berorientasi tidak hanya kuratif-jangka pendek tetapi juga preventif-jangka panjang.

Sistem kerja bersama dalam bentuk KOMITE atau apa pun namanya, dinilai berpeluang untuk mengatasi persoalan lemahnya koordinasi, lemahnya pendekatan dan diabaikannya potensi dan sumber daya komunitas lokal dalam mengatasi masalah. Dalam komite ini pula detil intervensi terpadu yang bisa dilakukan mulai dari level rumahtangga, komunitas, sampai dengan kebijakan publik bisa lebih diwujudkan.

Akhir kata, gizi buruk-busung lapar tidak lahir dari penyebab tunggal. Karenanya penyelesaian gizi buruk-busung lapar menuntut kerja bersama semua pihak dalam kerangka kerja jangka panjang. Kerja bersama ini bukanlah angan-angan yang jatuh begitu saja dari langit. Kerja bersama semacam ini pernah ada (dan di beberapa tempat masih berjalan) dan sudah terbukti membawa hasil.

Sejarah keberhasilan NTT meraih kejayaan di masa silam dan dikenal dunia internasional karena kreativitasnya dalam mengembangkan sistem pertanian agroforestri, adalah sejarah kerja bersama antara pemerintah, NGO dan komunitas agama. Pengalaman mengajarkan, kerja sendiri-sendiri rawan korupsi. Entah korupsi material atau pun cara pandang. Di saat negeri ini dihadang oleh beragam persoalan dan keterbatasan, mempertahankan kerja sendiri-sendiri sama artinya dengan mempertahankan kebodohan.***

Sumber:http://ecosocrights.blogspot.com/2007/02/komite-penanggulangan-gizi-buruk-dari.html
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

100 Balita Gizi Buruk di TTU Dirawat

KEFAMENANU, PK--Sejak bulan September 2007 sampai Jumat (20/6/2008), tercatat 100 balita penderita gizi buruk dirawat telah mendapat perawatan di Panti Rawat Gizi di Kelurahan Bitefa, Kecamatan Miomaffo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara. Total balita yang menderita gizi buruk jenis marasmus berjumlah 22 orang.

Demikian Nobertus Ratrigis, salah satu staf pengelola Panti Rawat Gizi Bitefa ketika dihubungi di Kefamenanu, Jumat (20/6/2008) siang. "Sejak September 2007 lalu, tercatat sudah 100 balita gizi buruk yang dirawat di Panti Rawat Gizi Bitefa. Bulan Mei lalu ada 14 balita yang dirawat. Sedangkan selama bulan Juni (sampai Jumat kemarin--Red), baru tiga balita yang masuk," jelas Ratrigis.

Dikatakannya, pihaknya masih terus melakukan pemantauan dan pencarian balita di sejumlah dusun, desa dan kelurahan terpencil. "Apalagi sudah hampir masuk musim kemarau, banyak balita gizi buruk yang harus diselamatkan," tukasnya.

Sementara itu, Ny. Imel Abi, salah seorang perawat yang bertugas di Panti Rawat Gizi, ketika dihubungi di panti itu mengatakan, soal persediaan makanan dan susu di panti selama ini selalu mencukupi. "Makanan, telur, lauk, beras, susu dan lain-lain selalu cukup. Kami belanja sesuai kebutuhan. Dana untuk itu semuanya tersedia," katanya.

Tentang obat-obatan dan vitamin, Ny. Imel mengatakan stok masih banyak. Ditambahkannya, ketika pasien balita gizi buruk sembuh dan diizinkan pulang ke rumah, balita tersebut dibekali dengan susu, telur dan vitamin.

Ditanya tentang kriteria seorang balita gizi buruk layak pulang, Ny. Imel memaparkan, jika balita itu selera makannya sudah bagus atau makanan yang diberikan selalu dihabiskan; ada perbaikan kondisi mental; anak sudah bisa tersenyum, duduk, merangkak dan berjalan sesuai umurnya; suhu tubuh berkisar antara 36,5-37,5 derajat celsius; tidak ada muntah atau diare; tidak ada edema (pembengkakan pada tungkai kaki); terdapat kenaikan berat badan yang signifikan sesuai berat badan dan umurnya.

Tentang balita gizi buruk yang mengidap komplikasi penyakit, lanjutnya, pihak panti akan merujuk pasien balit itu ke RSUD Kefamenanu. "JIka sudah sembuh penyakitnya, balita itu dikembalikan lagi ke panti untuk mendapat asupan gizi secara benar dan tepat," jelasnya.

Pantauan Pos Kupang, Jumat siang, tampak cuma tiga balita dan ibunya, sedang bersantai di ruang tidur panti. Suasana panti yang biasanya ramai, tampak sepi. (ade)

Pos Kupang edisi 22 Juni 2008, halaman 15
Lanjut...

Posted in Label: | 1 komentar

RSU Kupang Rawat 46 Pasien Gizi Buruk

KUPANG, PK -- Dalam kurun waktu 1 Januari - 24 Juni 2008, tercatat 196 pasien penderita diare dan 46 pasien gizi buruk menjalani perawatan. Dari jumlah tersebut, tidak ada pasien yang meninggal dunia. Informasi ini di peroleh berdasarkan pantauan Pos Kupang dan data rekam medik RSU Kupang, Selasa (24/6/2008).

Berdasarkan pantauan Pos Kupang dan informasi dari petugas kesehatan, sampai dengan Selasa (24/6/2008), di ruang E perawatan anak terdapat lima pasien diare dan empat pasien gizi nuruk, menjalani perawatan di ruang D.

Ny. Ana Mesakh Pah, warga Desa Lalu Koen , Kecamatan Rote Barat Daya (RBD) mengatakan, orangtua pasien gizi nuruk, Rivaldo Pah ( 6 bulan) saat ditemui di ruangan D perawatan anak mengatakan, anaknya Rivaldo dirawat di RSU Kupang sejak Selasa (27/5/2008).

Sebelum dibawa ke RSU Kupang, anaknya menjalani perawatan di RSU Baa, sejak, Rabu (21/5/2008), kemudian dirujuk ke RSU - Kupang. Selama seminggu dirawat di RSU Baa, Rivaldo tetap mengalami panas tinggi dan terus mencret, muntah dan tubuhnya terus melemah walaupun diberi makan. Akibtanya berat badannya Rivaldo hanya 4,7 kg.

Hal yang sama juga dialami pasien gizi buruk, Emanuel Ndun (1,5 thn), yang berasal dari satu desa dengan Rivaldo.

Jublina Ndun, orangtua Emanuel Ndun, mengatakan anaknya mengalami panas tinggi dan terus mencret. Keadaan ini berlangsung hingga Kamis (26/5/2008), saat masih dirawat di RSU Baa. Melihat kondisi badannya semakin lemah, Emanuel kemudian dirujuk ke RSU Johannes-Kupang, Jumat (27/5/2008), dan langsung dirawat.

"Anak saya belum bisa jalan. Berat badannya sampai saat ini hanya 6,5 kg, sementara usianya satu setengah tahun," katanya. (den)

Pos Kupang 25 Juni 2008, halaman 2
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Atasi Masalah Gizi, Bangun Sentral Pelatihan

WAIKABUBAK, PK--Kepala Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Sumba Barat Daya, dr. Soleman D Poety, mengatakan, untuk menangani kasus gizi buruk perlu ada kebijakan bersama pemerintah dan DPRD menganggarkan biaya membangun sentral pelatihan tenaga medis. Dengan demikian paramedis memiliki bekal pengetahuan cukup serta tepat memberi penanganan saat turun ke lapangan.

Soleman mengatakan itu saat dihubungi Pos Kupang, Selasa (24/6/2008). Dikatakannya, selama ini penanganan gizi buruk atau kurang dipercayakan sepenuhnya kepada rumah sakit dan puskesmas. Dengan demikian, pola penanganan yang diberikan berbeda sesuai kemampuan masing-masing tenaga medis, baik di puskesmas maupun di rumah sakit.

Hal itu sangat sulit untuk mengukur keberhasilan. Selama ini, tenaga medis yang turun kurang dibekali pemahaman sehingga hasil yang diperoleh juga tidak maksimal. Karena itu sangat diharapkan pengertian baik seluruh komponen masyarakat daerah untuk mendukung gagasan pembangunan gedung sentral pelatihan tenaga medis untuk penanganan gizi kurang seperti di Kabupaten TTS. TTS menjadi pilot project di daratan Timor dalam hal penanganan gizi buruk.

Soleman mengatakan, pola penanganan gizi kurang sebagaimana terjadi selama ini belum maksimal. Dia mencontohkan, pola pemberian bahan makanan tambahan seperti biskuit, susu dan lainnya sangat rentan terhadap masyarakat bila mengonsumi lalu timbul efek samping seperti bisul, batuk dan lainnya. Di satu sisi dapat dipahami ada perubahan dalam kondisi tubuh yang mengarah ke penyembuhan. Tapi di sisi lain masyarakat takut mengonsumsi akibat munculnya gejala-gejala baru paskah konsumsi makanan tambahan tersebut.

Karena itu Soleman menyarankan agar pola pemberian bahan makanan tambahan sebaiknya dialihkan ke makanan lokal sesuai kondisi masyarakat setempat sehingga warga tidak ragu mengonsumsinya. Dia tengah berusaha membangun kerja sama berbagai pihak untuk merealisasikan pembangunan gedung sentral pelatihan tenaga medis itu. (pet)

Pos Kupang 28 Juni 2008, halaman 18
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Penanganan Gizi Buruk Tidak Efektif

KALABAHI, PK -- Penanganan gizi buruk di Kabupaten Alor tidak efektif sehingga kasus itu tetap saja terjadi di daerah itu. Program pemberian makanan tambahan (PMT) untuk penderita gizi buruk/gizi kurang tidak menyelesaikan akar persoalan gizi masyarakat karena PMT bersifat sementara.

Hal itu ditegaskan Plt. Kepala Dinas Kesehatan Alor, Drs. Nikodemus Tuewewi di Kalabahi, Sabtu (28/6/2008). Menurut Turwewi, PMT sangat tidak efektif sehingga membutuhkan metode lain. Dia menawarkan sosialisasi yang gencar tentang nutrisi atau pengolahan makanan dengan nilai gizi.

Dikatakan, kasus gizi buruk yang dalam beberapa tahun menjadi perhatian pemerintah, pola penanganannya dengan PMT.Setelah diamati, jelasnya, untuk konteks Alor, karena kasus itu terjadi bukan karena kekurangan pangan, tapi pola asupan gizi yang kurang diperhatikan orangtua.

Pola asupan gizi rumah tangga, kata Turwewi, kurang memperhatikan keaneragaman. Umumnya warga Alor mengonsumsi satu atau dua jenis makanan setiap hari, ketimbang menu yang beragam. Hal ini juga menjadi penyebab gizi buruk. Apa yang dikemukakannya, kata Turwewi, merupakan hasil pelacakannya. Kasus gizi buruk di Alor hingga kini belum terpantau semua. Dia mengharapkan aparat pemerintahan desa (pemdes) proaktif mendata sehingga anak- anak yang menderita kasus gizi buruk dapat dibawa ke puskesmas atau pustu untuk dirawat.


Turwewi mengatakan akan menggerakkan semua kader posyandu dan tim PKK. Petugas medis, baik perawat maupun bidan hanya mem-bac kup. Untuk satu kabupaten, lanjut Turwewi, tenaga nutrisi hanya empat orang, sangat tidak sebanding dengan luas dan topografi daerah.

Perawat dan bidan, kata Turwewi, harus berada di desa dan kecamatan dengan berbagai tugas yang diemban dalam peningkatan pelayanan kesehatan. (oma)

Pos Kupang 1 Juli 2008, halaman 17
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar