Uta Tabha, Juara III Nasional untuk Pangan Lokal

KUPANG, PK--Menu lokal masyarakat Kabupaten Ngada 'Uta Tabha' meraih juara III nasional Lomba Cipta Menu Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman yang diselenggarakan Badan Bimas Ketahanan Pangan Pusat di Bandung, 3 Desember 2008. Lomba ini diadakan dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia tanggal 5 Desember. Pembuatan menu uta tabha yang diperagakan oleh Tim Penggerak PKK Kabupaten Ngada ini meraih juara tiga setelah Kalimantan Barat dan Jawa Tengah berturut-turut juara I dan II.


Ketua Kelompok Kerja (Pokja) III, Tim Penggerak PKK Kabupaten Ngada, Maria Veronika Manda, kepada Pos Kupang yang menghubungi handphone-nya, Sabtu (13/12/2008), mengatakan, dirinya tidak menyangka menu ini bisa meraih juara III dari 33 propinsi yang ikut dalam perlombaan tersebut.
Menurutnya, uta tabha dari NTT dinilai memenuhi kriteria sebagai makanan lokal yang memiliki nilai gizi dan seimbang. 

Dijelaskan, menu yang dilombakan ini sudah dimodifikasi sehingga tidak mendapat pendobelan kadar-kadar gizinya. Kalau, uta tabha asli biasanya ditambah dengan daun pepaya atau daun ubi-ubian, namun dalam perlombaan ini dimodifikasi sehingga cita rasanya lebih nikmat dan kandungan gizinya bermanfaat. 

Menurutnya, bersama temannya Maria Teresia Kadu, keduanya memodifikasi menu yang berbahan lokal jagung dan jewawut ini menjadi makanan yang lezat dan memiliki kandungan gizi yang beragam, seimbang dan aman untuk dikonsumsi oleh siapapun.

Istri dari Dominikus Begu ini mengatakan, mengisahkan keduanya diutus oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan Propinsi NTT mengikuti lomba tingkat nasional, karena berhasil meraih juara pertama di tingkat propinsi. Baginya, tujuan dari lomba ini sebenarnya bukan juara, tetapi bagaimana mensosialisasikan kepada masyarakat untuk memanfaatkan pangan lokal yang ada di lingkungan sekitar. Hal ini dilakukan agar meminimalisir masyarakat dari ketergantungan pada pangan beras.

Ibu empat anak ini mengatakan, selama ini banyak masyarakat tidak bisa memanfaatkan pangan lokal yang memiliki nilai gizi yang tinggi karena keterbatasan pengetahuan untuk mengelolah. Oleh karena itu, sejalan dengan program Gubernur NTT "Anggur Merah', yang salah satunya memanfaatkan makanan lokal diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat NTT. (nia)
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Pangan Lokal dan Perubahan Perilaku

Oleh Gerady Tukan

Magister Biokimia, Dosen FMIPA Unwira Kupang

"AYO kawan kita bersama, menanam jagung di kebun kita...." Penggalan lagu ciptaan Ibu Sud ini terkenal merasuk kalbu seluruh rakyat Indonesia, terutama di kalangan pelajar SD, di era tahun 1970-1980-an. Saya teringat, ketika masih sebagai siswa SD, sekolah kami memiliki satu lahan kebun. Setiap hari Sabtu, setelah upacara bendera pagi, kami beramai-ramai menuju kebun sekolah sambil menyanyikan lagu itu, dan juga lagu mars ONM dan ONH. Maklum, saat itu NTT dipimpin oleh Gubernur Ben Mboi, yang gencar dengan program Operasi Nusa Makmur (ONM) dan Operasi Nusa Hijau (ONH), dan menekankan berkebun. 


Menanam jagung, menanam ubi kayu, makan jagung, makan ubi kayu merupakan hal yang kini tidak familiar di generasi kita. Sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk rakyat NTT, bahkan menganggap bahan-bahan itu sebagai makanan orang desa, makanan rakyat kecil, makanan rakyat kelas bawah. Jagung dan ubi kayu juga kerap disejajarkan dengan kemiskinan atau kelaparan dan rawan pangan.

Stigma yang ada saat ini mengatakan, jagung dan ubi kayu adalah gambaran kemelaratan, gambaran kemiskinan. Masyarakat saat ini lidahnya sudah terbiasa dengan makan nasi dari beras padi. Ketersediaan beras padi pun dapat diperoleh relatif gampang, baik dibeli di toko-toko, atau diperoleh di kantor desa, dalam statusnya sebagai beras raskin, beras padat karya, beras bantuan sosial, beras tanggap darurat, beras 'serangan fajar', dan berbagai atribut lainnya. 

Lalu mengapa paket Fren begitu berani mau menyeret masyarakat NTT untuk kembali menggauli jagung dan ubi kayu dalam bingkai pangan lokal dalam era yang serba maju ini?
Banyak pendapat yang telah kita baca, mengemukakan bahwa paket Fren mengangkat program kembali ke pangan lokal dengan lebih mengedepankan pengembangan jagung sebagai jalan keluar penguatan ekonomi rakyat NTT. Paket Fren dinilai berani mengangkat program ini dan terkesan mau melawan arus perkembangan zaman saat ini, karena berangkat dari kultur asli rakyat dan kondisi daerah NTT. Bahwa rakyat NTT memiliki tradisi agraris dengan kehandalan pengetahuan berladang. 

Daerah NTT memiliki iklim tropis panjang, maka tanaman jagung dan penghasil pangan lokal lainnya dipandang lebih pas untuk menjadi penyanggah ketahanan pangan rakyat NTT. Dengan modal dasar kehandalan bertani ladang serta kultur agraris, maka diharapkan pula agar komoditi jagung dan ubi kayu NTT tidak hanya sebatas ketahanan pangan lokal saja, akan tetapi untuk kepentingan komoditas ekspor. 

Namun fakta di lapangan dewasa ini agak berbeda. Bertanam jagung dan ubi kayu, sama dengan berkebun. Tradisi berkebun bagi rakyat NTT saat ini hanya sedang dipertahankan oleh generasi tua untuk mempertahankan hidup yang tersisa. Generasi muda sekarang sudah tidak berminat untuk berkebun. Mereka kini telah dihadapkan oleh berbagai tawaran pilihan hidup lain yang relatif jauh lebih mudah dan menguntungkan, ketimbang banting tulang berjemur panas di ladang, direndam hujan, membuang waktu di ladang selama tiga bulan penuh hanya untuk sekali panen, yang hasilnya juga belum tentu cukup untuk makan sendiri, apalagi dijadikan uang untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Dalam sejarah NTT, belum terdengar ada satu keluarga, atau satu desa, atau satu kecamatan, atau satu kabupaten yang mashur karena jagung. Yang kita tahu adalah: Rote/Sabu = gula air. Ende = ubi kayu. Alor = kenari. Sumba = kuda. Flores Timur = ikan sembe. Sikka = kopra. Manggarai = kopi. Ngada = padi. TTS = cendana, jeruk, apel, sapi. TTU = cendana, sapi. Belu = jati, sapi. Lembata = ikan paus, siput. 

Sedangkan jagung, justru menjadi berita pilu bagi NTT setiap tahun seperti; gagal panen, rawan pangan, terancam kelaparan. Sebabnya adalah karena jagung mati kekeringan lantaran hujan yang tidak cukup. Setiap memulai musim tanam, rakyat NTT mulai diliputi kecemasan dan ketidaktentraman, lantaran curah hujan yang serba teka teki, tidak dapat dipastikan. Kecemasan akan gagal panen menjadi hantu wajib setiap tahun. Mengapa kita tidak perkuat dan pertajam maskot-maskot tiap daerah tersebut hingga dapat menguasai pasar dunia?

Perlu sosialisasi yang jujur
Paket Fren mungkin telah memiliki referensi yang kuat tentang peluang besar keberhasilan bertanam jagung di NTT untuk memajukan daerah ini. Di sini, paket Fren dan kabinetnya harus secara jujur mensosialisasikan kepada masyarakat NTT, apa alasan paling mendasar untuk men-jagung-kan NTT. Apakah untuk menjadi penyanggah ketahanan pangan lokal NTT semata, ataukah ada ambisi lainnya? Atau apakah NTT mau digiring untuk meniru dan mengejar Propinsi Gorontalo yang sukses menguasai pasaran jagung ke China, Filipina, Malaysia dan beberapa negara ASEAN lainnya untuk bahan baku pakan ternak di negaranya? 

Dua tujuan di atas tentu punya daya dan kiat motivasi yang berbeda. Ada cara motivasi bersifat persuasif, ada cara yang bersifat paksaan. Kita tentu berharap cara persuasiflah yang di digunakan secara cerdas dan memikat. Dengan begitu, masyarakat secara sadar dan penuh pengertian ingin mengubah hidup ke arah yang lebih baik dengan bertumpu pada jagung. Masyarakat akan menjadi sangat antusias dan bersemangat berkebun jagung. Mereka juga akan tegar menghadapi ancaman dan kendala, lalu kreatif mengelak dari kegagalan. Bahkan generasi muda pun akan bersemangat bertanam jagung. 

Lain halnya dengan pendekatan yang bersifat pemaksaan yang hanya untuk mengejar suatu target tertentu, penghargaan atas kesuksesan dan prestise. Hal kedua inilah yang patut digelisahkan. Sebab, dapat berakibat eksploitasi terhadap berbagai hal di luar kewajaran, dan jauh di luar daya jangkau serta kesanggupan masyarakat kita. Lalu dengan itu, kita datangkan pihak luar untuk bergerak demi memenuhi target yang kita tetapkan, dan masyarakat kita terpaksa menempati posisi sebagai penonton. Bagaimana pun programnya, pelaksana lapangannya adalah masyarakat di desa-desa. Cara sosialisasi menjadi kunci utama kesuksesannya. Kita ambil contoh saja, cara sosialisasi rencana investasi pertambangan emas di Kabupaten Lembata yang lebih bernuansa pemaksaan kehendak sehingga menuai penolakan, menimbulkan perpecahan di antara rakyat, yang telah menguras pikiran dan perhatian rakyat serta Pemda Lembata selama sekitar 3 tahun ini. Masyarakat digiring untuk setuju investor masuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi emas karena merupakan salah satu program pemerintah daerah, dan terutama untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Argumen dasarnya itu. Timbul penolakan dari masyarakat, karena seolah-olah tambang emaslah yang didewakan menjadi penyelamat hidup rakyat, lalu masyarakat menilai Pemda Lembata sempit wawasan dan tidak kreatif mengkondisikan dan mengajak masyarakat untuk melihat dan mengolah sumber daya alam lain terlebih dahulu. Masyarakat pun beralasan, untuk menaikkan PAD, dapat ditempuh melalui pengolahan sumber daya alam lain, asalkan pemerintah daerah fokus dan serius memfasilitasi pengolahannya, dan berada di pihak kepentingan dan keselamatan rakyat. 

Dunia membutuhkan jagung
Jagung, meskipun zaman sekarang tidak populer bagi rakyat NTT, namun kini menjadi bahan pembicaraan dunia. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mencatat, pasokan jagung di pasar dunia saat ini semakin menipis, sementara kebutuhan akan jagung meningkat dan menjadi penting. Jagung yang semulanya hanya sebatas bahan baku pakan ternak, kini telah menjadi bahan baku pembuatan etanol untuk produksi Bahan Bakar Nabati (BBN), suatu bahan bakar alternatif yang mulai diminati. 

Harga jagung di pasaran dunia cukup menjanjikan. Di tahun 2007, menembus level US$ 230 per ton (Rp 2.886,5/kg). Pasokan jagung untuk pasaran dunia didominasi oleh Amerika Serikat dengan produksi 40% dari total produksi dunia, disusul China 20%, Eropa 7% dan Brasil 6%. Namun kondisi ini belum sanggup memenuhi kebutuhan jagung dunia. Untuk tahun 2007, total produksi jagung sebesar 690 juta ton, sementara permintaan mencapai 740 juta ton. 

Indonesia baru sanggup mengekspor jagung rata-rata 40 ribu sampai 150 ribu ton per tahun. Sebaliknya import malah mencapai 400 ribu sampai 1,8 juta ton per tahun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Secara nasional, pemerintah berencana menggenjot produksi jagung dari 3,4 ton per hektar selama ini, menjadi 3,7 ton per hektar. Tahun 2010, Indonesia mematok target mengekspor jagung 2 juta ton, dan menjadi basis produksi jagung untuk ASEAN. Meskipun masih berupa rencana dan usaha-usaha menuju ke sana, namun Propinsi Gorontalo telah tampil ke permukaan menjadi penguasa ekspor jagung asal Indonesia ke beragai negara ASEAN. 

Ubah perilaku
Setelah jatropha dan ubi kayu aldira menuai keributan, kini masyarakat NTT dihadapkan lagi dengan program tanam jagung untuk pangan lokal. Sukses tidaknya program pangan lokal NTT sangat terletak pada pundak masyarakat di desa-desa. Di sini, masyarakat harus dikondisikan untuk percaya bahwa jagung atau ubi kayu atau lainnya dapat mengubah nasib hidup mereka. Pemerintah perlu memberikan motivasi yang nyata dengan terlebih dahulu menunjukkan bagaimana mencintai pangan lokal. Wujudnya; snack harian di kantor-kantor pemerintah atau acara-acara pemerintahan, perlu dirubah dari kue tart menjadi singkong olahan, pisang olahan atau jagung olahan. Nasi tumpeng harus diganti dengan jagung bose atau putu. Dan lain-lainnya. 

Dinas pertanian propinsi maupun kabupaten/kota, harus memiliki kebun (ladang dan sawah) sendiri untuk dijadikan contoh. Kebun conton itu harus memperlihatkan bagaimana menanam jagung dan ubi kayu pada kondisi hujan yang tidak menentu tetapi memberikan hasil melimpah. Memperlihatkan bagaimana menanam jagung dan ubi kayu di lahan (ladang) secara menetap alias tidak berpindah-pindah, tetapi memberikan hasil berlipat ganda dari tahun ke tahun. Dengan begitu, tidak terjadi perambahan hutan untuk dijadikan ladang jagung dan ubi kayu dengan alasan menyukseskan program kembali ke pangan lokal. Penanaman jagung dan ubi kayu sukses, kelestarian hutan pun tetap terjaga. 

Dinas pertanian memperlihatkan dan mengajarkan bagaimana keberpihakan menggunakan pupuk bokhasi organik dan menghindari penggunaan pupuk kimia, agar kondisi tanah dapat terawat dan produksi pangan lokal bebas dari kecemasan akan cemaran kimiawi. Di sini dinas pertanian harus melepaskan diri dari cengkraman intervensi monopoli perdagangan pupuk kimia, dan harus serius membeli pupuk bokhasi organik yang diproduksi masyarakat. Dinas pertanian harus memperlihatkan bagaimana panenan jagung dikelola pemasarannya sehingga mendatangkan keuntungan yang besar. Dan berbagai hal baik lainnya yang harus diperlihatkan. Masyarakat pun harus didatangkan untuk melihat contoh-contoh pada kebun milik dinas pertanian itu. 

Kinerja dan pengembangan kerja dinas pertanian perlu dibantu dengan kegiatan penelitian dan pengembangan yang intensif dan terpadu. Untuk itu, perlu dipikirkan agar NTT memiliki Dewan Riset Daerah (DRD) yang berperan melakukan penelitian dan pengembangan untuk pengolahan dan optimalisasi potensi daerah kita, termasuk pengembangan tanaman sumber pangan lokal. Pemerintah daerah perlu memikirkan hal ini dan mempunyai minat memanfaatkan dan memberdayakan ahli-ahli lokal. Sebaliknya, ahli-ahli lokal perlu membenah diri agar laku di mata pemerintah daerah dalam urusan penelitian dan pengembangan dimaksud. 

Untuk dapat memiliki kebun jagung contoh, maka dinas pertanian dapat merekrut para sarjana pertanian dan sarjana berdisiplin ilmu terkait lainnya yang banyak menganggur di NTT, untuk dikontrakkan 'otaknya' mengelola kebun itu berikut pengolahan pasca panennya, sebagai salah satu unit bisnis milik dinas untuk kepentingan daerah. Dengan begitu, dinas pertanian harus menjadi panutan dan benteng pendapatan dan perkuatan perkonomian daerah. 

Dinas itu harus menjadi tempat para petani bersandar, para petani datang dan mendapat penguatan, serta menjalin mitra dengan petani di desa secara bermakna. Bila perlu setiap hari bersama petani di kebun, menanam jagung sambil bernyayi 'ayo kawan kita bersama, menanam jagung di kebun kita....' *
Lanjut...

Posted in Label: , , | 0 komentar

Melihat Inisiasi Menyusui Dini di Sikka (1)


Oleh Ferry Ndoen

LIDAHNYA meliuk-liuk mendekati payudara. Lalu, secara naluriah mulut kecil nan mungil itu terus bergerak menuju sasaran puting susu. Namun upaya itu belum juga berhasil. Tapi perjuangan tak kunjung lelah untuk bisa mendapatkan air susu dari payudara. Lalu, perjuangan terus dilakukan bayi itu untuk mendapatkan air susu dari payudara ibunya. 

Dengan naluri yang tinggi, bayi itu terus bergerak mendekati payudara ibunya sambil menangis, dan mulutnya terus berusaha mendekat ke sasaran daerah puting susu ibunya. Dan..... slappp... ternyata bayi itu berhasil mendapatkan puting susu ibunya.

Perjuangan bayi yang baru lahir dan ingin mendapatkan puting susu ibunya untuk menyusui air susu ibu (ASI) eksklusif dari ibunya membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Setelah berhasil, mulut bayi itu secara refleks terus menyedot ASI ibunya sampai ia tertidur pulas.

Itulah pemandangan menarik saat mengamati Maria Neti (28), warga RT 03, RW 01, Lorong Sepe, Kelurahan Waioti, Kecamatan Alok Timur, Kota Maumere, pertama kali menyusui bayi yang baru dilahirkannya di Polindes Waioti, Kota Maumere, Senin (24/11/2008) pukul 17.35 Wita. Maria melahirkan seorang bayi laki-laki yang ia beri nama Karizeth. 
Ternyata proses pemberian ASI yang dilakukan Maria kepada bayi Karizeth terlebih dulu melalui proses konseling yang dilakukan bidan yang bertugas di polindes saat ia melakukan pemeriksaan rutin kehamilannya di Polindes Waioti. 

Konseling tentang tata cara menyusui bayi secara baik diberikan bidan Elisabeth Huller yang bertugas di Polindes Waioti pasca Maria partus (melahirkan, Red) walau saat itu ia melahirkan anaknya yang ketiga. 

Ternyata, Maria pun belum begitu memahami dengan baik dan benar tata cara memberikan ASI kepada bayinya. Misalnya, posisi bayi dan posisi ibu saat memberikan ASI.

Apa yang digambarkan di atas hanyalah sebuah cuplikan kecil dari sebuah proses program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yang saat ini gencar dilaksanakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sikka terhadap ibu hamil, dan juga ibu partus, ibu menyusui yang ada di kabupaten itu. 

Tentu apa yang digambarkan di atas akan menimbulkan banyak pertanyaan, mengapa hanya urusan menyusui saja harus menjadi fokus perhatian pemerintah. Bahkan, harus dimasukkan dalam sebuah program oleh instansi teknis Dinas Kesehatan dan program itu dinamakan IMD? 

Tentu jawabannya sederhana. Hal ini karena masyarakat kita umumnya masih sangat sederhana/tradisional sehingga banyak hal walaupun sepele, namun belum mengerti dengan baik dan benar terutama tentang pentingnya ASI eksklusif bagi bayi berusia 0-6 bulan. 

Bahkan, soal ASI oleh ibu menyusui masih dianggap sepele karena mereka masih menganggap ASI bisa digantikan dengan memberikan air gula kepada bayinya. Bahkan, ASI bisa digantikan dengan air kopi sehingga dada bayi menjadi lebih kuat atau tidak akan kejang/step jika bayi sakit atau panas. Juga, sebagian ibu masih menganggap ASI bisa digantikan dengan susu formula yang dibeli di toko/supermaket.

Ternyata pengertian tentang IMD dan ASI eksklusif masih banyak yang belum diketahui para ibu hamil dan ibu partus di Sikka. Mereka masih mengerti secara parsial (sepenggal) tentang pentingnya ASI eksklusif bagi bayi, dan juga bagi ibunya. Hal-hal yang penting dari ASI belum tergambar secara baik dan benar oleh kaum ibu yang ada di wilayah Sikka ini. 
Mereka belum begitu paham apa itu ASI eksklusif, tentang keuntungan menyusui, juga soal keuntungan/manfaat ASI bagi bayi dan ibunya.

Namun dengan adanya intervensi program IMD dan pemberian ASI eksklusif yang dilakukan Pemkab Sikka dengan mendapat dukungan Unicef (lembaga PBB yang menangani masalah anak, Red), maka dalam dua tahun terakhir (sejak tahun 2007) program ini mulai gencar dicanangkan di Sikka. Dengan adanya intervensi tentang program ini, maka ternyata cukup efektif karena ibu-ibu hamil, ibu partus dan ibu menyusui yang ada di Sikka secara bertahap mulai mengerti dan memahami pentingnya ASI eksklusif bagi bayi dan dirinya.

Untuk mendorong program IMD dan pemberian ASI eksklusif, Pemkab Sikka dan Unicef menggelar pelatihan konseling bagi bidan, tenaga gizi dan dokter yang bertugas di puskesmas, pustu, polindes yang ada di wilayah itu. Hal ini dilakukan karena tenaga kesehatan inilah yang langsung berhubungan dengan para ibu hamil dan ibu partus.

Staf Unicef Kupang, Helena Seran Ndolu, diwawancarai Pos Kupang di Hotel Pelita-Maumere, Selasa (25/11/2007) pagi sebelum memantau pelaksanaan program IMD dan pemberian ASI eksklusif terhadap bayi di lima kecamatan di Sikka yang dijadikan model program ini, mengatakan Unicef mendukung program IMD dan pemberian ASI eksklusif kepada bayi. Pasalnya, pemberian ASI eksklusif, selain menjadi hak bayi, ASI juga sangat tinggi kandungan nilai gizi yang sangat dibutuhkan bayi. Nilai kandung gizi ASI ini tidak terdapat dalam makanan pengganti jenis apapun, atau dalam susu formula merk apa pun.

"Kabupaten Sikka kita jadikan model/contoh terkait program IMD dan pemberian ASI eksklusif bayi 0-6 bulan. Model IMD dan ASI eksklusif dilaksanakan pada lima puskesmas di sembilan kecamatan. 

Program model IMD di Propinsi NTT dilaksanakan di Kabupaten Sikka dan Belu. Di Indonesia, program model ini dilakukan di Propinsi NTT (2 kabupaten) dan di Propinsi NTB," jelasnya.

Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Thomas Ola, yang diwawancarai di ruang kerjanya terkait program IMD dan pemberian ASI eksklusif bayi berusia 0-6 bulan menjelaskan, di Sikka ada 114 konselor ibu menyusui, yakni 102 konselor yang terdiri dari bidan, petugas gizi dan dokter, serta 12 orang pelatih konselor ibu menyusui merangkap konselor. 

"Para konselor ibu menyusui menyebar di 17 puskesmas, 67 polindes dan 65 pustu yang ada di Sikka. Sedangkan Unicef memberikan dukungan program model IMD dan konselor ibu menyusui pada lima puskesmas, yakni di Puskesmas Magepanda, Nele, Kopeta, Beru dan Puskesmas Waipare," jelas Thomas Ola didamping Kepala Seksi Gizi, Telly Gandut, SKM. (bersambung)
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

Melihat Inisiasi Menyusui Dini di Sikka (2)


Oleh Ferry Ndoen

KEBANYAKAN masyarakat kita tidak pernah menduga jika bayinya terkena gizi buruk karena ada hubungan sebab akibat dengan perilaku menyusui. 

Pasalnya, seorang bayi bisa terkena gizi buruk juga karena ibunya tidak memberikan ASI eksklusif secara baik dan benar. Atau boleh jadi bayi tersebut diberikan ASI oleh ibunya, namun tidak secara sempurna sehingga bayinya tumbuh kembang dengan tidak sempurna lalu terkena gizi buruk. Padahal, ASI merupakan intervensi dan investasi yang paling murah dan paling efektif untuk mengatasi masalah gizi buruk pada bayi.

Masalah gizi buruk yang dialami bayi (balita) sering menjadi sorotan. Namun kita tidak pernah memperhatikan bahwa potensi ASI sebenarnya bisa mencegah kekurangan gizi atau mencegah gizi buruk yang dialami bayi secara dini. ASI juga dapat melindungi bayi dari kekurangan gizi, dan dapat mencegah penyakit infeksi lewat pemberian ASI eksklusif selama 0 - 6 bulan pertama lalu dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping MP ASI tanpa harus menghentikan pemberian ASI sampai bayi berusia 2 tahun lebih.

Sebenarnya pemberian ASI eksklusif kepada bayi sama atau identik dengan investasi masa depan (IMD). Pasalnya, bayi secara dini telah diberi asupan makan/minuman bergizi yang tak tertandingi nilainya dari ASI ibunya sehingga tumbuh kembang bayi akan jauh lebih baik. Selain itu, daya tahan/imun tubuh bayi akan jauh lebih baik. 

Namun program yang saat ini dilakukan pemerintah pada umumnya sering terlambat karena pemerintah melakukan investasi serta intervensi program saat bayi sudah terkena gizi buruk baru diambil tindakan/langkah penyelamatan (tindakan darurat berupa pemberian makanan tambahan/PMT bergizi oleh instansi teknis.

Jika investasi ini yang dipilih pemerintah, maka berapa pun nilai dana/uang yang dikucurkan, hasilnya tidak akan siginifikan. Karena program ini sama dengan pogram 'pemadam kebakaran' dimana bayi dan anak balita sudah terkena gizi buruk baru dilakukan intervensi melalui program yang menyedot dana hingga miliaran rupiah.

Seharusnya, saat ibu hamil hingga partus, khususnya saat bayi 0- 6 bulan pertama, pemerintah melalui petugas medis yang ada di fasilitas kesehatan (polindes, pustu, puskesmas, RSU) melakukan investasi berupa IMD kepada ibu-ibu menyusui sehingga ibu-ibu menyusui lebih tekun/serius memberikan ASI secara tepat waktu, dan konsisten kepada bayinya. 

Hal ini dimaksudkan agar bayi bisa mendapatkan jatah kandungan makanan bergizi melalui ASI yang dibutuh tubuhnya karena nilai ASI tidak bisa digantikan dalam bentuk pemberian makanan/susu formula, serta tidak bisa digantikan dengan makanan bervitamin jenis apa pun. 

Mestinya, nilai tumbuh kembang bayi sejak 0-6 bulan pertama berlanjut hingga 2 tahun inilah yang mesti mendapat porsi perhatian lebih dari pemerintah, termasuk wajib memberikan ASI eksklusif kepada bayi tanpa harus memberikan makanan/minuman tambahan, termasuk air putih sekalipun. Hal ini karena nilai kandungan gizi sudah tercakup dalam ASI ibunya.

Data yang ada di Bagian Gizi Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sikka menerangkan bahwa dari 28.000 balita yang ditimbang di fasilitas kesehatan yang ada di Sikka (polindes, pustu, puskesmas) sampai dengan bulan Agustus tahun 2008 tercatat 1,3 persen diantaranya mengalami gizi buruk atau sekitar 400 balita di Sikka mengalami gizi buruk. 

Karena itu, pemberian ASI eksklusif kepada bayi menjadi sangat penting untuk disosialisasikan kepada ibu hamil, ibu partus dan ibu menyusui di pedesaan atau saat mereka datang memeriksakan dirinya ke fasilitas kesehatan yang tersedia.

Mengapa hal ini begitu penting, karena kebiasaan ibu-ibu menyusui yang tinggal/domisili di dusun/kampung/desa, lebih fokus masuk kebun/ladang untuk mengurus kebunnya ketimbang memperhatikan pemberian ASI secara baik kepada bayinya. Kondisi ini menyebabkan bayinya kurang mendapat perhatian dalam pemberian ASI secara benar dan tepat waktu. 
Bahkan di Kabupaten Sikka, ada ibu menyusui yang masih tega memberikan air gula, bahkan bubur kepada bayi yang masih berusia di bawah enam bulan dengan alasan harus bekerja (masuk) menyiangi kebun yang menjadi sandaran hidup ekonomi keluarga. Atau, dengan alasan untuk membantu suami mencari nafkah, dan sebagianya. Bahkan, masih menjadi tradisi sebagian warga di Sikka jika bayi lahir diberikan pisang yang diulik halus. Hal ini sangat tidak dibenarkan. 

Bahkan, di wilayah perkotaan, ibu-ibu menyusui memilih memberikan bayinya susu formula sebagai pengganti ASI manakala ia harus kembali bekerja setelah masa cuti (izin melahirkan) telah berakhir/selesai termasuk ketika sang ibu sakit. 

Sementara ada begitu banyak cara yang bisa dilakukan ibu menyusui untuk tetap memberikan ASI kepada bayinya tanpa harus membeli susu formula. 

Cara yang bisa dilakukan, yakni dengan memeras ASI ke dalam tempat/wadah yang bersih, dan ASI itu bisa disimpan dalam wadah tertutup selama 8-10 jam pada suhu ruangan atau 72 jam dalam kulkas. Lalu, ketika bayi membutuhkan ASI, maka bisa diberikan dengan memberikan ASI perahan yang ada di gelas/cangkir dengan sendok.

Ibu Maria Rosa Misle (31), ibu menyusui warga Desa Magepanda, Kecamatan Magepanda, Sikka, diwawancarai, Rabu (26/11/2008) di kediamannya mengakui ia melahirkan Charles da Cruz, anak ketiganya dengan berat 4,7 kg. Saat ini bayinya telah berusia 4 bulan dengan berat 8,7 kg. 

"Saya hamil suka cari kerang di laut untuk dimasak, dan saya suka makan kerang. Saat hamil ia juga rajin periksa ke Puskesmas Magepanda. Saat lahr, saya juga rajin membawa bayi untuk ditimbang dan periksa di posyandu. Saya melahirkan dibantu bidan Rini serta mendapat konseling tentang ibu menyusui," kata Maria.

Menurut pemantauan Pos Kupang, bayi Charles terlihat ceria dan lincah. Walau baru berusia 4 bulan, bayi ini sangat kuat cengkramannya dan tidak rewel. "Anak saya tidak pernah sakit termasuk batuk pilek sekalipun. Saya memberikannya ASI eksklusif sampai saat ini dan akan saya lanjutkan sampai bayi ini berusia 2 tahun nanti," kata Maria. (bersambung)
Lanjut...

Posted in Label: , | 1 komentar

Melihat Inisiasi Menyusui Dini di Sikka (3)


Oleh Ferry Ndoen

KOLOSTRUM, sebuah istilah yang sangat akrab di telinga perawat, bidan dan dokter. Namun istilah kolostrum ini sendiri banyak yang belum dimengerti/dipahami arti sesungguhnya oleh kaum ibu, khususnya ibu hamil, ibu partus dan ibu menyusui. 
Ibu menyusui biasanya memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayinya secara alamiah (kodrati) tanpa mengetahui tentang manfaat yang tinggi dari zat yang terdapat dalam ASI tersebut bagi bayinya.

ASI itu sendiri adalah suatu cairan yang dihasilkan oleh kelenjar susu seorang ibu dalam masa kehamilan dan langsung dikeluarkan sejak bayi dilahirkan. ASI Yang dikeluarkan pada hari pertama setelah bayi dilahirkan disebut air susu awal (kolostrum) yang berwarna kekuning-kuningan dan agak kental. 

Zat ini merupakan makanan bayi yang sangat baik karena mengandung zat gizi yang tinggi, zat kekebalan untuk melawan penyakit infeksi. Namun kolostrum ini belum banyak diketahui manfaatnya oleh para ibu menyusui.

Manfaat dan keuntungan ASI untuk bayi, selain memenuhi semua kebutuhan gizi, juga mudah dicerna dan tidak menyebabkan konstipasi. Juga memberikan perlindungan untuk melawan diare serta memberi antibodi terhadap penyakit.Pemberian ASI juga membantu penyembuhan penyakit yang diderita bayi serta mempercepat perbaikan saluran pencernaan setelah diare.

Karena itu, sudah saatnya istilah yang sederhana yang terkandung dalam ASI ini disosialisasikan secara baik kepada masyarakat di NTT , khususnya para ibu menyusui yang umumnya masih awam, sehingga mereka benar-benar memberikan ASI secara tepat dan benar kepada bayinya.
Program model Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yang dalam dua tahun terakhir (2007-2008) gencar dilaksanakan oleh Unicef bersama pemerintah di dua kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni di Kabupaten Sikka dan Belu, mestinya bisa direspons dan diadopsi oleh pemerintah kabupaten/kota lainnya di NTT. 

Inovasi model program IMD seperti ini harus bisa ditangkap para stakeholder (penentu kebijakan) lingkup pemerintahan (eksekutif dan legislatif), dan bukan cuma pada dua kabupaten yang saat ini gencar melaksanakan program model IMD. Diharapkan program ini bisa ditangkap dan dilaksanakan di semua wilayah di NTT, khususnya memberikan pemahaman tentang IMD bagi ibu hamil, partus dan ibu menyusui.

Mengapa program IMD yang didorong pihak Unicef ini perlu dilaksanakan secara merata di 20 kabupaten/kota di NTT? Karena dengan melaksanakan/menerapkan program IMD secara menyeluruh di NTT, maka tanpa sadar pemerintah di propinsi kepulauan ini sedang melakukan investasi masa depan/IMD yang baik untuk menciptakan generasi yang sehat, cerdas dan berkualitas sebagai generasi penerus pewaris bangsa. 

Memang apa yang dilakukan melalui program IMD, jika dilihat sepintas, sepertinya sepele dan remeh-temeh. Kita bisa mengambil contoh sederhana program cuci tangan sebelum makan yang dicanangkan pemerintah secara nasional.
Sebenarnya pesan yang ingin disampaikan dari IMD dan pemberian ASI eksklusif kepada bayi berusia 0-6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI hingga bayi berusia minimal 24 bulan sangat penting, dan pesan ini perlu digalakkan.  Dan yang paling berperan untuk menyampaikan pesan ini  kepada ibu menyusui, yakni perawat, bidan serta dokter (tenaga kesehatan) karena mereka inilah yang setiap waktu berada di fasilitas kesehatan untuk melayani masyarakat.

Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Kesejahteraan Keluarga , Cornelia Mude, yang diwawancarai Pos Kupang di Kantor Dinas Kesehatan Sikka, Selasa (26/11/2008), mengatakan, di Sikka terdapat 262 orang bidan yang bertugas di 160 desa, pada 17 puskesmas, puskesmas pembantu dan pondok bersalin desa (polindes). 

Dari jumlah tenaga kesehatan yang ada ini, sebagian sudah mengikuti pelatihan sebagai konselor ibu menyusui yang dilaksanakan pemerintah, selain Unicef. Beberapa diantaranya bahkan telah dilatih sebagai pelatih konselor ibu menyusui.
"Pemkab Sikka mendukung program IMD. Dukungan ini juga tertuang dalam mata anggaran APBD. Kita berharap ke depan secara bertahap semua tenaga kesehatan, bukan hanya bidan, termasuk perawat, bisa mengikuti pelatihan konselor ibu menyusui," kata Mude.

Plt. Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan Kabupaten Sikka, Thomas Ola, yang ditemui terpisah mengakui program IMD yang dilaksanakan di Sikka merupakan salah satu program prioritas untuk mendukung indeks pembangunan manusia. 

Salah satunya melalui pemberian ASI eksklusif kepada bayi 0-6 bulan karena aspek ini terkait erat dengan Panca Program Pemkab Sikka yang dicanangkan Bupati Sikka, Drs. Sosimus Mitang dan Wabup, dr. Wera Damianus, M. M.

Kita semua berharap, dengan diluncurkannya program model IMD di Kabupaten Sikka dan Belu ini, pemerintah kabupaten/kota lainnya juga bisa meniru dan menerapkan program ini di wilayahnya masing-masing, yang nantinya bisa tergambar dalam APBD setiap daerah.

Kepala Kantor Unicef Perwakilan NTT, Dr. Virginia Kadarsan, yang diwawancarai Pos Kupang di ruang kerjanya, mengakui Unicef melihat tugas pokok dan fungsi (tupoksi) bidan sangat strategis sehingga harus disiapkan dan dioptimalkan melalui pelatihan sebagai seorang konselor ibu menyusui karena para tenaga kesehatan inilah yang selalu melayani ibu hamil, ibu partus dan ibu menyusui.

"Pemberian ASI eksklusif kepada bayi sebagai sebuah fondasi. Ini merupakan sebuah investasi dini saat bayi masih berusia 0-6 bulan dilanjutkan sampai usia 2 tahun," tambahnya. Program model IMD ini telah digulirkan di dua kabupaten di  NTT. Kita berharap kabupaten/kota lainnya bisa menerapkan program ini di daerahnya masing-masing karena apa yang di laksanakan saat ini tidak akan dituai sekarang ini, namun akan terlihat pada lima, sepuluh bahkan puluhan tahun yang akan datang, dengan melihat generasi kita yang cerdas, sehat dan berkualitas. (habis)
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

Program Jagung

Oleh Petrus Kase

Kandidat doktor, ilmu administrasi dan kebijakan publik, Universitas Padjadjaran, Bandung

KETIKA membaca berita tentang program jagung di NTT (Kompas, 8 Oktober 2008, hal 22) hati saya terasa sangat lega karena impian saya telah terwujud. Impian ini muncul ketika saya mengikuti dialog sebuah telivisi nasional dengan Gubernur Gorontalo, Fadel Muhamad, tentang keberhasilan program jagung di Propinsi Gorontalo, dua tahun yang lalu. Menurut gubernur, dengan sedikit nada kritikan, "sebagian pemerintah daerah di Indonesia menetapkan banyak program yang bagus, namun kurang sesuai dengan potensi daerah dan kondisi masyarakat sehingga sulit diimplementasikan. Seharusnya setiap pemerintah daerah memiliki satu program unggulan yang sesuai dengan potensi daerah dan kondisi masyarakat". 

Ketika itu saya berpikir, kenapa pemerintah daerah tidak memikirkan program jagung di NTT yang mayoritas masyarakatnya, dari sisi kultur pertanian maupun konsumsi pangan, jagung bukan hal baru? Pikiran lainnya bahwa dengan adanya program jagung di NTT maka produksi jagung akan meningkat dan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat akan menguat sehingga masalah kurang gizi dan busur lapar di NTT dapat dieliminir. 

Program ini patut disambut dengan gembira karena pemerintah daerah peduli dengan kepentingan daerah dan masyarakat. Namun, di satu sisi masih ada keraguan karena walaupun tujuan program ini mulia, belum tentu efektif pencapaiannya. Rumusan program bisa bagus, tetapi implementasinya bisa lemah sehingga menghambat pencapaian tujuan yang diinginkan. 

Keraguan ini muncul karena alasan teoritis maupun empiris. Secara teoritis, sejumlah ahli kebijakan publik mengatakan bahwa setiap kebijakan pemerintah apa pun pasti mengandung risiko kegagalan. Bahkan Hogwood dan Gunn (1974) menjelaskan dua kategori kegagalan kebijakan atau policy failure yaitu non implementation (tidak terimplementasikan) dan unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Non implementation berarti suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai rencana, karena tidak ada kerjasama atau pihak-pihak yang terlibat tidak bekerja secara efisien, atau tidak menguasai permasalahan. Unsuccessful implementation berarti suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai rencana, namun tidak berhasil mencapai tujuan karena kondisi eksternal yang tidak menguntungkan (misalnya, bencana alam dan sebagainya). Biasanya kebijakan gagal karena faktor-faktor seperti : pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), atau kebijakan itu memang bernasib jelek (bad luck). 

Secara empiris, kenyataan membuktikan bahwa sejumlah program pemerintah gagal mewujudkan tujuan yang diharapkan. Padahal, program itu telah dirancang dengan baik di mana tujuan, sasaran, prosedur pelaksanaan, standar dan indikator-indikator pencapaian tujuan telah ditetapkan secara jelas. Salah satu contohnya, program asuransi kesehatan keluarga miskin (askeskin), yang pelaksanaannya dalam tahun 2007 menemui banyak masalah krusial seperti ketidakakuratan data peserta, keterlambatan penerbitan dan distribusi kartu peserta, penyalahgunaan hak atas fasilitas askeskin oleh banyak keluarga tidak miskin hanya untuk bebas dari kewajiban membayar rumah sakit, keterlambatan pencairan dana sehingga proses pelayanan kesehatan di rumah sakit terganggu, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Walaupun demikian, ada juga program pemerintah yang berhasil mewujudkan tujuannya. Misalnya, program jagung di Propinsi Gorontalo. 

Dalam pelaksanaan program jagung di NTT, pemerintah daerah dan seluruh jajarannya serta pihak terkait lainnya dapat belajar dari kegagalan dan keberhasilan sejumlah program pemerintah dalam merealisasikan tujuannya. Keberhasilan program jagung di Propinsi Gorontalo bisa dijadikan contoh. Studi banding bisa dilakukan untuk mempelajari trik-trik keberhasilan program jagung di Propinsi Gorontalo. Tetapi potensi daerah, kondisi lahan, kondisi managemen pemerintahan, dan kondisi sosial budaya dan politik masyarakat tentu berbeda antara Gorontalo dan NTT. Karena itu, faktor-faktor ini perlu diperhitungkan secara matang sehingga dapat diambil strategi yang paling sesuai untuk kondisi di NTT. Bukannya mengadopsi secara utuh trik-trik keberhasilan itu.

Berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan suatu kebijakan atau program tentu dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Van Meter dan Van Horn (1975) mengemukakan enam faktor yang mempengaruhi efektif tidaknya pencapaian tujuan kebijakan yaitu standar dan tujuan, sumber-sumber, komunikasi antar-organisasi dan kegiatan pelaksanaan, karakteristik badan pelaksana, kondisi sosial, ekonomi dan politik, serta sikap pelaksana. Mengacu pada keenam faktor ini dan berbekal sedikit informasi tentang formulasi isi (content) program jagung di NTT, maka penulis ingin memberi beberapa pikiran sebagai berikut. 

Sesuai informasi, Kompas (8 Oktober 2008) mengatakan : "Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT, Ir. Piet Muga di Kupang, Selasa (7/10/2008) mengatakan, sesuai program jangka pendek Gubernur NTT, semua instansi pemerintah saat ini fokus pada budidaya jagung. Tanaman jagung bukan hal baru di NTT karena sudah lama dikenal masyarakat NTT. Hanya tingkat produksi, pemanfaatan dan pemasaran jagung perlu ditingkatkan dan ditata". 

Tujuan program ini sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan produksi, pemanfaatan dan pemasaran jagung, namun hendaknya program ini jangan lebih terfokus pada aspek komersial sehingga pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat diabaikan. Apabila demikian, maka apa dampak program ini terhadap pangan masyarakat? Apakah produksi jagung dijual untuk membeli beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat? Apakah nilai konsumsi jagung sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat NTT telah bergeser karena nilai konsumsi beras atau jenis pangan lainnya? Apabila benar bahwa program ini lebih terfokus pada aspek komersial, maka hal ini sangat ironis, karena kebanyakan masyarakat NTT masih terlilit masalah kurang terpenuhinya kebutuhan pangan, kurang gizi dan busung lapar. Seharusnya tujuan utama program ini adalah pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dan apabila tujuan ini telah tercapai baru diikuti komersialisasi. 

Dari informasi Kompas di atas, juga terlihat seakan sasaran dan cakupan program ini adalah semua instansi pemerintah. Apabila benar maka cakupan program ini masih terbatas dan belum menyentuh sasaran yang sebenarnya yaitu masyarakat petani karena seharusnya mereka yang paling berhak mendapat manfaat dari program ini. Masyarakat petani bisa berperan sebagai pelaksana sekaligus pemanfaat program, bukan sebagai penonton. Masyarakat petani juga butuh pemberdayaan sehingga mereka mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan dan mengatasi kemiskinannya. Instansi pemerintah mungkin hanya boleh berperan sebagai fasilitator namun apakah semua instansi pemerintah cukup kompoten untuk mengemban tugas ini?

Dari sisi sumber-sumber program maka ketersediaan lahan, jenis dan kualitas bibit, pupuk dan fasilitas lainnya merupakan sumber-sumber yang sangat penting dalam mendukung pencapaian tujuan program ini. Karena itu, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menyediakan sumber-sumber ini secara memadai. Apalagi kalau pelaksana program ini adalah masyarakat petani maka adalah kurang bertanggung jawab apabila pemerintah daerah membiarkan masyarakat petani menyediakan sendiri sumber-sumber ini. Pupuk adalah sarana yang sangat penting karena sebagian besar lahan pertanian di NTT adalah lahan kritis. Kurang tersedianya sumber-sumber ini dalam jumlah dan kualitas yang memadai dapat berakibat gagalnya pencapaian tujuan program. 

Begitu pula, kondisi sosial budaya sebagian masyarakat di NTT bisa menghambat pencapaian tujuan program. Misalnya, budaya beternak lepas. Sementara itu, banyak lahan pertanian tidak dipagari oleh pemiliknya atau dipagari tetapi mudah rusak karena ulah ternak maupun manusia. Akhirnya, sejumlah warga masyarakat gagal panen karena tanaman jagung sudah dirusak sejak dini dan tidak memberi hasil apa-apa. Padahal gagal panen juga merupakan salah satu sebab busung lapar di sejumlah daerah di NTT.

Kondisi sosial budaya seperti ini masih ditemui pada sebagian masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan mungkin juga di kabupaten lainnya. Bahkan ada tokoh masyarakat setempat yang tidak peduli jika ternaknya merusak tanaman warga lain. Budaya beternak lepas juga sering mengakibatkan konflik sehingga merusak tatanan dan ikatan sosial warga masyarakat setempat. Namun, persoalan ini pun masih kurang mendapat respon dari pemerintah daerah. Belum ada perangkat hukum pemerintah daerah yang dapat menertibkan kondisi sosial budaya ini secara efektif. 

Demikian beberapa pikiran dalam tulisan ini dan kiranya pemerintah daerah dan seluruh jajarannya, serta pihak terkait lainnya tergugah untuk lebih responsif, antisipatif, akuntabel, efisien dan efektif, dan adil dalam melaksanakan program jagung di NTT. Apabila sasaran program ini adalah warga masyarakat miskin, maka pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat akan semakin menguat sehingga masalah kurang gizi dan busung lapar di NTT dapat dieliminir. Apabila kesejahteraan warga masyarakat miskin meningkat karena program ini maka kepercayaan mereka kepada pemerintah daerah juga akan meningkat.*

Pos Kupang edisi Sabtu 6 Desember 2008 halaman 14
Lanjut...

Posted in Label: | 1 komentar