Menengok Penyakit Frambusia di Belu (1)

Oleh Ferdinandus Hayong

SALAH satu penyakit di Indonesia Bagian Timur yang hingga saat ini belum tuntas adalah penyakit Frambusia. Dalam bahasa Inggris, Frambusia disebut Yaws. Ada juga yang menyebutnya Frambesia tropica. Penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk miskin. 

Dr. I Nyoman Kandun, pengurus Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, dalam tulisannya mengemukakan bahwa Frambusia -- dalam International Classification of Disease diberi kode ICD-9 102; ICD-10 A 66 -- adalah penyakit kronis, termasuk monvenereal treponematosis, yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue, masih saudara kandung dengan Treponema pallium sub spesies pallidum penyebab syphilis (Lues, raja singa).

Penyakit Frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki. Lesi ini tidak sakit, tapi bertahan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Lesi kemudian menyebar membentuk lesi yang khas berbentuk buah frambus (raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut dari penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 persen dari penderita yang tidak diobati.

Walaupun bakteri penyebab Frambusia masih saudara kandung dengan bakteri penyebab syphilis, stadium lanjut penyakit Frambusia tidak menyerang organ-organ vital tubuh seperti otak, mata, jantung, aorta dan lain-lain, sehingga tidak fatal. Frambusia pada stadium primer dan sekunder sangat menular melalui kontak langsung dengan cairan luka borok atau secara tidak langsung kemungkinan ditularkan oleh lalat dari luka borok yang terbuka. 

Frambusia adalah indikator kemiskinan dan keterbelakangan. Jika di suatu daerah ditemukan frambusia berarti keadaan gizi, kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungannya jelek, tidak tersedia sarana air bersih yang memadai, permukiman dan prasarana wilayah yang jelek. Artinya, wilayah tersebut tidak tersentuh oleh pemerataan program pembangunan di segala bidang. 

Bagaimana dengan Kabupaten Belu? Kepala Dinas Kesehatan Belu, dr. Lau Fabianus menyebut bahwa penyakit Frambusia di NTT hingga akhir Desember 2007 angka prevalensi rate-nya mencapai 3,5 per 10.000 penduduk, sedangkan di Kabupaten Belu angka prevalensi rate 5,6 per 10.000 penduduk. Angka ini jauh di atas target nasional yaitu 1/10.000 penduduk. 

Jumlah penduduk Kabupaten Belu sebanya 378.88 jiwa yang tersebar di 208 desa/kelurahan, dengan sarana pelayanan kesehatan sebanyak 20 puskesmas dan 4 rumah sakit. Pada tahun 2007 terdapat delapan buah puskesmas pada 33 desa. Daerah endemis Frambusia, yaitu Puskesmas Nurobo, Weoe, Biudukfoho, Betun, Tunabesi, Kaputu dan Weliman. 


Memasuki tahun 2008, penyakit frambusia di Belu tercatat dengan angka prevalensi 10,4/10.000 penduduk yang tersebar di 39 desa di tiga wilayah kerja puskesmas, yaitu Puskesmas Bidukfoho, Kaputu dan Tunabesi.

Terhadap bentangan fakta ini, Lau Fabianus menilai bahwa penyakit Frambusia saat ini menjadi ancaman serius bagi warga di selatan Belu. Hal inilah yang mendorong pemerintah Kabupaten Belu melalui Dinas Kesehatan Belu bersama dengan WHO, Departemen Kesehatan RI, Dinas Kesehatan NTT melakukan survei dan pengobatan dalam rangka eradikasi penyakit dimaksud. 

Kegiatan bersama ini diharapkan minimal 80 persen penduduk di daerah kantong Frambusia dapat ditemukan. Selain itu, ditemukannya seluruh penderita Frambusia dan kontak. Dengan begitu, tim dapat mencari jalan untuk mengobati para penderita ini sehingga target eradikasi Frambusia di Belu tahun 2012 dapat tercapai.

"Tim yang terlibat dalam survei Frambusia sebanyak 59 orang. Tim ini melakukan survei tanggal 23-31 Maret 2009 yang dilaksanakan di 22 desa yang ada di 8 kecamatan yang jadi kantong Frambusia, yakni Kecamatan Rinhat, Kecamatan Wewiku, Kecamatan Weliman, Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Laenmanen, Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Sasitamean, dan Kecamatan Iokufeu," jelas Fabianus.

Dari berbagai literatur disebutkan bahwa penyakit frambusia ini sesungguhnya pada pemerintahan Orde Baru telah menetapkan bahwa Frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan "Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)". Namun, kenyataannya sampai saat ini Frambusia masih ditemukan. Di Kabupaten Belu sendiri selama ini sepertinya masyarakat dan pemerintah melihat penyakit ini sebagai hal biasa. 

Terbukti baru saat ini Pemerintah Kabupaten Belu mulai 'tanam kaki' dengan melakukan survei ke titik-titik rawan di wilayah selatan Belu. Keadaan ini menyusul adanya wanti-wanti dari pihak WHO. Hasil evaluasi WHO menunjukkan bahwa kasus Frambusia di Belu sudah sangat mengkhawatirkan. WHO bahkan men-support dana Rp 400 juta bagi pemerintah setempat agar persoalan Frambusia ini dapat ditekan. 

Pertanyaannya, mungkinkah target yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Belu untuk bebas Frambusia tahun 2012 dapat dicapai? Target ini tentunya masih harus diuji kembali. Persoalannya, mengatasi kasus ini banyak faktor pendukung yang mestinya jadi bahan pertimbangan. Metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan tetap menjadi indikator yang harus diperhatikan. Untuk itu sangatlah tepat kalau semua pihak di Belu melihat penyakit Frambusia ini sebagai persoalan bersama. (bersambung)

Sumber: Pos Kupang 18 April 2009 halaman 1
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Menengok Penyakit Frambusia di Belu (2)

Oleh Ferdinandus Hayong

MENURUT World Health Organization (WHO), Frambusia merupakan salah satu penyakit kelompok marjinal yang sudah dilupakan karena banyak negara telah memberantasnya. Namun dua negara, yaitu Indonesia dan RDTL, masih melaporkan adanya kasus Frambusia. Antara lain di Kabupaten Belu. 

Kesepakatan global menghendaki penyakit ini segera hilang dari muka bumi paling lambat tahun 2015. I Nyoman Kandun, Pengurus Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia mengungkapkan dalam tulisannya bahwa sejarah pemberantasan Frambusia di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak zaman Belanda pada tahun 1912 dengan pengobatan neo salvarsan penemuan Tuan Ehrlich. 

Saat itu uji coba dilakukan di Rembang, Kediri, dan Banyumas. Hasilnya sangat memuaskan, penderita dapat disembuhkan dengan sekali suntikan saja. Selanjutnya, pada tahun 1914 dimulai upaya yang disebut dengan "Frambusia Bestrejding". 

Pada tahun 1930-an, Dr R Kodijat -- yang pada waktu itu menjabat sebagai Dokares (dokter karesidenan) -- berjasa melakukan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan Program Pemberantasan Frambusia. Masuknya Jepang sampai dengan Clash I dan II (1942-1949), upaya pemberantasan Frambusia berhenti sama sekali. 

Setelah penyerahan kedaulatan, WHO dan Unicef menawarkan bantuan kepada Indonesia untuk memberantas Frambusia. Upaya pemberantasan dimulai di Yogyakarta dengan pengorganisasian pemikiran Dr. R. Kodijat yang disebut dengan Treponematosis Control Project (TCP). Dalam proyek ini Kodijat bertindak sebagai direktur pertama.

Pada tahun 1952 sistem TCP oleh Prof Soetopo dkk disempurnakan menjadi TCP Simplified (TCPS). Intinya berisi tiga fase, yaitu fase kampanye, fase konsolidasi, dan fase maintenance. Pada fase kampainye dilakukan pemeriksaan terhadap semua penduduk dan penyuntikan semua penderita yang ditemukan. Pada fase konsolidasi hanya dilakukan spot survey dan resurvey. Tujuannya, untuk mengawasi endemisitas Frambusia sambil berusaha menurunkan jumlah penderita. 

Pada fase maintenance upaya dilakukan agar Frambusia tidak kembali lagi. Namun fakta yang terjadi bahwa Frambusia selama ini menjadi ancaman serius di hampir sebagian besar wilayah di Indonesia. 

Di Kabupaten Belu, sesuai hasil survei tim WHO, ditemukan cukup banyak penderita penyakit Frambusia. Secara kuantitatif memang belum banyak kasus yang terjadi, tetapi sesungguhnya penyakit ini tetap menjadi ancaman serius di Belu. 

Kepala Dinas Kesehatan Belu, dr. Lau Fabianus mengakui tingkat penyebaran penyakit Frambusia sesuai dengan hasil survei yang dilakukan belum lama ini. Menurut dia, dari hasil survei tim gabungan di beberapa titik yang dianggap rawan, pihaknya melakukan pemeriksaan terhadap 4.733 orang warga di 8 kecamatan (24 desa). 

Dari jumlah total tersebut, yang berhasil ditemukan 185 kasus. Sebanyak 135 orang menderita Frambusia kategori menular dan 50 tidak menular. Tim akan terus melakukan survei dengan mendatangi warga untuk melihat dari dekat apakah masih ada warga yang menderita. 

Selain itu, dilakukan follow up kepada pasien yang sudah diobati untuk memastikan tingkat kesembuhannya. Apabila belum belum sembuh, maka pengobatan lanjutan akan dilakukan.

"Belu merupakan daerah pertama yang menggunakan sistem pengendalian penyakit Frambusia secara manual. Kita akan tetap menggunakan metode ini. WHO bahkan sudah janji akan meminta petugas dari Belu untuk ikut ke Sumba Barat, memberikan contoh sistem manual yang kita terapkan di Belu," ujar Fabianus.

Bupati Belu, Drs. Joachim Lopez menandaskan, Pemerintah Kabupaten Belu komit mengatasi penyakit ini. Pemerintah daerah sangat berkomitmen pada pembangunan sumber daya manusia. Salah satu aspeknya, yaitu kesehatan masyarakat. Persoalan yang menimpa dan diderita masyarakat Kabupaten Belu selalu diupayakan untuk diatasi dan dikendalikan sampai pada tingkat aman, termasuk penyakit Frambusia.

"Pemerintah daerah melalui satuan kerja terkait menyiapkan dukungan dalam bentuk menyiapkan tenaga teknis profesional, menyiapkan fasilitas dan sarana termasuk peralatan pelayanan kesehatan yang tersebar untuk menjangkau seluruh masyarakat hingga ke pelosok-pelosok. 

Menyediakan obat-obatan dan logistik pelayanan yang dibutuhkan, menyediakan biaya operasional dan menyediakan regulasi yang kondusif bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat," tutur Lopez.

Lopez atas nama pemerintah dan masyarakat Belu menyampaikan penghargaan atas dukungan dari WHO, Depkes, Pemerintah Propinsi NTT atas dukungannya terhadap upaya pemberantasan frambusia di Belu. Dukungan ini menstimulir dan memperbesar tekad pemerintah kabupaten untuk menuntaskan persoalan penyakit ini. Niat pemerintah daerah sudah bulat untuk meng-eradikasi penyakit Frambusia dari derita masyarakat. 

Lopez mengakui wilayah Kabupaten Belu bertetangga dengan masyarakat dari kabupaten lain bahkan dengan negara RDTL, memang berpeluang terhadap tingkat penyebaran penyakit ini. Kondisi ini akan dikomunikasikan dengan pemerintah propinsi, pemerintah pusat dan pemerintah RDTL pada berbagai kesempatan agar turut memberikan perhatian terhadap masalah penyakit Frambusia ini. 

Kepada masyarakat Belu, khususnya wilayah selatan, Bupati Lopez mengimbau agar waspada terhadap penyakit Frambusia ini. Semua warga harus sadar dan untuk memerangi penyakit menular ini dengan menjaga kesehatan diri dan lingkungan. Apalagi penyakit ini rentan menyerang anak-anak di bawah usia 15 tahun yang merupakan generasi masa depan Belu. Untuk itu, semua camat, kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan untuk bergandengan tangan menjaga kesehatan.

"Indikator pembangunan berjalan baik sangat ditentukan oleh derajat kesehatan. Untuk itu, generasi muda perlu dijaga agar tidak menjadi sasaran penyerangan penyakit Frambusia ini. Memang tidak mudah memberantas penyakit ini, tetapi kalau kita semua menyadari dengan terus memberikan pendampingan, maka bukan tidak mungkin permasalahan ini dapat ditekan. Masyarakat jangan masa bodoh terhadap penyakit ini karena dapat mengkibatkan kecacatan menetap," ujar Lopez mewanti-wanti.(habis)

Sumber: Pos Kupang 19 April 2009 halaman 1
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (1)

Oleh Julianus Akoit

Selama sepekan terakhir, media massa cetak dan elektronik gencar memberitakan kasus biskuit gratis yang dibagikan Care International di Kefamenanu kepada ratusan sekolah dasar (SD) dan Posyandu yang menyebar di 17 kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Biskuit gratis ini adalah bagian dari kegiatan WFP's School Feeding Program yang diselenggarakan oleh The United Nations World Food Programme (UN-WFP), yang bermarkas di Roma, Italia. 

Kegiatan ini mendapat dana dari negara donor seperti Kerajaan Arab Saudi dan Pemerintah Australia. Anak dan balita pun senang mendapat biskuit gratis itu, termasuk orangtua si anak. Tapi, tiba-tiba seorang bocah bernama Emanuel Meol (9), murid SD Negeri Nifuboke di Noemuti mengembalikan biskuit tersebut kepada gurunya. "Ada jarum suntik dan anak hekter dalam biskuit. Nyaris tertelan. Saya takut mati," kata Meol beralasan ketika ditanya gurunya. 

PENGAKUAN si bocah Meol ini sontak membuat sekolahnya gempar. Kepala SDN Nifuboke, Ny . Gaudensiana Cornelis, A.Ma.Pd, mengaku kakinya sempat gemetar membayangkan kecelakaan yang nyaris merenggut bocah mungil berkulit gelap itu. 

"Seandainya jarum suntik dan benda-benda asing berbahaya itu sampai tertelan, pasti nyawanya tidak bisa tertolong. Itu berarti saya yang pertama masuk penjara," ujarnya dengan nada suara takut. 

Usai mendapatkan laporan dan melihat langsung bekas jarum suntik menancap dalam lempengan biskuit, Ny. Cornelis memerintahkan guru pengelola bantuan biskuit gratis, Petrus Banu, untuk menyita kembali biskuit yang sudah telanjur dibagikan kepada para murid. Biskuit itu disimpan bersama 40 kardus biskuit lainnya. Masing-masing kardus berisi 90 bungkus biskuit berukuran 50 gram. 

Sejak mengembalikan biskuit itu sampai hari ini, Rabu (8/4/2009) siang, Emanuel Meol, si bocah yang dikenal sangat lincah di kelasnya itu, tidak masuk sekolah. "Dia sakit dan badannya panas tinggi. Kami belum tahu dia sakit apa. Kami takut, jangan-jangan ia menelan benda asing berbahaya itu," tukas Petrus Banu. 

Dikatakannya, dalam satu atau dua hari ke depan, para guru dan teman kelasnya akan mengunjungi Meol di kediamannya, yang berjarak 500 meter dari sekolahnya. 

Kabar kasus bocah Meol dari Nifuboke ini menyebar dengan cepat ke Kefamenanu, ibukota Kabupaten TTU. Para pejabat dan pihak kepolisian ikut gempar karena kasus ini ternyata tidak saja terjadi di Nifuboke, Noemuti. Delapan sekolah dasar di Kecamatan Insana, empat sekolah dasar di Miomaffo Timur dan Miomaffo Barat serta dua sekolah dasar di Insana Utara, juga melaporkan kasus yang sama. Bahkan bukan saja jarum suntik yang menancap dalam lempengan biskuit, tetapi juga lempengan pisau silet yang sudah berkarat, jarum pentul, pecahan beling, anak hekter (stapless), kerikil dan pasir kasar. Lho, kok bisa ya? 
Aneh tapi nyata. Tidak bisa diterima akal sehat, tapi kenyataan terbentang di depan mata. Benda-benda asing yang membahayakan jiwa balita dan anak sekolah itu dapat dilihat sangat jelas oleh mata normal. Bukan terselip di bungkusan biskuit, tetapi menancap di lempengan biskuit itu. "Jika dipatahkan biskuitnya, baru tampak benda asing berbahaya itu nongol keluar," kata Lazarus Tefa, Kepala SDK Kiupukan 1, di Insana. Di sekolahnya, empat muridnya nyaris menelan potongan pisau silet, batang jarum pentul dan serpihan anak hekter. 

Ia mengaku harus meninggalkan kelas selama tiga hari karena dipanggil memberikan keterangan di Markas Polsek Insana di Kiupukan. "Saya lapor temuan kasus biskuit bencana itu kepada polisi. Lalu saya diperiksa selama tiga hari. Awalnya polisi tidak percaya, tetapi setelah melihat langsung benda asing berbahaya menancap di lempengan biskuit itu, baru mereka percaya," papar Tefa. 

Mendengar berita buruk itu, petugas lapangan Care International di Kefamenanu buru-buru membujuk para guru dan murid di sekolah agar bantuan biskuit gratis itu jangan ditolak. "Biskuit itu harus terus dimakan sampai habis. Hanya ketika dibagikan atau dikonsumsi, guru harus mendampingi para murid. Dan ketika makan biskuit itu, harus di dalam kelas serta diawasi para guru. Kami siap bertanggung jawab, jika terjadi sesuatu," kata Amandus Taena, mengutip penjelasan petugas lapangan Care International yang datang membujuk disertai ancaman. 


Kapolres TTU, AKBP Adi Wibowo, S.H, yang ditemui para wartawan di ruang kerjanya, Rabu (8/4/2009) siang, mengaku sangat terkejut setelah melihat barang bukti biskuit bencana tersebut. "Awalnya saya tidak yakin. Saya pikir itu cuma isu murahan dari orang iseng. Tapi setelah saya lihat sendiri dengan mata kepala, saya sangat terkejut. Sebab itu nyata. Ada pisau silet, anak hekter, dan jarum pentul. Bagaimana jika ada anak yang sampai menelan benda-benda asing berbahaya tersebut?" tukas Wibowo sambil menggeleng-gelengkan kepala. 

Ia mengaku, penyidik belum bisa menemukan motif di balik kasus biskuit bencana tersebut. "Juga belum ada tersangka kasus ini. Kami baru sebatas memeriksa beberapa saksi. Bahkan orang-orang Care International dan UN-WFP belum kami panggil untuk diperiksa," kata Wibowo terus-terang. 

Ia mengaku, awalnya kasus ini ditangani pihak penyidik di masing-masing Polsek, namun karena kasus ini termasuk kategori gawat dan meresahkan banyak orang, penyidik Polres TTU mengambil alih penyelidikan. 

Menelisik motif di balik kasus biskuit bencana itu memang sangat sukar. Polisi saja mengaku belum bisa menemukan motif di balik kejahatan kriminil ekonomi itu, yang nyaris merenggut jiwa balita dan anak sekolah dasar di TTU. Bahkan tersangka pun masih gelap. Siapa yang sedang `bermain' dan apa tujuannya, kita belum tahu dengan pasti. Lalu siapa yang harus `disalahkan', yang harus bertanggung jawab? 

Mungkin kita mesti menengok ke belakang sebentar. Untuk bertanya sekadarnya, apa itu kegiatan WFP's School Feeding Program? Jawaban atas pertanyaan ini teramat penting agar kita jangan sampai menuding pihak lain yang tidak bersalah. Ataupun kalau pihak itu bersalah, tudingan itu minimal harus dibuktikan secara logis, bertanggung jawab dan sesuai fakta. 
Sebenarnya kegiatan WFP's School Feeding Program diadakan untuk menyelamatkan anak-anak kurang mampu, yang mengalami kekurangan gizi dan asupan nutrisi dalam tubuhnya. 

UN-WFP menemukan banyak anak usia sekolah dasar, kekurangan gizi dan asupan nutrisi. Di rumah keluarga kurang mampu, kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi. Kadang anak berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Kondisi ini memang sangat memprihatinkan. 

Kondisi buruk inilah yang hendak diselamatkan oleh UN-WFP dengan meluncurkan kegiatan WFP's School Feeding Program. Anak sekolah pun mendapatkan bantuan makanan bergizi dalam bentuk biskuit berfortifikasi. Ada sejumlah vitamin dan mineral yang terkandung dalam biskuit yang dibagikan gratis itu. "Banyak anak yang kekurangan gizi berhasil diselamatkan," kata Mitra Salima Suryono, Public Information Officer UN-WFP. 

Menurut Mitra, School Meals dari kegiatan itu memiliki empat tujuan utama. Pertama, menyelamatkan keluarga miskin. Kedua, membantu anak sekolah untuk tetap rajin ke sekolah dan membuat mereka terus berkonsentrasi dalam pelajaran sekolahnya. Ketiga, mendorong orangtua untuk mengirim anak-anaknya mengikuti pelajaran di sekolah, terlebih anak perempuan. Keempat, menawarkan dan memberikan bantuan makanan bergizi. 

Dan kegiatan ini bukan saja dilakukan di empat kabupaten di Timor Barat, tetapi juga dilaksanakan di beberapa negara di Afrika, Asia , Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah dan sebagainya. "Kegiatan ini sudah berjalan lama dan memperlihatkan hasil yang sangat signifikan," tandas Mitra. (bersambung) 

Sumber: Pos Kupang 14 April 2009 halaman 1
Lanjut...

WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (2)

Oleh Julianus Akoit

SEBELUM melihat bagaimana aksi program ini di lapangan, mungkin kita melihat bagaimana lembaga UN-WFP bekerja Sebelum melakukan intervensi bantuan pangan dan gizi di suatu wilayah, UN-WFP melakukan studi mendalam mengenai analisa situasi ketahanan pangan masyarakat setempat. Studi ini diberi nama Vulnerability Analysis and Mapping (VAM) atau analisis kerentanan dan pemetaan ketahanan pangan.

Studi ini sangat dibutuhkan agar intervensi bantuan pangan dan gizi itu benar-benar tepat sasaran, tepat manfaat dan tepat waktu. Studi ini untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar, misalnya apakah penduduk di wilayah itu rentan atau kekurangan pangan atau memang sudah dalam tahap kritis (lapar)? Berapa banyak orang penduduk yang kekurangan pangan atau kekurangan gizi akut? Mengapa atau faktor penyebab di wilayah itu kekurangan gizi atau kekurangan pangan? Bagaimana penduduk di wilayah itu mendapatkan pangan dan bagaimana cara mereka mencukupkan gizinya?

UN-WFP mempunyai 120 analis terbaik di seluruh dunia. Para analis ini bekerja sama dengan LSM internasional dan lokal dibantu badan PBB untuk menjawab pertanyaan-pertanayaan tersebut. Tentunya studi itu juga menggandeng pemerintah setempat. Data dari pemerintah setempat tentang ketersediaan pangan, jumlah kasus gizi buruk, data tentang masalah kesehatan serta angka partisipasi pendidikan, juga dianalisa.
Hebatnya, penganalisaan data dan temuan data di suatu wilayah oleh para analis dari UN-WFP itu, dibantu dengan peralatan canggih seperti Satellite Imagery (Citra Satelit), Geographic Information Systems (GIS/Sistem Informasi Geografis) dan Personal Digital Assistants (PDA). Hasil analisa didukung peralatan canggih ini, nantinya akan dipakai untuk membuat suatu kesimpulan terakhir atau keputusan bagaimana intervensi pangan dan gizi yang paling tepat dan komprehensif untuk suatu wilayah, jenis intervensi apa yang paling tepat dan sesuai.

Studi dengan menggunakan mekanisme dan prosedur semacam ini juga dilakukan UN-WFP ketika sampai pada keputusan untuk membuat WFP's School Feeding Program di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di NTT, khusus di Timor Barat, UN-WFP merasa mantap untuk menggelar program ini.

Lembaga ini berpendapat intervensi pangan untuk perbaikan gizi mesti dilakukan terhadap 654 sekolah dasar dan 1.219 posyandu, yang meliputi tujuh kecamatan di Kabupaten Kupang, 14 kecamatan di Kabupaten TTS, 17 kecamatan di Kabupaten TTU dan 9 kecamatan di Kabupaten Belu. Program ini mendapat suntikan dana dari negara donor seperti Kerajaan Arab Saudi dan Pemerintah Australia.

Maka sejak tahun 2005 hingga 2009 ini atau sudah empat tahun, UN-WFP mendistribusikan bantuan makanan berupa biskuit berfortifikasi. Konon UN-WFP mengklaim biskuit berfortifikasi ini mengandung beberapa vitamin dan mineral untuk memperbaiki dan melengkapi kebutuhan gizi dalam tubuh balita dan anak sekolah. Dan biskuit gratis ini pun sampai ke sekolah dan posyandu di pedalaman Timor Barat. Pendistribusian biskuit gratis ini dilakukan dengan menggandeng Care International, salah satu NGO berpengalaman dalam bidang bantuan kemanusiaan dan pangan di beberapa belahan dunia.
Namun apa yang terjadi? Ribuan dos biskuit gratis bantuan dari UN-WFP yang disalurkan oleh Care International di Kefamenanu kepada ratusan sekolah dasar di 17 kecamatan di Kabupaten TTU diduga mengandung pisau silet (pisau cukur), jarum pentul, kaca beling, anakan hecter dan batu kerikil. Lima orang murid di Kecamatan Insana hampir menjadi korban 'biskuit bencana' ini. Kasus ini kini dalam penanganan aparat Polres TTU.

Kepala SDK Kiupukan I, Lazarus Tefa, yang ditemui para wartawan di ruang kerjanya membenarkan hal itu. Di sekolahnya, ada empat murid yang nyaris menjadi korban menelan benda asing berbahaya yang terdapat dalam bungkusan biskuit itu. 

"Hampir saja tertelan oleh para murid. Beruntung segera kami tarik kembali biskuit itu dari para murid," tukasnya dengan nada kesal. Ia mengaku tidak mengira jika biskuit untuk perbaikan nutrisi dan gizi balita itu justru hampir menelan korban jiwa. "Biskuit itu bantuan dari Pemerintah Arab Saudi melalui WFP dan disalurkan oleh Care International. Sebab di bungkus kardus tertulis kalimat: Bantuan dari Pemerintah Arab Saudi," tukasnya seraya memperlihatkan bungkus plastik dan bungkus kardus 'biskuit bencana' itu.

Sebenarnya, lanjut Tefa, kasus ini sudah terendus sejak tanggal 25 Maret 2009. Namun pihak terkait yang paling bertanggung jawab terhadap penyaluran biskuit ini berupaya 'menyembunyikan' diri dari pers. Ia memaparkan, pada tanggal 25 Maret 2009, dua murid yaitu Adrianus Naisau nyaris menelan pisau silet yang terselip di antara beberapa lempeng biskuit dan Stefanus Neno Naisau, nyaris menelan dua batang jarum pentul dalam biskuit itu.

Berikutnya, tanggal 26 Maret 2009, dua murid perempuan, yaitu Dorce Nabu dan Irene Naihelly nyaris menelan pisau silet. Tanggal 27 Maret 2009, Dorce Nabu, nyaris kembali menjadi korban karena dalam bungkus biskuitnya terselip beberapa anakan hecter (staples). 

"Lalu pada tanggal 28 Maret 2009, kami para guru menggelar rapat. Dalam rapat disepakati biskuit gratis itu ditarik dari para murid dan disimpan saja di sekolah. Kami minta WFP dan Care International datang untuk memberikan klarifikasi sesegera mungkin," tandas Tefa.

Penjelasan yang sama juga disampaikan Ny. Elisabet Kase, Kepala SDN Nesam, ketika ditemui terpisah kemarin. "Salah satu murid kami, atas nama Januarius Klau, nyaris menjadi korban. Di antara lempengan biskuitnya terselip sepotong silet. Kami jadi trauma. Karena itu saya sudah minta kepada guru-guru agar biskuit gratis yang sudah telanjur dibagikan, ditarik kembali dan disimpan di sekolah. Apalagi saya dengar banyak sekolah juga mengalami kasus serupa," jelas Ny. Kase.
Diperoleh informasi, ada delapan sekolah yang sudah melaporkan kasus 'biskuit bencana' tersebut kepada polisi. Yaitu SDK Kiupukan 1, SDN Nispukan, SDN Peutana, SDN Bisain, SDN Sipi, SDN Ekafalo dan SDN Besnaen dan SDN Nesam. Namun dalam pekan pertama April 2009, jumlah kasus `biskuit bencana' ini sudah semakin membengkak. Sebelumnya kasus ini hanya menimpa sekolah di Kecamatan Insana. Namun kini juga menyebar di Kecamatan Insana Utara, Kecamatan Noemuti, Kecamatan Miomaffo Barat dan Miomaffo Timur.

Reaksi dan kecurigaan pun dialamatkan kepada UN-WFP dan Care International serta kepada PT. Tiga Pilar Sejati, pabrik yang memproduksi biskuit gratis tersebut. Apakah ada misi terselubung untuk mencelakakan balita dan anak-anak di NTT? Lalu apa tujuannya mencelakakan generasi penerus bangsa itu melalui makanan yang mengandung benda-benda asing yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa mereka? 

Adakah pihak asing yang ikut bermain dalam kasus biskuit bencana itu? Adakah ini terkait dengan sabotase ekonomi atau bahkan mungkin juga sabotase politik?

Diakui memang sekarang masyarakat sangat resah dan cemas dengan bantuan biskuit `bencana' tersebut. Namun pertanyaan-pertanyaan yang mencurigakan itu belum juga terjawab hingga sekarang. Pertanyaan itu ibarat teka-teki yang rumit sekaligus misterius sampai sekarang. Ada apa sebenarnya? Kita memang sepakat UN-WFP telah membuat program yang hebat. Namun UN-WFP mesti menerima kenyataan bahwa aksi program itu di lapangan sangat buruk, jika memang kita tidak mau menyebutnya dengan istilah gagal total.

Awalnya anak-anak di sekolah telah menganggap UN-WFP, Care International maupun PT. Tiga Pilar Sejati sebagai `Sinterklas' yang akan mengisi hari-hari penuh canda mereka di sekolah. Biskuit gratis itu telah membuat mata murid-murid di sekolah berbinar-binar menunggu dengan sabar agar guru membagikannya kepada mereka saat jam istirahat sekolah. Dan biskuit gratis itu telah menjadi pahlawan, yang membangunkan mereka pagi-pagi benar untuk segera berangkat ke sekolah. Meski mereka tidak punya uang jajan dari orangtua, di sekolah telah menunggu `Sinterklas' yang siap membagi-bagikan biskuit itu. (bersambung)

Sumber: Pos Kupang 15 April 2009 halaman 1
Lanjut...

WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (3)

Oleh Julianus Akoit

KETIKA kasus biskuit ini berhasil diungkap pers, banyak pihak sontak marah bahkan meradang. Para tokoh masyarakat, tokoh adat bahkan tokoh agama turut `meramaikan' perang opini tentang kasus biskuit bantuan UN-WFP itu. Opini itu pun macam-macam. Ada yang menyayangkan kenapa UN-WFP yang konon merupakan salah satu lembaga yang dipercaya PBB memberikan bantuan kemanusiaan untuk perbaikan gizi anak dan ibu hamil di hampir seluruh belahan dunia ini bisa kecolongan dan terkesan bekerja tidak profesional.

Ada lagi yang sampai menuding jangan-jangan UN-WFP punya 'misi terselubung' untuk mencelakakan para ibu hamil dan anak-anak di NTT. Bahkan ada yang menuding orang-orang yang bekerja di UN-WFP hanya tahu `bikin proyek' tapi tidak punya hati nurani. Hanya ingin kejar profit, bukan untuk tujuan kemanusiaan.

"Kenapa harus beri biskuit, yang nota bene makanan pabrik? Asal tahu saja, makanan pabrik minus vitamin dan mineral. Kalau pun ada, cuma sekian persen saja. Jadi kampanye UN-WFP bahwa biskuit berfortifikasi itu mengandung vitamin dan mineral, adalah cerita bohong! Apalagi ditemukan ribuan bungkus biskuit mengandung benda-benda asing berbahaya seperti beling, pisau silet, jarum pentul, patahan jarum suntik, anak hekter, kerikil dan pasir dalam lempengan biskuit, adalah bukti nyata bahwa UN-WFP telah bekerja tidak profesional. Itu semua menjadi bukti UN-WFP telah menggandeng PT. Tiga Pilar Sejati, sebagai pabrik produsen biskuit yang jelek dan tidak memenuhi standar kesehatan," jelas Pastor Paroki Kiupukan, Romo Yos Nahak, Pr.

Ia justru menantang UN-WFP memberikan bantuan makanan untuk perbaikan gizi balita dan ibu hamil dengan memanfaatkan sumber pangan lokal yang melimpah ruah. Misalnya kacang-kacangan, umbi-umbian, jagung dan beras dari padi varietas lokal, dan sebagainya. "Sekarang pemerintah sedang giat-giatnya kampanye pangan lokal. Mestinya UN-WFP melihat itu sebagai peluang. Saya juga banyak orang curiga dan heran, kenapa yang diberikan makanan pabrik alias makanan sampah? Ada maksud apa? Mau bikin proyek??" tanya Romo Yos Nahak. Entahlah, sampai sekarang kita tidak tahu. Yang bisa menjawab cuma UN-WFP sendiri.

Baiklah kita tinggalkan opini di atas dan menengok laporan The UN's Standing Committee on Nutrition (SCN) bahwa gizi buruk adalah penyumbang terbesar bagi timbulnya berbagai penyakit pada anak-anak dan ibu hamil. Bahkan Komisi PBB untuk Urusan Gizi ini melaporkan kekurangan gizi pada anak usia dini dan anak pra sekolah, memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan fisik dan mental yang lambat. Komisi ini juga melaporkan sebanyak 147 juta anak pra sekolah di negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan fisik dan mental yang sangat rendah.

Penghasilan keluarga yang rendah (keluarga miskin) juga memberi kontribusi bagi ibu hamil yang melahirkan anak dengan berat badan sangat rendah. Padahal anak usia dini dan usia pra sekolah adalah saat paling tepat dalam hidupnya yang dilukiskan sebagai "window of opportunity", sebagai suatu kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang secara baik dan maksimal. Suatu kesempatan dan peluang untuk `membentuk' anak menjadi manusia yang sehat secara fisik dan mental. Suatu periode yang sangat kritis dan penting.

Laporan ini menjadi rujukan penting bagi UN-WFP untuk membuat WFP's School Feeding Program bagi anak sekolah dan program rehabilitasi nutrisi bagi balita dan ibu hamil. Dan itu dilakukan di beberapa negara berkembang di Asia, Afrika dan beberapa negara konflik di Eropa, Amerika Latin dan negara Timur Tengah.

Lalu bagaimana dengan bantuan makanan yang diberikan UN-WFP? Apakah memenuhi persyaratan kesehatan? Apa saja produk makanan yang disiapkan? Selama ini UN-WFP memiliki 5 produk makanan bergizi yang didistribusikan kepada masyarakat untuk memperbaiki gizi balita dan anak serta ibu hamil. Pertama, Fortified Blended Foods (FBFs). Makanan jenis ini mengandung sereal dan susu, kedelai, kacang-kacangan, serta vitamin dan mineral, kadang juga diformulasi khusus dengan kandungan minyak sayur dan susu bubuk. Kedua, Corn Soya Blend (CSB), mengandung suplemen protein. Makanan ini untuk mengatasi kekurangan gizi dan sering diberikan kepada anak dan ibu hamil.

Ada juga produk makanan siap saji (Ready to Use Foods/RUFs). Produk makanan ini biasanya diberikan kepada anak usia 6 bulan sampai 59 bulan, yang mengalami gizi buruk kekurangan pangan atau kelaparan. Makanan ini umumnya terdiri dari komposisi minyak sayur, susu skim kering, gandum dan gula.
Ketiga, ada lagi makanan berupa biskuit berenergi tinggi (High Energy Biscuits/HEBs). Biskuit ini mengandung gandum dengan kompoisi 450 kcal dengan minimal 10 gram dan maksimum 15 gram protein per 100 gram, dilengkapi vitamin dan mineral. Biskuit ini untuk perbaikan gizi. Keempat, ada juga produk yang disebut Micronutrient Powder. Makanan ini lebih populer dengan istilah "Sprinkles". Micronutrient Bubuk atau "Sprinkles" mengandung 16 vitamin dan mineral yang diperuntukkan bagi satu orang dalam asupan gizi hariannya. Ia dimasak sebentar sehingga menjadi bubur siap saji. Biasanya diberikan kepada anak-anak.

Dan masih banyak produk makanan bergizi yang menjadi `proyek' UN-WFP. Kita berharap makanan bergizi versi UN-WFP itu memang makanan yang layak, sehat dan bergizi, bukan makanan sampah, sebagaimana yang mereka kampanyekan selama ini. Memang kita tidak bisa melakukan intervensi melalui sebuah badan independent untuk menyelidiki dan membuktikan apakah produk makanan dari UN-WFP itu layak konsumsi bagi anak dan ibu hamil, terlebih apakah aman?

Di Indonesia, kita punya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Tapi sering lembaga ini hanya berperan sebatas `pemadam kebakaran' alias sudah terjadi kasus baru melakukan penelitian terhadap obat atau makanan yang dicurigai. Ketika sudah ada korban baru petugas BPOM turun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan. Tindakan preventif nyaris tidak ada. Kalaupun ada jarang, dan biasanya dilakukan dengan semangat `panas-panas tahi ayam'. (bersambung)

Sumber: Pos Kupang 16 April 2009 halaman 1
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (4)

Oleh Julianus Akoit

HARI Selasa, 14 April 2009 pagi, Marselinus Kabosu, Kepala SD Negeri Naiola di Kecamatan Bikomi Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), memerintahkan dua guru setempat, Ny. Delfriana Oetpah dan Izaac Liem, untuk mengeluarkan dua kardus berisi 180 bungkus biskuit gratis bantuan dari WFP. Biskuit dibagi-bagikan kepada para murid kelas III - VI. Masing-masing mendapatkan satu bungkus.

Para murid pun menerima biskuit itu tanpa rasa curiga sedikit pun akan bahaya yang mengancam hidup mereka. Mereka menikmatinya dengan lahap sembari bercanda dengan teman sebangkunya. Mereka menikmati `makanan sampah' itu dalam kelas, diawasi dua guru tadi bersama kepala sekolahnya.

Apakah bapak sudah terima surat perintah dari Kadis Dikpora TTU, Drs. David Juandi, agar biskuit bantuan UN-WFP itu jangan dibagikan kepada para murid? "Sampai hari ini, tidak ada surat itu. Juga tidak ada petugas dari Care International yang datang membawa surat larangan," jawabnya keheranan. 

Sejenak ia terkejut dan ketakutan ketika wartawan menjelaskan tentang perihal `makanan sampah' yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa murid-murid. Tentang temuan benda-benda asing seperti potongan pisau silet, jarum pentul, patahan jarum suntik, anakan hekter dalam biskuit bantuan UN-WPF di Kabupaten Belu dan Kabupaten TTU, selama dua pekan terakhir.

"Sudah empat kali kami membagikan biskuit ini, tapi belum ada murid yang melaporkan kepada guru bahwa ada benda-benda asing yang berbahaya itu," tandas Kabosu berkali-kali ketika Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten TTU, Pater Marianus Kobatoyo, SVD, menanyakan kenapa biskuit itu dibagikan lagi kepada murid padahal sudah ada larangan dari pemerintah dan pihak UN-WFP sendiri. Setelah Pater Kobatoyo menjelaskan tentang sejumlah fakta `biskuit bencana' itu, Kabosu berjanji tidak akan membagikan lagi kepada murid- muridnya.

Sebenarnya kasus biskuit bencana ini sudah terjadi bulan November 2008 di Kabupaten Belu. Beberapa murid sekolah dasar di Belu nyaris menelan benda-benda asing berbahaya itu ketika mengonsumsinya di sekolah. Namun ternyata Care International dan UN-WFP `menyembunyikan' rapat-rapat kasus itu agar tidak diketahui publik maupun pers. Kalaupun informasi buruk tentang biskuit berbahaya itu sampai kepada orangtua, Care International dengan sangat lihai merekayasa informasi tadi, seakan-akan itu kesalahan teknis biasa. Bahkan Care International terus berkampanye dari sekolah ke sekolah bahwa biskuit gratis bantuan UN-WFP sangat aman dan tidak berbahaya.

Perilaku dua lembaga bantuan internasional ini patut disesalkan dan dikutuk oleh semua orang. Hanya karena kepentingan proyek, kesehatan dan jiwa anak-anak hendak digadaikan secara murah dengan cara paling sadis. Kenapa memaksakan `biskuit bencana' itu terus dibagikan ke sekolah? Ada maksud apa? 

Apakah hendak mencelakakan para balita, anak sekolah dan ibu hamil? Kenapa biskuit bencana itu hanya ada di Provinsi NTT, sedangkan di Provinsi NTB tidak ada kasus semacam ini? Apakah itu memang sudah dirancang dengan sengaja?

Dari aspek hukum, kasus ini sebenarnya bisa digiring ke wilayah hukum pidana. Bahkan bukan hanya bisa, tetapi sebenarnya wajib bagi aparat penegak hukum untuk memproses kasus `biskuit bencana' tersebut. Ada unsur penguat tindakan pidana, yaitu dengan sengaja, direncanakan secara sistematis mengedarkan makanan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa anak-anak.

UN-WFP dan Care International telah dengan sengaja melanggar ketentuan Child Rights and Child Protection (CRCP). Dalam CRCP, ditegaskan ada sejumlah kriteria sangat ketat bagi lembaga bantuan asing/NGO yang harus dipatuhi ketika memberikan bantuan makanan bagi balita dan anak-anak. Salah satu ketentuan CRCP, yakni bantuan makanan atau barang kepada anak-anak hendaknya mengutamakan kesehatan dan tidak mencelakakan jiwa anak-anak. Jika terbukti UN-WFP dan Care International sengaja mengedarkan `biskuit bencana' itu untuk tujuan tidak baik, publik bisa mengadukan kedua lembaga ini ke Mahkamah Internasional dengan tuduhan melakukan genosida, kejahatan massal untuk melenyapkan suatu species manusia atau etnis tertentu, yakni anak-anak.

Di Indonesia, Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, menegaskan tentang larangan mengedarkan makanan atau minuman atau barang yang membahayakan kesehatan. Dalam pasal 21 ayat (3), diatur bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan, sebagaimana diatur dalam ayat (1), dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran dan disita atau dimusnahkan sesuai ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku.

Jika terbukti UN-WFP dan Care International sengaja melanggar ketentuan pasal 21 ayat (1), (2) dan (3), maka kedua lembaga ini bisa dijerat dengan pasal 80 ayat 4 butir (a) UU Nomor 23 Tahun 1992. Dalam pasal ini ditegaskan bahwa barang siapa mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan, dipidana dengan penjara 15 tahun dan denda Rp 300 juta.

Lalu bagaimana dengan produsen `biskuit bencana', PT. Tiga Pilar Sejati? Pabrik biskuit ini juga bisa dijerat dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pemilik pabrik biskuit ini berstatus sebagai pelaku usaha harus menjamin mutu barang atau bahan pangan (biskuit), sebagaimana diatur dalam pasal 7. Bahkan dalam pasal 8 ayat 3, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak atau bahan pangan yang rusak.

Dalam pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, para konsumen (anak-anak dan ibu hamil) berhak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengonsumsi barang atau bahan pangan atau jasa. Konsumen juga berhak atas informasi yang jelas, jujur mengenai kondisi dan jumlah barang (baca: biskuit). Juga konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau pengganti barang yang rusak.

Lalu bagaimana dengan penyidik Polres TTU? Sampai hari ini, kabar tentang penyelidikan kasus `biskuit bencana' ini seakan berjalan di tempat. Polisi pun seakan `takut' memeriksa pejabat-pejabat dari UN-WFP dan Care International. Bahkan Direktur PT. Tiga Pilar Sejati belum dipanggil untuk diperiksa. "Mereka belum dipanggil untuk diperiksa," kata Kapolres TTU, AKBP Adi Wibowo, S.H, ketika dihubungi melalui Kasatreskrim Polres TTU, Iptu Eko Mei Prabocahyono, Kamis (16/4/2009) petang. Eko tidak merinci alasan pihaknya enggan memeriksa pihak-pihak terkait yang dianggap bertanggung jawab atas peredaran biskuit bencana tersebut. Apakah Pak Polisi tunggu anaknya sendiri jadi korban menelan jarum pentul karena makan biskuit itu, baru melakukan proses hukum? Silakan jawab sendiri. (habis) 

Sumber: Pos Kupang 17 April 2009 halaman 1 
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

85 Balita Gizi Buruk di Pusat Kota Kupang

KUPANG, PK--Sebanyak 85 bayi di bawah usia lima tahun (balita) di Kecamatan Kelapa Lima mengalami gizi buruk. Jumlah ini direkap dari 22 posyandu yang tersebar di kelurahan di Kecamatan Kelapa Lima.

Kepala Puskesmas Pasir Panjang, dr. Ivyane Luanlaka, menyampaikan hal ini kepada Pos Kupang di ruang kerjanya, Rabu (1/4/2009). Ia mengatakan, jumlah penderita gizi buruk ini diperoleh dari posyandu di kelurahan dari Januari hingga akhir Februari 2009. Indikator balita penderita gizi buruk, jelas Luanlaka, berat badan balita dibagi usia dan berat badan dibagi tinggi badan.

Luanlaka mengatakan, penderita gizi buruk yang telah mendapat penanganan khusus berupa pemberian makanan tambahan (PMT) satu orang. Sedangkan 14 penderita lainnya hanya diberikan bantuan susu satu plus dan dua plus. 

Untuk penanganan penderita gizi buruk ini, demikian Luanlaka, puskesmas tidak memiliki dana. Puskesmas biasanya dapat bantuan dari Dinas Kesehatan Kota Kupang, seperti susu atau biskuit untuk dibagikan kepada penderita gizi buruk.

Menurut Luanlaka, masalah gizi buruk umumnya berasal dari keluarga yang orangtuanya memiliki pendapatan ekonomi yang rendah. Pendapatan yang kurang ini, lanjutnya, berdampak terhadap masalah ketahanan pangan yang tidak kuat di dalam rumah tangga.

"Ada yang sudah dikasih bantuan tiga kali. Namun penderita gizi buruk tidak berubah. Karena penderita hanya bisa konsumsi makanan yang baik saat ada bantuan. Tetapi ketika bantuan tidak ada, makanan tidak diperhatikan. Akibatnya, berat badan anak kembali drop," jelas Luanlaka.

Pengalaman lainnya, demikian Luanlaka, kalau dikasih bantuan seperti susu atau biskuit kepada penderita, yang mengomsumsinya tidak hanya penderita, juga anak lain di dalam rumah. "Jadi, masalah gizi buruk ini diibaratkan benang kusut. tidak pernah habis," ujarnya.

Ditanya mengenai tempat khusus atau semacam panti rehabilitasi untuk menangani penderita gizi buruk, Luanlaka mengatakan, di puskesmas tersebut belum ada tempat khusus untuk rehabilitasi penderita gizi buruk, kecuali ruang rawat inap biasa. Namun biasanya, kalau ada penderita gizi buruk yang datang berobat di puskesmas, akan ditangani maksimal. Bila penderita yang datang kondisinya mengkhawatir, langsung dirujuk ke rumah sakit. (oma) 

Sumber: Pos Kupang 2 April 2009 halaman 4
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Harapan Hidup Orang NTT di Bawah Rata-rata Nasional

KUPANG, PK --Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Ir. Esthon L Foenay, M. Si, mengatakan, NTT masih mengalami kekurangan tenaga kesehatan. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya permasalahan kesehatan di daerah ini, seperti angka harapan hidup yang masih di bawah rata-rata nasional, angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi, gizi buruk dan gizi kurang. 

Selain itu, rendahnya pemahaman masyarakat akan hidup sehat menambah buruk kondisi kesehatan di daerah ini. Untuk itu, kehadiran Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Surabaya Multi Kelas Kupang diharapkan dapat menjadi lokomotif kesehatan di daerah ini.

Wagub Esthon Foenay mengatakan hal ini ketika memberikan kuliah umum tentang Pembangunan Daerah Propinsi NTT di kampus STIKES Surabaya Multi Kelas Kupang, Jumat (3/4/2009). 

Hadir pada kesempatan itu, Owner dan Ketua STIKES Surabaya, Drs. Marzuki Roffi, MBA, Ketua Pelaksana Harian STIKES Surabaya Multi Kelas Kupang, Rudizon Doko Patty, SE, para ketua dan wakil ketua program studi (prodi), para dosen, karyawan serta ratusan mahasiswa STIKES Surabaya.
Menurut Foenay, indeks pembangunan manusia di NTT dilihat dari tiga aspek, yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Di bidang pendidikan, katanya, angka buta huruf masih mencapai 300 ribu orang tahun 2009 dan rata-rata orang NTT masih hanya tamat SD. Di bidang kesehatan, katanya, uisa harapan hidup mencapai 65 tahun, sedangkan secara nasional 66,2 tahun. Angka kematian ibu, 306/100.000 kelahiran, sedangkan secara nasional mencapai 248/100.000. Angka kematian bayi mencapai 57/1000 kelahiran dan secara nasional 34/1000 kelahiran. 
Menurutnya, angka itu menunjukkan setiap 100.000 ibu yang melahirkan, tercatat 306 meninggal dunia, demikian juga terdapat 57 orang anak hidup kurang dari satu jam dari 1000 orang anak yang lahir. 

Angka-angka tersebut masih jauh dari rata-rata nasional yakini 34 orang bayi meninggal dalam 1000 kelahiran dan 248 ibu meninggalkan dari 100.000 ibu setelah melahirkan.
Lebih lanjut dijelaskan, indeks gizi buruk di NTT mencapai 7,1 persen, sedangkan secara nasional 8,8 persen, gizi kurang 30,70 persen sedangkan secara nasional 19,2 persen dan gizi baik mencapai 61,60 persen sedangkan secara nasional 69,15 persen. 
Meningkatnya angka kematian ibu dan bayi disebabkan oleh faktor kesehatan embrio ibu dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai, sebagai akibat dari rendahnya pemahaman tentang hidup sehat oleh masyarakat. Sedangkan gizi buruk lebih banyak disebabkan pemilihan menu gizi oleh masyarakat yang sangat kurang. 

"Orang kita sebenarnya penghasil jagung dan ternak, tetapi gengsi makan jagung, padahal jagung adalah makanan bergizi. Selain itu, NTT juga kaya ternak, tetapi tidak dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga, melainkan hanya untuk dijual. Ke depan pemerintah akan membuat pemetaan berdasarkan kondisi yang ada, seperti Flores, Lembata dan Alor untuk tanaman perkembunan, sedangkan Timor dan Sumba untuk peternakan. Kita kurang mengonsumsi menu lokal," katanya.

Dikatakannya, salah satu faktor suatu daerah berkembang atau tidak sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan kesehatan. Kehadiran lembaga STIKES sebagai lokomotif pembangunan pendidikan dan kesehatan di NTT sangat penting dan menjawab kebutuhan masyarakat daerah ini. 

Dikatakannya, kondisi geografis NTT yang terdiri dari pulau- pulau, baik yang bernama maupun belum bernama, yang dihuni maupun belum dihuni, sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan di bidang kesehatan maupun pendidikan. (nia)


Harus Pulang ke Desa

SEMENTARA owner dan Ketua STIKES Surabaya, Drs. Marzuki Roffi, MBA, mengatakan, kehadiran STIKES Surabaya Multi Kelas Kupang menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat NTT di bidang kesehatan. STIKES Surabaya arah dan tujuannya adalah membangun desa, sehingga lulusan STIKES Surabaya harus pulang ke desa masing-masing untuk mulai memberikan warna dan pemahaman kepada masyarakat membangun kesehatan minimal, mulai dari diri dan keluarga serta lingkungan sekitar.

Dikatakannya, selain memecahkan masalah pendidikan, kehadiran lembaga ini adalah memecahkan masalah kesehatan di daerah ini. Karena pembangunan di bidang apa saja harus dimulai dari pendidikan dan kesehatan, dan tanpa pembangunan pendidikan, semua pembangunan tidak akan terarah. (nia)

Sumber: Pos Kupang 4 April 2009 halaman 10
Lanjut...

Posted in Label: , , | 0 komentar

Biskuit Bermasalah di TTU, Care International Tak Peduli

KEFAMENANU, PK -- Kendati The United Nations World Food Programme (UN-WFP) di Jakarta telah melarang agar pendistribusian dan konsumsi biskuit gratis dihentikan sementara, namun para petugas lapangan Care International di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) tetap melakukan sosialisasi. Petugas lapangan itu malah mendesak sekolah agar menyukseskan WFP's School Feeding Program.

Amandus Taena, salah satu guru di SDK Oelami, membeberkan soal ini ketika ditemui, Sabtu (4/4/2009) siang. "Petugas Care International datang di sekolah dan melakukan sosialisasi. Mereka desak guru dan murid agar tidak takut makan biskuit itu. Padahal kami dengar, pemerintah dan WFP sudah larang jangan makan," kata Taena.

Petugas lapangan itu, kata Taena, meminta guru untuk mendampingi murid saat pembagian biskuit dan saat murid mengonsumsi biskuit itu. "Jadi petugas bilang, saat murid makan biskuit, harus didampingi para guru. Dan kalau makan, harus di dalam kelas, tidak boleh diluar kelas. Biar bisa diawasi," kata Taena mengutip penjelasan petugas lapangan Care International.

Taena berpendapat, sosialisasi itu baik, namun tidak menjamin keselamatan murid dari kecelakaan saat menelan benda-benda asing seperti jarum pentul, anakan hekter, pisau silet dan lain sebagainya. "Apakah nanti jatuh korban, Care International bertanggung jawab? Apakah sosialisasi itu adalah bentuk lain pemaksaan bahkan melawan dengan sengaja himbauan WFP dan pemerintah?" tanya Taena.

Penjelasan senada disampaikan beberapa guru di SDK Kuatnana 1 dan SDK Kuatnana 2, ketika ditemui wartawan kemarin siang. "Memang benar Pak! Ada petugas dari Care International datang bilang kepada kami supaya makan saja biskuit itu. Petugas Care International bilang dia siap dipanggil polisi dan siap menjelaskan kepada Bupati TTU. Dia bilang siap bertanggung jawab," kata salah seorang guru, dibenarkan rekan guru lainnya.

Kendati demikian, lanjut guru yang menolak namanya dikorankan itu, para guru di sekolah sepakat untuk menghentikan pemberian biskuit kepada murid-murid. "Misalnya, tiba-tiba ada yang telan jarum pentul, leher kami yang dicari oleh orangtua murid. Petugas Care International tentu aman-aman saja, tapi kami yang tanggung akibatnya," sahut salah seorang ibu guru dengan nada kesal.

Sementara itu, Ny. Sherly Ndoen, Bidan Desa di Polindes Fatusene, Miomaffo Timur, yang dihubungi terpisah kemarin petang, membenarkan bahwa pihaknya juga mendapat bantuan biskuit dari WFP melalui Care International. 

"Orang Care International datang bawa biskuit puluhan dos. Mereka bilang makan saja, tidak apa-apa. Dan memang belum ada ditemukan benda -benda asing dalam biskuit itu. Mungkin ada tapi tidak dilaporkan orang tua balita," tukasnya.

Dia mengakui sempat was-was ketika tahu ada kasus biskuit di beberapa sekolah. Karena itu, lanjutnya, ia akan waspada dan menghentikan sementara. "Nanti kalau pemerintah bilang lanjut bagi dan boleh makan, baru saya bagikan kepada balita di Posyandu," kata Ny. Ndoen.

Sudah Dapat Laporan
Kadis Kesehatan TTU, dr. Michael Suri, M.M, yang dimintai tanggapannya soal kasus biskuit 'bencana' tersebut, mengatakan, pihaknya sudah mendapat laporan dari lapangan. 

"Tapi harus ada tim investigasi gabungan dari BPOM, Care International, UN-WFP, dan instansi terkait lainnya. Sebab bantuan dari LSM itu memang sangat strategis untuk pemberantasan gizi buruk," jelasnya.

Ditambahkannya, laporan tim investigasi gabungan itu menjadi masukan bagi pihaknya untuk memutuskan apakah program bantuan itu diteruskan atau dihentikan sama sekali. "Saya tunggu orang-orang dari WFP dan Care International untuk membentuk tim gabungan itu dan sama-sama melacak di lapangan. Jika WFP dan Care International cuma membangun asumsi bahwa biskuit itu aman, saya kira itu bukan tindakan yang profesional dari sebuah LSM bertaraf Internasional," tandasnya.

Mitra Salima Suryono, Public Information Officer UN-WFP, yang dimintai tangapannya melalui telepon genggamnya kemarin malam, mengatakan Care International sudah menghentikan distribusi biskuit tersebut. Dan tidak ada aktivitas apa-apa di lapangan. 

"Yang ada cuma sisa biskuit di sekolah dan posyandu. Itu pun sudah dilarang untuk jangan dikonsumsi dulu, sebelum ada investigasi lanjutan," tandas Mitra. 

Sementara Willem Leang, Project Manager NRP pada Kantor Care International, yang dihubungi melalui telepon genggamnya, kemarin malam, tidak memberikan tanggapan apa-apa. (ade)

Sumber: Pos Kupang 5 April 2009 halaman 1
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

Posyandu Anggrek Tangani Gizi Buruk

KUPANG, PK -- Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Anggrek di Kelurahan Naikolan, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, saat ini menangani tiga kasus gizi buruk dan tujuh kasus gizi kurang.

"Anak yang kurang gizi terdeteksi karena berat badan mereka tidak bertambah, malah menurun dan setelah dilakukan deteksi dengan cara melihat kulit, apakah ada keriput atau tidak, ternyata kulit mereka berkeriput," kata Kormayane Ayal, kader Posyandu Anggrek, saat ditemui di RT 12/RW 05 Kelurahan Naikolan, Sabtu (4/4/2009).

Kormayane menjelaskan, tiga kasus gizi buruk tersebut saat ini sudah mendapat bantuan dari Pertamina untuk memperbaiki gizi mereka selama tiga bulan.
Dari hasil sementara ini, demikian Kormayane, satu orang anak yang mengalami gizi buruk keadaannya sudah membaik dibandingkan dengan beberapa waktu lalu. Bantuan dari Pertamina bukan saja untuk penderita gizi buruk, juga bagi yang menderita gizi kurang agar status gizi mereka tidak turun menjadi gizi buruk.

Untuk posyandu, lanjutnya, ada bantuan dari pemerintah kota dengan memberikan bantuan berupa kacang hijau sebanyak lima kiliogram, gula tiga kilogram serta susu bubuk 10 sachet kecil. Untuk merawat penderita gizi buruk dan gizi kurang, menurut ketua RT 12 ini, ada juga bantuan dari puskesmas yang dikelola oleh posyandu berupa makanan tambahan.

Kormayane menjelaskan, meskipun jumlah anak yang biasa mendatangi posyandu cukup banyak, tetapi ada juga yang tidak datang untuk timbang berat badan setiap bulannya sekitar 10 orang.

Ia mengatakan, sebagai kader, mereka selalu memotivasi orang tua dari anak-anak untuk bisa membawa anaknya ke posyandu, terutama untuk anak yang gizi kurang dan gizi buruk.

Diakuinya, salah satu kendala yang dialami posyandu adalah kurangnya kader posyandu yang aktif karena dari lima orang kader, yang datang hanya dua atau tiga orang saja. Akibatnya, pelayanan terhadap masyarakat menjadi terhambat. (ira)

Sumber: Pos Kupang 6 April 2009 halaman 3 
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

Black Campaign Beras, Perlukah?

Oleh Leta Rafael Levis

TANGGAL 5 Februari 2009, saya diundang manajemen Pos Kupang mengikuti diskusi terbatas tentang pangan lokal dan kedaulatan pangan di NTT. Sebagaimana diwartakan harian ini tanggal 6 Februari 2009, bahwa hal yang menarik dari diskusi ini adalah kehadiran serta ungkapan pengalaman tiga orang petani yaitu Petrus Pebe dari Desa Naimata, Marten Taklal dan Nahor Taklal dari Desa Oeteta. 

Satu nada dasar yang sama diungkapkan ketiganya, yaitu pangan lokal merupakan kebanggaan bagi mereka dan mereka tidak bisa berusahatani dengan baik kalau tidak ada pendampingan secara kontinyu, sehingga mereka menyarankan agar peranan penyuluh baik penyuluh PNS, penyuluh swakarsa maupun penyuluh swasta terus digalakkan (ketiga kelompok penyuluh ini sesuai UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan). 

Hal lain yang menarik dari diskusi tersebut adalah kecerdasan teman sejawat, Ir. Zet Malelak dan Ir. Zainal Arifin, yang mampu mengembangkan potensi lokal yang sejak lama dianggap tidak mungkin oleh banyak pihak, yaitu menyulap daerah kering menjadi daerah penghasil tanaman pangan yang handal masing-masing di Oeteta dan Baumata. Ketika banyak orang meragukan dan melupakan potensi pangan lokal di NTT sebagai pakan utama masyarakat, keduanya justru membuktikan bahwa pangan lokal di NTT dapat menjadi 'pengganti beras raskin'.

Dalam diskusi tersebut saya mengingatkan bahwa persoalan yang krusial dihadapi masyarakat saat ini adalah bukan pada bisa atau tidaknya pemerintah dan masyarakat menanam dan mengonsumsi kembali pangan lokal sebagai pengganti beras. Persoalan utamanya adalah terlanjur terbentuknya persepsi dan perilaku masyarakat bahwa beras adalah makanan utama sehingga hampir semua masyarakat NTT menggantungkan perutnya pada beras. Persoalan akan menjadi semakin sulit dipecahkan ketika kita berusaha mengubah persepsi dan perilaku masyarakat dari 'beras oriented' kepada 'ujakang oriented' (orientasi pada ubi jagung dan kacang-kacangan). Di sinilah diskusi tersebut menjadi semakin hangat ketika saya mengajukan suatu pemikiran dalam bentuk pertanyaan yang agak 'revolusioner' yaitu bisakah dilakukan 'black campaign' terhadap beras agar mengendurkan ketergantungan masyarakat kita kepada beras?

FREN's Spirit
Tahun 2002, suatu hasil penelitian tentang evaluasi perilaku masyarakat penerima dana IDT yang dilakukan bersama Badan Litbangda NTT dan Kelompok Penelitian dan Pengembangan Sosial Ejonomi Pedesaan (KPPSEP) Kupang, menyarankan agar pemerintah harus berani secara perlahan menghentikan bantuan raskin. Beras 'raskin' tersebut selain kualitasnya diragukan, ada akibat jangka panjang yaitu petani menjadi malas menanam tanaman lokal seperti jagung, ubi dan kacang-kacangan. Selanjutnya, tanggal 7 April 2004, pikiran saya pernah dimuat di koran ini dengan judul ' Varieats Lokal Lebih Unggul'. Pikiran-pikiran lepas memang telah lama berkembang agar pemerintah kembali mengembangkan tanaman lokal karena NTT memiliki potensi tanamam lokal yang sangat tinggi. 

Semua saran dan pendapat tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah saat itu. Pemerintah daerah masih keasyikan melaksanakan program pembangunan yang memiskinkan masyarakat terutama kebijakan 'top down' yang tidak memberikan ruang bagi petani untuk mengembangkan kembali tanaman lokal. Akhirnya terbentuklah mentalitas konsumptif dan instan.

Nasihat bijak dari Raja Salomo, "Segala sesuatu ada waktunya". Keinginan serta pemikiran untuk mengembangkan pertanian khususnya potensi lokal menjadi program prioritas baru dapat terwujud setelah paket FREN memimpin provinsi ini. Sebagai seorang penulis, peneliti dan dosen bidang pertanian, saya berpikir bahwa kebijakan pemerintah saat ini terasa menyejukan hati semua orang yang berwatak 'desa oriented' dan 'people welfare oriented'. Kesejukan hati bagi banyak orang merupakan spirit yang baik untuk membangun daerah ini khususnya peningkatan produksi tanaman lokal sebagai upaya menciptakan kedaulatan pangan di level rumah tangga. 

Kita yakin bahwa jika para petani kembali menanam tanaman lokal dan pada suatu saat pemerintah menghentikan bantuan raskin maka kasus busung lapar mungkin tak terjadi lagi. Ini impian kita semua. Jika pemerintah memiliki impian dan keyakinan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat 'grass root', maka mewujudkan 'good governance' dengan mengembangkan potensi lokal adalah salah satu jawaban yang tepat. 

Chen Zhan (2005) menulis tentang Solusi Kreatif Menuju Sukses menyimpulkan ada lima langkah agar usaha berhasil, yaitu 1) impian, 2) tujuan, 3) rencana, 4) tindakan nyata dan 5) keyakinan. Dalam RPMD NTT sudah tercantum secara secara jelas visi, misi (impian), tujuan dan rencana. Semoga semua rencana tersebut dapat diimplementasikan dalam pelaksanaan di lapangan. Kelemahan kita adalah tidak ada tindakan nyata di lapangan serta kita tidak memiliki keyakinan bahwa suatu saat nanti kita akan keluar dari lingkaran kemiskinan. Berpikir dan bertindak fokus adalah kunci keberhasilan. 

Black campaign beras?
Dalam dunia politik istilah 'black campaign' berarti melakukan kampanye negatif (baca: hitam) terhadap seseorang atau sekelompok orang yang tidak sehaluan politik. Tujuannya agar pendengar jangan memilih yang lain selain dirinya karena ia yakin orang lain banyak kekurangan sedangkan dirinya 'sempurna'. Kampanye seperti ini cenderung untuk menjelekkan sesama serta menjadi pemicu konflik di masyarakat.

Sejalan dengan pemikiran di atas, gagasan untuk melakukan 'black campaign' terhadap beras memiliki makna yang agak sedikit berbeda yaitu berusaha untuk menyebarluaskan informasi tentang hal-hal yang 'kurang' dari beras tetapi bukan pada beras sebagai obyek (kecuali raskin) tetapi pada situasi eksternal yang mengancam kelangsungan perberasan di masa yang akan datang. Tujuan dari kampanye jenis ini adalah agar masyarakat khususnya petani jangan terlalu menggantungkan hidupnya pada makanan yang berasal dari beras - apalagi beras raskin -, masyarakat diarahkan untuk beralih ke makanan lokal. Kampanye ini jauh dari maksud agar kita tidak boleh makan nasi. 

Mengapa ide ini harus didifusikan kepada banyak orang? Saat diskusi, tantangan pertama datang dari Ir. Oematan (Direktur Politani Kupang). Dia menyatakan bahwa kita tak mungkin melarang orang untuk makan nasi (beras) karena memang ada orang yang sejak kecil hanya makan nasi tak pernah sentuh jagung atau ubi. Ide kampanye hitam terhadap beras tidak dimaksudkan agar orang tidak boleh makan nasi. Ide ini muncul sebagai sumbang pikir bagi keberhasilan program penggalangan pangan lokal oleh pemerintah saat ini serta tanggapan bahwa produk lokal memang harus menjadi sandaran para petani di NTT karena beras akan memasuki masa sulit untuk 15 tahun ke depan. 

Adakah alasannya kampanye ini?Alasan pertama, hasil kajian IRRI (International Rice Research Institute), negara-negara di kawasan Asia termasuk Indonesia dalam kurun 10 tahun ke depan akan mengalami krisis pangan (khususnya beras) yang berkepanjangan dan disinyalir akan membahayakan kehidupan jutaan umat manusia di dunia. Alasannya, a) para petani umumnya dalam waktu tak lama lagi akan mengalami kekurangan air irigasi untuk beberapa kawasan Asia termasuk Yelloo River di Cina karena tidak mencapai lagi lautan pada musim kemarau. Bahkan pada tahun 2006, permukaan sungai Mekong turun sampai titik terendah. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Padahal jutaan petani kita tergantung pada suplai air irigasi dari sungai-sungai yang ada. b) Hasil penelitian terakhir tentang isu pemanasan global dunia akan berdampak sangat serius pada suplai beras. Produktivitas padi diperkirakan akan turun mencapai 10% pada setiap peningkatan 1 derajat Celsius pada malam hari. 

Perubahan iklim pada daerah lainnya, seperti kekeringan dan menaiknya permukaan laut juga berakibat pada produksi beras. Hal ini merupakan peringatan serius. c) Hal yang terpenting bagi Indonesia adalah terjadinya degradasi kualitas sumber daya manusia (Petani) sebagai pelaku produksi. Industri perberasan tidak lagi menarik minat dan menghasilkan keuntungan karena para petani yang ada kini telah termakan usia dan mengalihkan anak-anaknya belajar di luar uasahataninya.
Akibat kekurangan air, pemanasan global dan menurunya SDM petani baik jumlah maupun kualitas akan mengurangi kemampuan Asia khususnua Indonesia untuk menghasikan beras yang dibutuhkan. Dalam waktu dekat dampaknya belum terasa akan tetapi untuk jangka panjang berdampak sangat serius karena akan secara nyata mengurangi kemampuan negara-negara Asia menghasilkan beras sebagai upaya mempertahankan Ketahanan Pangan Regional, Stabilitas Politik dan Pembangunan Ekonomi.

Alasan kedua, estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286.021 juta sehingga akan terjadi peningkatan permintaan konsumsi bahan pangan dan 30 tahun yang akan datang Indonesia membututuhkan tambahan ketersediaan pangan ± 1,35 kali lipat dari jumlah kebutuhan sekarang akibatnya terjadi kerisauan akan kerawanan pangan. Di lain pihak, sumber daya lahan dan hutan mengalami degredasi 2,5 - 2,8 juta ha/tahun sedangkan rehabilitasi hanya 400.000-500.000 ha/tahun, krisis lahan pertanian menurun rata-rata 141.000 ha/tahun dan sebagian sistem irigasi tidak berfungsi atau rusak.

Berdasarkan kedua pertimbangan di atas maka pemerintah Indonesia saat ini menggenjot program revitalisasi pertanian. Untuk maksud tersebut berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti terbitnya UU No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K dan beberapa kebijakan lain seperti a) mengembangkan tanaman lokal non beras, b) meningkatkan kualitas sumber daya petani, dan c) meningkatkan minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian.

Alasan ketiga, saat ini terjadi kecenderungan perubahan pola makan bagi negara-negara di Asia Selatan seperti India, Pakistan, Sri Lanka serta beberapa negara di Afrika. Saat ini mereka sudah mulai mengonsumi beras yang sebelumnya mengonsumsi gandum. Perubahan perilaku konsumsi ini akan bertambah dari tahun ke tahun yang berakibat pada persaingan masyarakat dunia untuk memperoleh beras. Di lain pihak, produktivitas beras terus menurun. Tidaklah mustahil bahwa suatu saat nanti kita akan sulit memperoleh beras.

Alasan keempat, daerah persawahan di NTT secara perlahan mengalami penurunan produktivitas padi karena empat alasan utama, seperti 1) pengalihan fungsi lahan sawah untuk kepentingan pemukiman khususnya bangunan (kasus di Lembor, Satar Mese, Mbay dan daerah persawahan lin di NTT), 2) menurunnya debit air karena pemanasan global yang mulai mengancam sumber air irigasi di NTT, 3) ketiadaan tenaga kerja produktif yang ada di desa karena sebagian besar tenaga kerja produktif telah 'escape' melalui program TKI, dan 4) usaha persawahan hanya akan memberikan keuntungan bagi petani jika luas lahan yang dikelola minimal satu hektar. Kenyataan, petani sawah kita memiliki luas lahan rerata hanya setengah hektar. Secara ekonomis petani yang memiliki lahan demikian hanya mampu mencapai 'break even point' belum mencapai keuntungan . Jika petani rasional maka dalam kondisi seperti ini mereka akan meninggalkan tanaman padi dan beralih ke tanaman lain.

Dengan melihat fakta yang disebut di atas, maka saya berpikir tidak terlalu berlebihan dan cukup rasional kalau saya menawarkan suatu gagasan alternatif untuk menggelorakan semangat menanam dan mengonsumsi pangan lokal serta mulai mengurangi konsumsi beras dengan suatu gagasan 'black campaign' terhadap beras. *

Pos Kupang edisi 2 Maret 2009 halaman 14
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

Lebu Raya: Jangan Bosan Tanam Jagung

KUPANG, PK -- Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Frans Lebu Raya, mengajak para petani di daerah ini tidak bosan-bosan menanam jagung. Pasalnya, hasil yang dicapai tidak semata untuk konsumsi keluarga, tetapi juga untuk kebutuhan industri dan pakan ternak.

"Jika jagung tidak berbuah, batang dan daunnya bisa dimanfaatkan petani untuk pakan ternak. Karena itu, jangan pernah merasa bosan untuk tanam jagung," kata Gubernur Lebu Raya di Kupang, Minggu (1/3/2009). 

Dikatakannya, saat ini sudah muncul istilah "tanam jagung panen sapi". Istilah tersebut, jelasnya, mencerminkan bahwa manfaat dari menanam jagung tidak hanya untuk konsumsi keluarga dan kebutuhan industri, tetapi juga untuk pakan ternak jika jagung tidak menghasilkan buah berlimpah.

Setelah mengunjungi sejumlah daerah pertanian di daratan Pulau Flores, Lembata dan Timor, Gubernur NTT optimis bahwa program "jagungisasi" yang dicanangkan akan memberi manfaat bagi para petani, karena hasilnya sangat menggembirakan.

Di Desa Nule, Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), misalnya, tanaman jagung yang sebelumnya hanya memproduksi 2 ton per hektare, kini telah meningkat menjadi 6,5 ton/hektare.

"Ini sebuah perubahan peningkatan produksi yang cukup signifikan. Karena itu, saya optimistis dengan pengembangan tanaman jagung di NTT. Saya memiliki sebuah obsesi untuk menjadikan NTT sebagai lumbung jagung di Indonesia," katanya.

Gubernur Lebu Raya mengakui bahwa para petani tetap merasa cemas karena khawatir produksi jagung yang diolah, tidak dipasarkan.

"Memang masih banyak petani yang merasa cemas setelah panen raya. Tetapi saya tegaskan bahwa banyak pengusaha yang menanti produksi jagung dari NTT. Karena itu, para petani tidak perlu jemu dan bosan menanam jagung," tandasnya. (ant)

Belum Paham Mekanisme Pasar

KEPALA Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTT, Ir. Piet Muga mengatakan, kecemasan yang dihadapi para petani saat ini cukup beralasan. Pasalnya, para petani itu belum paham soal mekanisme pasar.

"Produksi jagung tersebut tidak semata-mata untuk konsumsi keluarga, tetapi juga untuk pakan ternak. Jagung juga bisa diolah menjadi emping dan dijual kepada pengusaha jagung. Mekanisme ini tampaknya belum diketahui oleh para petani, sehingga mereka selalu dihantui rasa cemas," ujarnya.

Menurut perkiraannya, produksi jagung di NTT tahun ini mengalami surplus sekitar 600 ton lebih dari total produksi normal sekitar 510 ribu ton per tahun.

"Meski indeks produksinya cukup menggembirakan, namun saya agak pesimis soal turunnya harga jagung di pasaran, yang saat ini mencapai Rp 2.000,00/kg. Jika masa panen nanti, diperkirakan April dan Mei 2009 nanti, harga jagung diperkirakan turun. Ini hukum ekonomi pasar yang tidak bisa dihindari," ujarnya.

Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah NTT, Paulus R Todung, yang dikonfirmasi secara terpisah, mengatakan, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan sejumlah koperasi di daerah ini untuk membeli jagung dari para petani.

"Saya akan usulkan kepada gubernur agar dapat mengalokasikan dana membeli jagung dari para petani saat masa panen nanti. Ini memang sulit, tetapi kami akan coba untuk melakukannya, agar petani senantiasa termotivasi untuk terus mengembangkan jagung," ujarnya. (ant)

Lanjut...

Posted in Label: , , | 0 komentar

Pidra Sumba Timur Adopsi Program Nasional

Oleh Adiana Ahmad

PROGRAM Pidra yang dicanangkan pemerintah dalam rangka mempercepat pengentasan kemiskinan mendapat sambutan hangat dari pemerintah dan masyarakat Sumba Timur (Sumtim). Pola pemberdayaan dan pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan melalui program ini mampu menyentuh masyarakat marginal yang sebelumnya sulit terjangkau oleh program pembangunan. 

Kehadiran program ini di Sumbtim tahun 2004 lalu di 22 desa, di lima kecamatan, yakni Paberiwai, Matawai Lapawu, Kahaungu Eti, Nggaha Ori Angu dan Haharu, telah melahirkan 211 kelompok tani dengan anggota 3.754 KK miskin. Kelompok yang ada itu telah berhasil mengumpulkan dana Rp 3.167.192.001 yang terdiri dari hibah prestasi Rp 1.507.062.750, usaha kelompok Rp 1.660.129.251,00.

Kehadiran program Pidra juga telah membuka isolasi daerah terpencil melalui pembangunan sarana-prasarana berupa jalan sepanjang 22,2 km, tiga jembatan, perpipaan sepanjang 31,968 km, 17 unit bangunan pelindung mata air, 41 bak penampung air hujan, 21 unit sumur, tiga ruang sekolah, satu pasar desa, lima unit MCK dan lima cek dam/jebakan air. Selain di sektor sarana dan prasarana, progam ini juga menyentuh bidang pengembangan usaha produksi petenakan dan pertanian, pembangunan kebun bibit desa, pengembangan DAS mikro dan konservasi lahan, serta peralatan dan mesin pertanian.


Sejalan dengan intervensi program di sektor tersebut, melalui Pidra, para petani dan keluarga miskin dibekali berbagai keterampilan seperti kursus administrasi dan keuangan kelompok, pengembangan manajemen kelompok, budidaya hortikultura, pengolahan hasil pertanian, vaksinasi petenakan, konservasi tanah dan air, pelatihan relawan, budidaya ternak kecil, budidaya tanaman perkebunan, penguatan administrasi, manajemen pemasaran hasil, dan masih banyak lagi.

Program Pidra telah mampu melahirkan petani handal, dan juga pelaku ekonomi baru meskipun dalam skala kecil. Sayang, program ini harus berakhir Desember 2008. Pemda Sumtim kemudian berupaya agar roh/semangat yang dibangun dan dikembangkan melalui program Pidra tidak hilang bersamaan berakhirnya program tersebut. 

Menyadari program ini pasti akan berakhir, sementara masyarakat masih membutuhkan pendampingan, maka tahun 2005 Badan Bimas Ketahanan Pangan Sumtim melalui dana APBD II setempat merancang program yang modelnya hampir sama denga Pidra. Dimulai dari 32 kelompok di lima desa di Kecamatan Kambata Mapambuhang, Pandawai, dan Haharu, kini Pidra daerah berkembang di sembilan desa dengan 54 kelompok binaan beranggotakan 1.065 Kk miskin. Kelompok binaan Pidra Daerah Sumtim bukan kelompok bekas binaan Pidra nasional tapi kelompok baru yang belum tersentuh.

Sembilan desa yang telah disentuh Pidra Daerah, yakni Maradamundi, Lukuwingir, Waimbidi, Maubokul, Laindeha, Kalamba, Kadahang, Wunga dan Napu. Kelompok tani yang ada melalui swadaya telah mampu mengumpulkan dana Rp 76.575.700,00. Sementara intervensi pemerintah daerah dilakukan melalui pengembangan usaha produksi, peralatan dan mesin pertanian, sarana prasarana, pelatihan teknis dan pelatihan modul.

Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan Sumtim, Ida Bagus Putu Punia, ditemui di ruang kerjanya, Senin (2/3/2009), mengaku pembentukan Pidra Daerah cuma berbekal modal nekad dengan acuan pemikiran kalau progam ini bagus mengapa daerah tidak tindak lanjuti?

Sejak itu, kata Bagus, Pemda Sumtim melalui dana APBD II mengalokasikan dana untuk program ini. Tahun 2005 dialokasikan dana Rp 270 juta, tahun 2006 berkembang menjadi Rp 300 juta, tahun 2007 menjadi Rp 330 juta, tahun 2008 Rp 470 juta, dan tahun 2009 menjadi Rp 870 juta. Dana tersebut selain untuk pendampingan, juga untuk modal kelompok. Modal kelompok bukan dalam bentuk uang tunai tapi dalam bentuk bantuan ternak sapi dan kambing. Ternak ini menjadi milik kelompok. Hasil penjualannya masuk ke kas kelompok. 
Anggota yang membutuhkan dana segar bisa meminjam dari kas kelompok.

Dampak pelaksanaan Pidra Daerah ini, jelas Bagus, mulai terlihat, antara lain masyarakat mulai menabung. Padahal sebelumnya masyarakat tidak terbiasa menabung. Masyarakat juga sudah mulai mengembangkan usaha dagang melalui kelompok yang memudahkan mereka mendapatkan barang kebutuhan hidup dengan harga terjangkau. 

Pidra Daerah sedikit berbedah dengan Pidra Nasional. Kalau Pidra Nasional target pertumbuhan ekonomi masyarakat binaannya empat tahun, maka Pidra Daerah hanya satu tahun. Enam bulan pemberdayaan, enam bulan pertumbuhan. Salah satu program Pidra Nasional tidak bisa diikuti daerah, yakni pelatihan modul karena biayanya besar. 

Dia mengatakan, yang penting dari program ini adalah membangun kesadaran masyarakat untuk bisa berkelompok. Jika masyarakat sudah memiliki kesadaran dan kemauan untuk berkelompok, maka cukup mudah untuk melakukan intervensi program. Dia mengaku kesadaran berkelompok sudah mulai tumbuh di kelompok binaannya, bahkan saat ini kelompok yang dibentuk melalui Pidra Daerah sudah mampu membuat neraca. (*)

Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

7 Penderita Gizi Buruk masuk Panti Bitefa

KEFAMENANU, PK-- Selama bulan Februari 2009, tujuh balita penderita gizi buruk di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dirawat intensif di Panti Rawat Gizi di Kelurahan Bitefa, Kecamatan Miomaffo Timur. Dari jumlah ini, dua balita positif menderita marasmus. Keduanya bernama Ignasius Elu (22 bulan), asal Oemeu dan Kornelia Kolo (23), asal Bitefa.

Pengelola Panti Rawat Gizi, dr. Lambert Tokan, dikonfirmasi Sabtu (29/2/2009) siang, melalui salah satu perawat, Nona Fanty Amsikan membenarkan hal ini. "Ada tujuh balita dirawat intensif dan dua balita positif marasmus," kata Amsikan.

Ia merincikan, tujuh balita itu bernama Christino Lamuda (8 bulan) asal Kaubele, menderita gizi kurang; Epifania Olin (22 bulan) asal Oeolo, menderita gizi buruk; Ignasius Elu (22 bulan) asal Oemeu menderita marasmus; Gilberto Metan (22 bulan) asal Bitefa, menderita gizi buruk; Cornelia Kolo (23 bulan) asal Bitefa, menderita marasmus; Alfridus Seno (15 bulan) asal Manufui, menderita gizi buruk; dan Jendrina Ufa (26 bulan), asal Manufui, menderita gizi buruk.

"Di panti ini tiap balita diberi makanan bergizi termasuk ibu kandung yang sedang menyusui anaknya. Dengan begitu bila ibunya sehat karena makan makanan bergizi, produksi ASI buat anaknya bagus dan lancar," jelas Amsikan. 

Ia menjelaskan, salah satu balita bernama Epifania Olin, sudah dipulangkan ke rumahnya, Sabtu (29/2/2009) pagi, karena dinyatakan sembuh dan berat badannya kembali normal.

Soal stok makanan obat-obatan, susu dan telur, Nona Amsikan mengatakan stok masih mencukupi meski anggaran belanja untuk tahun 2009 belum cair. "Semua kegiatan di panti ini berjalan lancar dan tim masih terus melakukan pelacakan di kampung, dusun dan desa terpencil untuk menyelamatkan balita penderita gizi buruk," katanya.

Ny. Adriana Subun, ibunda balita penderita marasmus, Ignasius Elu, mengatakan ia senang anaknya dirawat di Panti Rawat Gizi. "Anak saya diberi makanan bergizi. Ada nasi tambah sayur dan daging. Kadang ikan ditambah tempe dan tahu atau telur. Juga diberi susu. Saya juga diberi makanan bergizi," kata Ny. Subun saat ditemui di Panti Rawat Gizi, Sabtu siang.

Ditanya kenapa anaknya tidak terurus, Ny. Subun mengatakan sejak umur satu tahun, ia sering menitipkan anaknya kepada ibu kandungnya. "Saya tinggalkan untuk berjualan di pasar. Sore baru pulang. Anak tidak terurus. Itu salah saya. Tapi mau bagaimana. Jika tidak jualan di pasar kami mau makan apa? Suami cuma seorang petani," katanya.

Catatan Pos Kupang total balita penderita gizi buruk di TTU sampai November 2008 menjadi 882 balita dari total balita di TTU sebanyak 20.187 balita yang menjalani penimbangan badan di Posyandu. Jumlah kasus gizi buruk di TTU tahun 2008 menurun drastis dibandingkan tahun 2007. 

Sejak bulan Januari - Juni 2007 sebanyak 1.178 balita (6,2 persen) dari total 17.782 balita ditimbang di posyandu diindetifikasi mengalami gizi buruk. Sedangkan 6.583 (34,8 persen) balita mengalami gizi kurang, 10.008 (52,9 persen) balita menyandang status gizi baik dan sisanya 13 orang (0,07 persen) balita menyandang status gizi lebih. (ade)

Pos Kupang edisi 4 Maret 2009 halaman 15
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

Mbay Kiri Dikembangkan Untuk Pangan Lokal

KUPANG, PK -- Dataran Mbay kiri di Kabupaten Nagekeo akan dikembangkan menjadi lahan persawahan. Hal itu dimaksudkan untuk memperkuat ketahanan pangan lokal.

Kepala Seksi Pelaksanaan Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II Subdin Sumber Daya Air dan Irigasi Dinas Kimpraswil NTT, Alexander Leda, mengatakan hal tersebut, ketika dikonfirmasi soal pengembangan dataran Mbay kiri, Selasa (3/2/2009).

Dataran tersebut memiliki hamparan seluas sekitar 3.000 hektar. Lahan itulah yang akan dikembangkan menjadi lahan persawahan untuk mendukung program ketahanan pangan yang digalakkan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, saat ini.

"Saya sedang berada di Nagekeo untuk sosialisasi pembangunan irigasi di Mbay kiri. Kami melakukan sosialisasi itu dengan maksud masyarakat bisa tahu bagaimana rencana pemerintah ke depan," ujarnya, ketika dihubungi melalui telepon genggamnya.
Menurut dia, sosialisasi itu dilakukan berkaitan dengan rencana pemerintah membangun jaringan irigasi dengan dana bantuan luar negeri. 

Jaringan irigasi yang dibangun itu untuk mengairi areal persawahan seluas sekitar 1.600 hektare. Dataran Mbay kiri, selama ini belum dikembangkan karena pemerintah belum membangun jaringan irigasi.

Informasi yang dihimpun Antara menyebutkan, sebenarnya pemerintah pernah berencana membangun sebuah waduk berskala menengah di Mbay. Namun karena protes dari para aktivis LSM yang mengusung isu lingkungan dan hak masyarakat adat, maka pemerintah Jepang sebagai donatur pembangunan waduk tersebut, membatalkan proyek dimaksud.
Padahal, dataran Mbay kiri disebut-sebut sebagai areal pertanian lahan basah yang sangat potensial dan bisa menjadi lumbung beras bagi masyarakat di Pulau Flores bagian tengah.

Jika Mbay kiri dan kanan dikembangkan bersamaan dengan dataran Mautenda di Kabupaten Ende, juga intensifikasi areal persawahan di Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat, dan kantong wilayah tertentu di Sikka dan Flores Timur, maka Flores bisa berswasembada beras. (*)

Pos Kupang 6 Februari 2009 halaman 9
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar