tag:blogger.com,1999:blog-82236000186118102492024-03-05T23:26:24.239-08:00GIZI PANGAN NTTKumpulan berita, artikel atau apa saja yang berkaitan dengan gizi dan pangan. Krisis gizi dan pangan adalah salah satu masalah besar bagi rakyat Nusa Tenggara Timur dan Indonesia. Semoga bermanfaat bagi siapapun yang peduli.Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.comBlogger88125tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-52944666463018238692010-01-29T00:08:00.000-08:002010-01-29T00:09:46.719-08:00Mengenal Gejala Gizi Buruk dan Pemecahannya<div style="text-align: justify;">GIZI merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia. Gizi buruk tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian tetapi juga menurunkan produktifitas, menghambat pertumbuhan sel-sel otak yang mengakibatkan kebodohan dan keterbelakangan.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Berbagai masalah yang timbul akibat Gizi buruk antara lain tingginya angka kelahiran bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Hal ini disebabkan, jika Ibu hamil menderita kurang Energi Protein akan berpengaruh pada gangguan fisik, mental dan kecerdasan anak, dan juga meningkatkan resiko bayi yang dilahirkan kurang zat besi. Bayi yang kurang zat besi dapat berdampak pada gangguan pertumbuhan sel-sel otak, yang dikemudian hari dapat mengurangi IQ anak.</div><div style="text-align: justify;">Secara umum gizi buruk pada bayi, balita dan ibu hamil dapat menciptakan generasi yang secara fisik dan mental lemah. Dilain pihak anak gizi buruk rentan terhadap penyakit karena menurunnya daya tahan tubuh.</div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">* Penyebab Gizi Buruk</div><div style="text-align: justify;">1. Penyebab tak langsung</div><div style="text-align: justify;">Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan, dan menderita penyakit kanker.</div><div style="text-align: justify;">2. Penyebab langsung</div><div style="text-align: justify;">Ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan Masalah Utama Gizi buruk adalah Kemiskinan, Pendidikan rendah, Ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu, untuk mengastasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">* Gejala dan Tanda Gizi Buruk</div><div style="text-align: justify;">Ada 3 macam tipe Gizi buruk, yaitu :</div><div style="text-align: justify;">1. Tipe Kwashiorkor, dengan tanda-tanda dan gejala adalah sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;">* Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.</div><div style="text-align: justify;">* Perubahan Status mental</div><div style="text-align: justify;">* Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok</div><div style="text-align: justify;">* Wajah membulat dan sembab</div><div style="text-align: justify;">* Pandangan mata sayu</div><div style="text-align: justify;">* Pembesaran hati</div><div style="text-align: justify;">* Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas</div><div style="text-align: justify;">2. Tipe Marasmus, dengan tanda-tanda dan gejala sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;">* Tampak sangat kurus</div><div style="text-align: justify;">* Wajah seperti orang tua</div><div style="text-align: justify;">* Cengeng, rewel</div><div style="text-align: justify;">* Kulit keriput</div><div style="text-align: justify;">* Perut cekung</div><div style="text-align: justify;">3. Tipe Marasmik-Kwashiorkor</div><div style="text-align: justify;">Merupakan gabungan beberapa gejala klinik Kwashiorkor - Marasmus.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">* Penyakit penyerta/ Penyulit pada Anak Gizi Buruk</div><div style="text-align: justify;">Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, anak yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan terhadap penyakit. Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit tersebut justru menambah rendahnya status gizi anak. Penyakit-penyakit tersebut adalah:</div><div style="text-align: justify;">* ISPA</div><div style="text-align: justify;">* Diare persisten</div><div style="text-align: justify;">* Cacingan</div><div style="text-align: justify;">* Tuberkulosis</div><div style="text-align: justify;">* Malaria</div><div style="text-align: justify;">* HIV / AIDS</div><div style="text-align: justify;">Bagaimana penanganan anak dengan kasus Gizi buruk?</div><div style="text-align: justify;">Pemberian makanan secara teratur, bertahap, porsi kecil, sering dan mudah diserap</div><div style="text-align: justify;">Makan aneka ragam makanan, beri ASI, makanan mengandung minyak, santan dan lemak, berikan buah-buahan.</div><div style="text-align: justify;">Bagaimana cara mengatasi masalah Gizi ?</div><div style="text-align: justify;">* Lingkungan harus disehatkan misalnya dengan mengupayakan pekarangan rumah menjadi taman gizi</div><div style="text-align: justify;">* Perilaku harus diubah sehingga menjadi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ( PHBS).</div><div style="text-align: justify;">PHBS Bidang Gizi yang harus diperhatikan adalah:</div><div style="text-align: justify;">* Makan dengan Gizi seimbang</div><div style="text-align: justify;">* Minum tablet besi selama hamil</div><div style="text-align: justify;">* Memberi bayi ASI eksklusif</div><div style="text-align: justify;">* Mengkonsumsi garam beryodium</div><div style="text-align: justify;">* Memberi bayi dan balita kapsul vitamin A.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">* Pemecahan Masalah Gizi</div><div style="text-align: justify;">Masalah Gizi buruk, tidak dapat diselesaikan sendiri oleh sektor kesehatan. Gizi Buruk merupakan dampak dari berbagai macam penyebab. Seperti rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan, ketersediaan pangan, transportasi, adat istiadat (sosial budaya), dan sebagainya. Oleh karena itu, pemecahannyapun harus secara komprehensip.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">* Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)</div><div style="text-align: justify;">PHBS ( Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ) dapat merupakan titik pangkal bagi terciptanya lingkungan sehat dan hilangnya pengganggu kesehatan. Hal ini dikarenakan dalam praktiknya kedua hal tersebut diupayakan melalui perilaku manusia. Lingkungan akan menjadi sehat, jika manusia mau berperilaku hidup bersih dan sehat. Pengganggu kesehatan juga akan dihilangkan jika manusia mau berperilaku untuk mengupayakannya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penyebab utama timbulnya masalah-masalah Gizi dalam bidang kesehatan adalah masalah perilaku. Misalnya untuk mencegah terjadinya kekurangan Protein pada balita, maka perilaku ibu dalam memberi makan balitanya harus diubah, sehingga menjadi pola makan dengan gizi seimbang. Perilaku keluarga dalam memanfaatkan pekarangan juga harus diubah, sehingga pekarangan menjadi taman gizi.</div><div style="text-align: justify;">Strategi Departemen Kesehatan untuk penanganan Gizi Buruk:</div><div style="text-align: justify;">* Menggerakan dan memberdayakan Masyarakat untuk hidup Sehat</div><div style="text-align: justify;">* Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas</div><div style="text-align: justify;">* Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan</div><div style="text-align: justify;">* Meningkatkan pembiayaan kesehatan</div><div style="text-align: justify;">Langkah-langkah apakah yang sudah dilakukan Dinas Kesehatan Provinsi Maluku untuk mengatasi masalah Gizi Buruk?</div><div style="text-align: justify;">* Pertemuan dan Pelatihan Penatalaksanaan Gizi buruk untuk puskesmas</div><div style="text-align: justify;">* Pelatihan Surveilans Gizi</div><div style="text-align: justify;">* Pemberian MP ASI baik berupa bubur maupun biskuit untuk bayi dan balita terutama untuk keluarga miskin ( Berasal dari dana APBN )</div><div style="text-align: justify;">* Pemberian susu kepada bayi dan balita untuk Kabupaten/Kota ( APBD )</div><div style="text-align: justify;">* Tahun ini (2009), lewat dana BANSOS, dilaksanakan pelacakan Gizi buruk di Kabupaten/Kota.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">* Saran</div><div style="text-align: justify;">* Mohon perhatian Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menindaklanjuti masalah-masalah Gizi buruk dilapangan.</div><div style="text-align: justify;">* Perlu adanya kerjasama Lintas Sektor terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Sosial , Perindustrian, dan Dinas Pendidikan, BAPPEDA, serta sektor-sektor lain yang berkaitan dengan masalah Gizi dalam masyarakat. Bawalah anak Anda ke Posyandu untuk bisa memantau Berat badan anak setiap bulan.*</div><div style="text-align: justify;"><br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-1711893070493128752010-01-29T00:03:00.000-08:002010-01-29T00:07:01.618-08:00Dampak Anemia pada Ibu Hamil<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ2xbvbHpcivjIxktqypiTvDa5lFSaNuyan3KLMJbbpe0IhoPIo_mtOBLxIDtxmEGPz72lUqunUqDed3IpCZeiMpZEWDnDWN_FbYHKuYwCfy98xoO-cN3xTHFdvq1fx70GBO_gOxEXcsQ/s1600-h/Ibu+Hamil-ilustrasi.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 298px; height: 225px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ2xbvbHpcivjIxktqypiTvDa5lFSaNuyan3KLMJbbpe0IhoPIo_mtOBLxIDtxmEGPz72lUqunUqDed3IpCZeiMpZEWDnDWN_FbYHKuYwCfy98xoO-cN3xTHFdvq1fx70GBO_gOxEXcsQ/s320/Ibu+Hamil-ilustrasi.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5432069753682733938" /></a><div style="text-align: justify;"><b>KONDISI</b> anemia dan Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil mempunyai dampak kesehatan terhadap ibu dan anak dalam kandungan, antara lain meningkatkan risiko bayi dengan berat lahir rendah, keguguran, kelahiran premature dan kematian pada ibu dan bayi baru lahir. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Hasil survai menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat tinggi, yaitu 51 persen,dan pada ibu nifas 45 persen. Sedangkan prevalensi wanita usia subur (WUS) menderita KEK pada tahun 2002 adalah 17,6 persen. Tidak jarang kondisi anemia dan KEK pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya perdarahan, partus lama, aborsi dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Malnutrisi bukan hanya melemahkan fisik dan membahayakan jiwa ibu, tetapi juga mengancam keselamatan janin. Ibu yang bersikeras hamil dengan status gizi buruk, berisiko melahirkan bayi berat badan lahir rendah 2-3 kali lebih besar dibandingkan ibu dengan status gizi baik, disamping kemungkinan bayi mati sebesar 1.5 kali.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Salah satu cara untuk mengetahui status gizi Wanita Usia Subur (WUS) umur 15-49 tahun adalah dengan melakukan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA). Hasil pengukuran ini bisa digunakan sebagai salah satu cara dalam mengidentifikasi seberapa besar seorang wanita mempunyai risiko untuk melahirkan bayi BBLR. </div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Indikator Kurang Energi Kronik (KEK) menggunakan standar LILA</div></span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-55567415951528763132010-01-29T00:00:00.000-08:002010-01-29T00:01:41.672-08:00Makanan Lokal Harus Disajikan dalam Keluarga<div style="text-align: justify;">MAUMERE, PK-- Makanan lokal yang sering hanya disajikan saat ada perlombaan, hendaknya harus disajikan sebagai menu di dalam keluarga. Para ibu diminta selalu membuat menu makanan lokal untuk jadi santapan bersama di dalam rumah.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Demikian harapan Lurah Madawat, Seprianus Nerius saat membuka lomba makanan lokal yang diikuti 10 RW di Kelurahan Madawat, Sabtu (16/1/2010). </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Acara ini digelar PKK Kelurahan Madawat diikuti kelompok ibu dari 10 RW di Madawat yang menyajikan aneka makanan lokal bergizi. </div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Lurah Nerius mengajak semua kaum ibu memulai menu makanan lokal dalam keluarga. "Dulu, ubi hanya dijadikan teman minum kopi pagi, tapi sekarang ubi harus menjadi menu utama dalam keluarga. Saya mengajak kaum ibu memulainya dari dalam rumah masing-masing. Jangan hanya saat lomba baru sajikan makanan lokal bergizi, tapi setelah ini harus dilanjutkan di dalam keluarga," kata Nerius. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dikatakannya, makanan lokal mempunyai gizi tinggi dan punya nilai ekonomi tinggi. Hendaknya makanan lokal yang ada diolah agar ke depan anak-anak di Madawat tidak terserang gizi buruk. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Di Madawat ada gizi buruk dan gizi kurang. Mulai sekarang olah makanan lokal agar diberikan kepada anak-anak kita," kata Nerius. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ketua TP PKK Kelurahan Madawat, Patrisia Seno Dekrasano mengatakan, program PKK di Madawat akan terus dilakukan untuk memberdayakan kaum ibu agar selalu memanfaatkan makanan lokal. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Makanan lokal yang ada hendaknya diolah menjadi makanan bergizi dan harus disajikan jadi menu utama dalam keluarga. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Lomba ini hanya sebagai perangsang saja agar kaum ibu selalu menyajikan makanan lokal dalam keluarga," kata Patrisia. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Tim juri dalam perlombaan tersebut adalah Ny. Elly Tandjung, Maria Samaredo dan Silvia H. Sabeweo. Mereka menilai menu makanan yang disajikan para ibu dari 10 RW yang menjadi peserta lomba. Aneka makanan lokal disajikan seperti ubi, jagung, ikan dan makanan lokal lain yang diolah menjadi makanan siap saji. Usai penilaian dan pengumuman juara, panitia pelaksana dan peserta mencicipi makanan lokal disajikan dalam suasana kebersamaan. (ris) </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Juara Lomba Makanan Lokal di Madawat :</div><div style="text-align: justify;">1. Juara I RW 02</div><div style="text-align: justify;">2. Juara II RW 09</div><div style="text-align: justify;">3. Juara III RW 04</div><div style="text-align: justify;">4. Juara IV RW 08</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pos Kupang 18 Januari 2010 halaman 9</div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-16446683147288927572010-01-28T23:58:00.000-08:002010-01-29T00:00:01.361-08:00Dinkes Kota Kupang Bagi-bagi Kelambu<div style="text-align: justify;">UNTUK mencegah penyakit malaria dan DBD, Dinas Kesehatan Kota Kupang membagi 1.000 kelambu kepada ibu hamil dan balita yang ada di Kelurahan Oesapa, Oesapa Barat, Oesapa Selatan dan Kelurahan Lasiana.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Bantuan ini disalurkan atas kerja sama dinas kesehatan dengan LSM pemerhati malaria, Fan Global.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Pihak Puskesmas Oesapa yang menyalurkan bantuan tersebut kepada masing-masing kelurahan sesuai dengan jumlah ibu hamil dan balita yang ada," kata Rosalia Riberu, perawat, saat ditemui pada acara pembagian kelambu di Puskesmas Oesapa, Selasa (19/1/2010). </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Riberu mengatakan, pembagian kelambu untuk keempat kelurahan sudah dilakukan sejak bulan Agustus 2009, namun belum semua. </div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Menurutnya, para perawat hanya membagikan kelambu kepada mereka yang memenuhi syarat dengan menyerahkan foto copi kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu menuju sehat (KMS) serta kartu keluarga. Dinas menetapkan persyaratan ini untuk menghidari adanya penyusupan dari daerah lain yang ingin mendapatkan kelambu.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Terkait dengan pembagian kelambu, Lurah Oesapa Barat, Vera Suek, S.Sos mengatakan, pihak kelurahan hanya menyampaikan kepada masing-masing RT agar semua ibu hamil dan anak balita dapat mengambil kelambu di kantor lurah. "Kami dari kelurahan hanya memfasilitasi saja," katanya. (mas)</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><b><div style="text-align: justify;">7 DBD, 6 Diare, 5 Gizi Buruk</div></b><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Saat ini RSU Prof. Dr. WZ Johannes Kupang merawat tujuh pasien demam berdarah dengue (DBD), enam pasien diare dan lima pasien gizi buruk.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Enam dari tujuh pasien DBD dirawat di ruang Kelas II dan III Anak dan satu pasien lainnya dirawat di ruang Kelas I Utama. Enam pasien diare juga menjalani perawatan di ruang Kelas II dan II Anak. Di ruang yang sama juga dirawat lima anak pasien gizi buruk.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kepala ruangan Kelas II dan II Anak, Marlina Pattypeilohy saat ditemui, Selasa (19/1/2010), merincikan, tujuh pasien DBD dirawat di ruang B4, D4, D6, E1, E4, E6 dan ruang E7. Lima pasien gizi buruk dirawat di ruang B5, D2, G2, G4 dan G6. Sedangkan enam orang pasien diare dirawat di beberapa ruangan Kelas II dan III Anak. Dua dari tujuh pasien DBD adalah Mellani Mau (7 bulan) dan Lodya Malei Mani (9 tahun).</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Melkianus Mau, orangtua Mellani Mau, saat ditemui di ruang perawatan, menjelaskan, anaknya mengalami panas tinggi. Beberapa saat kemudian kondisi tubuhnya kembali dingin. "Suhu badan panas dan dingin terus berlangsung hingga beberapa hari. Khawatir dengan suhu tubuhnya yang tidak menentu, kami bawa Melanni ke RSU. Setelah dilakukan pemeriksaan darah di laboratorium, hasilnya Mellani positif DBD," katanya. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kondisi yang sama dialami Lodya Malei Mani, sebagaimana dijelaskan Betzeba Atapeda, kakak Lodya Malei Mani. Suhu tubuh Lodya panas dingin sejak dua minggu yang lalu.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Setelah darahnya diperiksa di laboratorium, hasilnya Lodya positif DBD. Lodya mulai menjalani perawatan, Senin (18/1/2010)," kata Atapeda, warga Kelurahan Batuplat ini.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Susana Haning, orangtua Nita Haning, pasien gizi buruk, menjelaskan, Nita dirawat sejak Sabtu (9/1/2010). Kondisinya membaik sehingga pulang ke rumah di RT 10/RW 3, Kelurahan Oebufu. Setelah berada di rumah selama satu hari, pada Senin (18/1/2010), Nita kembali masuk RSU.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Nita dirawat kembali karena sesuai hasil pemeriksaan dokter dari perbandingan tinggi dan berat badannya, masuk dalam klasifikasi gizi kurang," kata Susana. </div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan data rekam medis yang diperoleh Pos Kupang, sampai dengan Selasa (19/1/2010), RSU Kupang telah merawat 22 pasien DBD, 40 pasien diare dan lima pasien gizi buruk. (den) </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pos Kupang 20 Januari 2010 halaman 17</div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-18487475648152312232010-01-28T23:54:00.000-08:002010-01-28T23:55:46.815-08:00Penderita DBD Paling Banyak di RSU Kupang<div style="text-align: justify;">KUPANG, PK -- Selama Januari 2010, pasien paling banyak dirawat di RSU Kupang adalah penderita demam berdarah dengue (DBD). Urutan kedua ditempati pasien diare, dan ketiga pasien gizi buruk. Umumnya, pasien penderita DBD, diare dan gizi buruk mulai dari anak-anak usia tiga bulan hingga 10 tahun. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kepala Bagian Program Perencanaan, Pelaporan RSU Kupang, David Mandala, melalui Kasubag Program Perencanaan dan Pelaporan, Vince B Panggula, SKM, menjelaskan hal tersebut kepada Pos Kupang, Rabu (27/1/2010).</div><div style="text-align: justify;">Sesuai data rekam medik RSU Kupang, hingga Rabu (27/1/2010), jumlah pasien DBD yang telah dirawat 81 orang, pasien diare 60 orang dan pasien gizi buruk empat orang. </div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Vince menjelaskan, dari jumlah pasien DBD, yang masih dirawat 13 orang. Pasien ini dirawat di kelas satu anak enam orang dan di kelas dua dan tiga anak tujuh orang. Sementara pasien diare yang masih dirawat 11 orang dan pasien gizi buruk empat orang. Semuanya dirawat di ruang kelas dua dan tiga anak. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Wakil Kepala Bagian Ruang Kelas II dan III Anak, Hadiah Marsi, yang ditemui terpisah membenarkan di kelas II dan III sedang dirawat tujuh pasien DBD, diare dan gizi buruk. Pasien DBD dirawat di ruang D1, D2, D6, D9, E4, E5 dan G5. </div><div style="text-align: justify;">Sedangkan pasien diare di ruang B3, C3, D4 dan ruang G1 hingga G7. Sementara pasien gizi buruk dirawat di ruang G2, G3, G4 dan G5.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Modesta Moi, orangtua Maria Mau (10 bulan) pasien suspek DBD, menjelaskan, ia terpaksa membawa anaknya ke RSU Kupang. Selama berobat di Puskesmas Maulafa, kondisi tubuh anaknya masih tetap panas dan dingin. Meski telah mengkonsumsi obat dari puskesmas.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Saya takut anak saya terserang DBD. Saat ini masih menunggu hasil pemeriksaan darah. Saya dan anak berdiri di luar ruangan perawatan, karena di dalam ruangan anak saya terus menangis. Mungkin dia kepanasan di dalam ruangan," katanya.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dr. Maria Simplicia Fernandes, SpA, yang ditemui di ruang perawatan anak, mengatakan, tahun ini ada kecendrungan peningkatan pasien DBD jika dibandingkan tahun lalu. Simplicia menyarankan agar masyarakat terus membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal. Terutama di tempat-tempat sampah dan tempat genangan air. "Di tempat-tempat itu sangat potensial sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk," katanya. (den) </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pemkot Gelar Rapat Koordinasi</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">KASUS demam berdarah dengue (DBD) di Kota Kupang sejak minggu kedua bulan Oktober 2009 hingga tanggal 27 Januari 2010 mencapai 193 kasus. </div><div style="text-align: justify;">Menyikapi meningkatnya kasus tersebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang menggelar rapat koordinasi antara dinas kesehatan dengan camat dan lurah se-Kota Kupang. Rapat koordinasi itu untuk mendengar laporan dari masing-masing kecamatan dan tindak lanjutnya oleh pihak terkait.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Rapat ini dibuka oleh Wakil Walikota Kupang, Drs. Daniel Hurek, di ruang rapat Sasando Lantai III Kantor Walikota Kupang, Kamis (28/1/2010). Rapat ini dihadiri para camat dan lurah serta dokter dan paramedis dari masing-masing puskesmas dan puskesmas pembantu (Pustu) se Kota Kupang. Hadir dalam rapat tersebut Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang, dr. Dominggus Sarambu serta stafnya.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Hurek mengatakan, kasus DBD disebabkan oleh faktor fungsi dimensi, yakni faktor pendidikan, ekonomi, kesehatan serta beberapa faktor lainnya. Secara tidak sengaja masyarakat telah menyediakan tempat pengembangbiakan penyakit DBD dengan membuka air pada bak - bak penampungan yang ada di rumah masing- masing.</div><div style="text-align: justify;">Hurek menegaskan, hingga saat ini jumlah kasus DBD sangat tinggi, yakni mencapai 193 kasus. Jumlah tersebut harus diwaspadai, karena jika mencapai 250 kasus maka dikategorikan sebagai kejadian luar biasa (KLB). </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Untuk itu, kata Hurek, para camat, lurah dan paramedis masing-masing pustu dan puskesmas harus bekerja keras untuk mengantisipasi dengan program 3M, yakni menguras, menutup serta menguburkan kaleng-kaleng bekas. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Lurah harus tahu berapa warga yang menderita DBD. Lurah jangan hanya duduk di belakang meja, tetapi harus selalu berada di tengah masyarakat untuk mengidentifikasi semua persoalan yang ada, termasuk DBD dan jangan sempai ada yang meninggal di rumah. Saya instruksikan, jika ada kasus DBD segera dilarikan ke RS untuk mendapatkan pertolongan. Pemerintah menyediakan biaya. Lurah segera berkoordinasi," tegas Hurek.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Hurek mangatakan, beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh masing- masing lurah, antara lain mengidentifikasi dan memastikan penyakit yang mewabah serta media penyebaran untuk kepentingan tindakan antisipasi. Untuk mengetahui sejauhmana tingkat kesiapan paramedis dan peralatan pada masing-masing puskesmas dan pustu yang ada maka para petugas kesehatan harus siaga di tempat untuk memberikan pelayanan. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Selain itu, lurah juga harus berkoordinasi dengan pihak terkait guna melakukan tindakan antisipasi dan jangan sampai ada warga yang meninggal di rumah. </div><div style="text-align: justify;">"Lurah jangan menjadi kepala kantor yang hanya duduk di belakang meja menunggu laporan, tapi harus turun langsung melakukan antisipasi," katanya.</div><div style="text-align: justify;">Hurek juga meminta para lurah mengarahkan warga untuk membersihkan lingkungan masing-masing dengan kerja bakti bersama guna mengatasi kasus DBD yang kian meningkat. (mas) </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pos Kupang 29 Januari 2010 halaman 17 </div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-2372172636733486152009-04-22T05:00:00.000-07:002009-04-22T05:03:16.657-07:00Menengok Penyakit Frambusia di Belu (1)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiolV0UG-_jzn-3iTQTBfl5yHJDIjFWod-eS-gmp7Z6mJiBKQPzulSSK_mRS_nA3DA4LI4ENuo7i6bJfNWWZDuDTtIimotXGYk1v2Qk3g144OC55pjPtVvnCPaOZPFUFd-VhBoPwqmrm0A/s1600-h/Frambusia1.ok.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiolV0UG-_jzn-3iTQTBfl5yHJDIjFWod-eS-gmp7Z6mJiBKQPzulSSK_mRS_nA3DA4LI4ENuo7i6bJfNWWZDuDTtIimotXGYk1v2Qk3g144OC55pjPtVvnCPaOZPFUFd-VhBoPwqmrm0A/s320/Frambusia1.ok.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5327485083354225106" /></a><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Oleh Ferdinandus Hayong</span><br /><br /><div style="text-align: justify;">SALAH satu penyakit di Indonesia Bagian Timur yang hingga saat ini belum tuntas adalah penyakit Frambusia. Dalam bahasa Inggris, Frambusia disebut Yaws. Ada juga yang menyebutnya Frambesia tropica. Penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk miskin. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dr. I Nyoman Kandun, pengurus Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, dalam tulisannya mengemukakan bahwa Frambusia -- dalam International Classification of Disease diberi kode ICD-9 102; ICD-10 A 66 -- adalah penyakit kronis, termasuk monvenereal treponematosis, yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue, masih saudara kandung dengan Treponema pallium sub spesies pallidum penyebab syphilis (Lues, raja singa).<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Penyakit Frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki. Lesi ini tidak sakit, tapi bertahan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Lesi kemudian menyebar membentuk lesi yang khas berbentuk buah frambus (raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut dari penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 persen dari penderita yang tidak diobati.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Walaupun bakteri penyebab Frambusia masih saudara kandung dengan bakteri penyebab syphilis, stadium lanjut penyakit Frambusia tidak menyerang organ-organ vital tubuh seperti otak, mata, jantung, aorta dan lain-lain, sehingga tidak fatal. Frambusia pada stadium primer dan sekunder sangat menular melalui kontak langsung dengan cairan luka borok atau secara tidak langsung kemungkinan ditularkan oleh lalat dari luka borok yang terbuka. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Frambusia adalah indikator kemiskinan dan keterbelakangan. Jika di suatu daerah ditemukan frambusia berarti keadaan gizi, kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungannya jelek, tidak tersedia sarana air bersih yang memadai, permukiman dan prasarana wilayah yang jelek. Artinya, wilayah tersebut tidak tersentuh oleh pemerataan program pembangunan di segala bidang. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Bagaimana dengan Kabupaten Belu? Kepala Dinas Kesehatan Belu, dr. Lau Fabianus menyebut bahwa penyakit Frambusia di NTT hingga akhir Desember 2007 angka prevalensi rate-nya mencapai 3,5 per 10.000 penduduk, sedangkan di Kabupaten Belu angka prevalensi rate 5,6 per 10.000 penduduk. Angka ini jauh di atas target nasional yaitu 1/10.000 penduduk. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Jumlah penduduk Kabupaten Belu sebanya 378.88 jiwa yang tersebar di 208 desa/kelurahan, dengan sarana pelayanan kesehatan sebanyak 20 puskesmas dan 4 rumah sakit. Pada tahun 2007 terdapat delapan buah puskesmas pada 33 desa. Daerah endemis Frambusia, yaitu Puskesmas Nurobo, Weoe, Biudukfoho, Betun, Tunabesi, Kaputu dan Weliman. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Memasuki tahun 2008, penyakit frambusia di Belu tercatat dengan angka prevalensi 10,4/10.000 penduduk yang tersebar di 39 desa di tiga wilayah kerja puskesmas, yaitu Puskesmas Bidukfoho, Kaputu dan Tunabesi.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Terhadap bentangan fakta ini, Lau Fabianus menilai bahwa penyakit Frambusia saat ini menjadi ancaman serius bagi warga di selatan Belu. Hal inilah yang mendorong pemerintah Kabupaten Belu melalui Dinas Kesehatan Belu bersama dengan WHO, Departemen Kesehatan RI, Dinas Kesehatan NTT melakukan survei dan pengobatan dalam rangka eradikasi penyakit dimaksud. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kegiatan bersama ini diharapkan minimal 80 persen penduduk di daerah kantong Frambusia dapat ditemukan. Selain itu, ditemukannya seluruh penderita Frambusia dan kontak. Dengan begitu, tim dapat mencari jalan untuk mengobati para penderita ini sehingga target eradikasi Frambusia di Belu tahun 2012 dapat tercapai.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Tim yang terlibat dalam survei Frambusia sebanyak 59 orang. Tim ini melakukan survei tanggal 23-31 Maret 2009 yang dilaksanakan di 22 desa yang ada di 8 kecamatan yang jadi kantong Frambusia, yakni Kecamatan Rinhat, Kecamatan Wewiku, Kecamatan Weliman, Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Laenmanen, Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Sasitamean, dan Kecamatan Iokufeu," jelas Fabianus.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dari berbagai literatur disebutkan bahwa penyakit frambusia ini sesungguhnya pada pemerintahan Orde Baru telah menetapkan bahwa Frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan "Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)". Namun, kenyataannya sampai saat ini Frambusia masih ditemukan. Di Kabupaten Belu sendiri selama ini sepertinya masyarakat dan pemerintah melihat penyakit ini sebagai hal biasa. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Terbukti baru saat ini Pemerintah Kabupaten Belu mulai 'tanam kaki' dengan melakukan survei ke titik-titik rawan di wilayah selatan Belu. Keadaan ini menyusul adanya wanti-wanti dari pihak WHO. Hasil evaluasi WHO menunjukkan bahwa kasus Frambusia di Belu sudah sangat mengkhawatirkan. WHO bahkan men-support dana Rp 400 juta bagi pemerintah setempat agar persoalan Frambusia ini dapat ditekan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pertanyaannya, mungkinkah target yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Belu untuk bebas Frambusia tahun 2012 dapat dicapai? Target ini tentunya masih harus diuji kembali. Persoalannya, mengatasi kasus ini banyak faktor pendukung yang mestinya jadi bahan pertimbangan. Metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan tetap menjadi indikator yang harus diperhatikan. Untuk itu sangatlah tepat kalau semua pihak di Belu melihat penyakit Frambusia ini sebagai persoalan bersama. (bersambung)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sumber: Pos Kupang 18 April 2009 halaman 1<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-73649549428892690412009-04-22T04:56:00.000-07:002009-04-22T05:00:28.942-07:00Menengok Penyakit Frambusia di Belu (2)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYZ7Bo7wbpcsU8u4GCuSIXAesymNo6ymqvjVltfX03O1PAnJkWxSbSj2-fZg2tdt4yqlKCVfSG-srvyGem5i_rk9fiYO5uqNvY2wLjoKLAC2f975pEvbr3gwvL709JmQMlJ5jhHOJKL64/s1600-h/Frambusia.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 142px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYZ7Bo7wbpcsU8u4GCuSIXAesymNo6ymqvjVltfX03O1PAnJkWxSbSj2-fZg2tdt4yqlKCVfSG-srvyGem5i_rk9fiYO5uqNvY2wLjoKLAC2f975pEvbr3gwvL709JmQMlJ5jhHOJKL64/s320/Frambusia.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5327484385478388322" /></a><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Oleh Ferdinandus Hayong</span><br /><br /><div style="text-align: justify;">MENURUT World Health Organization (WHO), Frambusia merupakan salah satu penyakit kelompok marjinal yang sudah dilupakan karena banyak negara telah memberantasnya. Namun dua negara, yaitu Indonesia dan RDTL, masih melaporkan adanya kasus Frambusia. Antara lain di Kabupaten Belu. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kesepakatan global menghendaki penyakit ini segera hilang dari muka bumi paling lambat tahun 2015. I Nyoman Kandun, Pengurus Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia mengungkapkan dalam tulisannya bahwa sejarah pemberantasan Frambusia di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak zaman Belanda pada tahun 1912 dengan pengobatan neo salvarsan penemuan Tuan Ehrlich. <br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Saat itu uji coba dilakukan di Rembang, Kediri, dan Banyumas. Hasilnya sangat memuaskan, penderita dapat disembuhkan dengan sekali suntikan saja. Selanjutnya, pada tahun 1914 dimulai upaya yang disebut dengan "Frambusia Bestrejding". <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1930-an, Dr R Kodijat -- yang pada waktu itu menjabat sebagai Dokares (dokter karesidenan) -- berjasa melakukan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan Program Pemberantasan Frambusia. Masuknya Jepang sampai dengan Clash I dan II (1942-1949), upaya pemberantasan Frambusia berhenti sama sekali. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Setelah penyerahan kedaulatan, WHO dan Unicef menawarkan bantuan kepada Indonesia untuk memberantas Frambusia. Upaya pemberantasan dimulai di Yogyakarta dengan pengorganisasian pemikiran Dr. R. Kodijat yang disebut dengan Treponematosis Control Project (TCP). Dalam proyek ini Kodijat bertindak sebagai direktur pertama.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1952 sistem TCP oleh Prof Soetopo dkk disempurnakan menjadi TCP Simplified (TCPS). Intinya berisi tiga fase, yaitu fase kampanye, fase konsolidasi, dan fase maintenance. Pada fase kampainye dilakukan pemeriksaan terhadap semua penduduk dan penyuntikan semua penderita yang ditemukan. Pada fase konsolidasi hanya dilakukan spot survey dan resurvey. Tujuannya, untuk mengawasi endemisitas Frambusia sambil berusaha menurunkan jumlah penderita. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pada fase maintenance upaya dilakukan agar Frambusia tidak kembali lagi. Namun fakta yang terjadi bahwa Frambusia selama ini menjadi ancaman serius di hampir sebagian besar wilayah di Indonesia. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Di Kabupaten Belu, sesuai hasil survei tim WHO, ditemukan cukup banyak penderita penyakit Frambusia. Secara kuantitatif memang belum banyak kasus yang terjadi, tetapi sesungguhnya penyakit ini tetap menjadi ancaman serius di Belu. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kepala Dinas Kesehatan Belu, dr. Lau Fabianus mengakui tingkat penyebaran penyakit Frambusia sesuai dengan hasil survei yang dilakukan belum lama ini. Menurut dia, dari hasil survei tim gabungan di beberapa titik yang dianggap rawan, pihaknya melakukan pemeriksaan terhadap 4.733 orang warga di 8 kecamatan (24 desa). <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dari jumlah total tersebut, yang berhasil ditemukan 185 kasus. Sebanyak 135 orang menderita Frambusia kategori menular dan 50 tidak menular. Tim akan terus melakukan survei dengan mendatangi warga untuk melihat dari dekat apakah masih ada warga yang menderita. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Selain itu, dilakukan follow up kepada pasien yang sudah diobati untuk memastikan tingkat kesembuhannya. Apabila belum belum sembuh, maka pengobatan lanjutan akan dilakukan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Belu merupakan daerah pertama yang menggunakan sistem pengendalian penyakit Frambusia secara manual. Kita akan tetap menggunakan metode ini. WHO bahkan sudah janji akan meminta petugas dari Belu untuk ikut ke Sumba Barat, memberikan contoh sistem manual yang kita terapkan di Belu," ujar Fabianus.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Bupati Belu, Drs. Joachim Lopez menandaskan, Pemerintah Kabupaten Belu komit mengatasi penyakit ini. Pemerintah daerah sangat berkomitmen pada pembangunan sumber daya manusia. Salah satu aspeknya, yaitu kesehatan masyarakat. Persoalan yang menimpa dan diderita masyarakat Kabupaten Belu selalu diupayakan untuk diatasi dan dikendalikan sampai pada tingkat aman, termasuk penyakit Frambusia.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Pemerintah daerah melalui satuan kerja terkait menyiapkan dukungan dalam bentuk menyiapkan tenaga teknis profesional, menyiapkan fasilitas dan sarana termasuk peralatan pelayanan kesehatan yang tersebar untuk menjangkau seluruh masyarakat hingga ke pelosok-pelosok. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Menyediakan obat-obatan dan logistik pelayanan yang dibutuhkan, menyediakan biaya operasional dan menyediakan regulasi yang kondusif bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat," tutur Lopez.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Lopez atas nama pemerintah dan masyarakat Belu menyampaikan penghargaan atas dukungan dari WHO, Depkes, Pemerintah Propinsi NTT atas dukungannya terhadap upaya pemberantasan frambusia di Belu. Dukungan ini menstimulir dan memperbesar tekad pemerintah kabupaten untuk menuntaskan persoalan penyakit ini. Niat pemerintah daerah sudah bulat untuk meng-eradikasi penyakit Frambusia dari derita masyarakat. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Lopez mengakui wilayah Kabupaten Belu bertetangga dengan masyarakat dari kabupaten lain bahkan dengan negara RDTL, memang berpeluang terhadap tingkat penyebaran penyakit ini. Kondisi ini akan dikomunikasikan dengan pemerintah propinsi, pemerintah pusat dan pemerintah RDTL pada berbagai kesempatan agar turut memberikan perhatian terhadap masalah penyakit Frambusia ini. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kepada masyarakat Belu, khususnya wilayah selatan, Bupati Lopez mengimbau agar waspada terhadap penyakit Frambusia ini. Semua warga harus sadar dan untuk memerangi penyakit menular ini dengan menjaga kesehatan diri dan lingkungan. Apalagi penyakit ini rentan menyerang anak-anak di bawah usia 15 tahun yang merupakan generasi masa depan Belu. Untuk itu, semua camat, kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan untuk bergandengan tangan menjaga kesehatan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Indikator pembangunan berjalan baik sangat ditentukan oleh derajat kesehatan. Untuk itu, generasi muda perlu dijaga agar tidak menjadi sasaran penyerangan penyakit Frambusia ini. Memang tidak mudah memberantas penyakit ini, tetapi kalau kita semua menyadari dengan terus memberikan pendampingan, maka bukan tidak mungkin permasalahan ini dapat ditekan. Masyarakat jangan masa bodoh terhadap penyakit ini karena dapat mengkibatkan kecacatan menetap," ujar Lopez mewanti-wanti.(habis)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sumber: Pos Kupang 19 April 2009 halaman 1<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-69894311814305258402009-04-19T09:07:00.000-07:002009-04-19T09:09:27.905-07:00WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (1)<span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Oleh Julianus Akoit</span><br /><br /><div style="text-align: justify;">Selama sepekan terakhir, media massa cetak dan elektronik gencar memberitakan kasus biskuit gratis yang dibagikan Care International di Kefamenanu kepada ratusan sekolah dasar (SD) dan Posyandu yang menyebar di 17 kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Biskuit gratis ini adalah bagian dari kegiatan WFP's School Feeding Program yang diselenggarakan oleh The United Nations World Food Programme (UN-WFP), yang bermarkas di Roma, Italia. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kegiatan ini mendapat dana dari negara donor seperti Kerajaan Arab Saudi dan Pemerintah Australia. Anak dan balita pun senang mendapat biskuit gratis itu, termasuk orangtua si anak. Tapi, tiba-tiba seorang bocah bernama Emanuel Meol (9), murid SD Negeri Nifuboke di Noemuti mengembalikan biskuit tersebut kepada gurunya. "Ada jarum suntik dan anak hekter dalam biskuit. Nyaris tertelan. Saya takut mati," kata Meol beralasan ketika ditanya gurunya. <br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">PENGAKUAN si bocah Meol ini sontak membuat sekolahnya gempar. Kepala SDN Nifuboke, Ny . Gaudensiana Cornelis, A.Ma.Pd, mengaku kakinya sempat gemetar membayangkan kecelakaan yang nyaris merenggut bocah mungil berkulit gelap itu. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Seandainya jarum suntik dan benda-benda asing berbahaya itu sampai tertelan, pasti nyawanya tidak bisa tertolong. Itu berarti saya yang pertama masuk penjara," ujarnya dengan nada suara takut. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Usai mendapatkan laporan dan melihat langsung bekas jarum suntik menancap dalam lempengan biskuit, Ny. Cornelis memerintahkan guru pengelola bantuan biskuit gratis, Petrus Banu, untuk menyita kembali biskuit yang sudah telanjur dibagikan kepada para murid. Biskuit itu disimpan bersama 40 kardus biskuit lainnya. Masing-masing kardus berisi 90 bungkus biskuit berukuran 50 gram. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sejak mengembalikan biskuit itu sampai hari ini, Rabu (8/4/2009) siang, Emanuel Meol, si bocah yang dikenal sangat lincah di kelasnya itu, tidak masuk sekolah. "Dia sakit dan badannya panas tinggi. Kami belum tahu dia sakit apa. Kami takut, jangan-jangan ia menelan benda asing berbahaya itu," tukas Petrus Banu. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dikatakannya, dalam satu atau dua hari ke depan, para guru dan teman kelasnya akan mengunjungi Meol di kediamannya, yang berjarak 500 meter dari sekolahnya. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kabar kasus bocah Meol dari Nifuboke ini menyebar dengan cepat ke Kefamenanu, ibukota Kabupaten TTU. Para pejabat dan pihak kepolisian ikut gempar karena kasus ini ternyata tidak saja terjadi di Nifuboke, Noemuti. Delapan sekolah dasar di Kecamatan Insana, empat sekolah dasar di Miomaffo Timur dan Miomaffo Barat serta dua sekolah dasar di Insana Utara, juga melaporkan kasus yang sama. Bahkan bukan saja jarum suntik yang menancap dalam lempengan biskuit, tetapi juga lempengan pisau silet yang sudah berkarat, jarum pentul, pecahan beling, anak hekter (stapless), kerikil dan pasir kasar. Lho, kok bisa ya? <br /></div><div style="text-align: justify;">Aneh tapi nyata. Tidak bisa diterima akal sehat, tapi kenyataan terbentang di depan mata. Benda-benda asing yang membahayakan jiwa balita dan anak sekolah itu dapat dilihat sangat jelas oleh mata normal. Bukan terselip di bungkusan biskuit, tetapi menancap di lempengan biskuit itu. "Jika dipatahkan biskuitnya, baru tampak benda asing berbahaya itu nongol keluar," kata Lazarus Tefa, Kepala SDK Kiupukan 1, di Insana. Di sekolahnya, empat muridnya nyaris menelan potongan pisau silet, batang jarum pentul dan serpihan anak hekter. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ia mengaku harus meninggalkan kelas selama tiga hari karena dipanggil memberikan keterangan di Markas Polsek Insana di Kiupukan. "Saya lapor temuan kasus biskuit bencana itu kepada polisi. Lalu saya diperiksa selama tiga hari. Awalnya polisi tidak percaya, tetapi setelah melihat langsung benda asing berbahaya menancap di lempengan biskuit itu, baru mereka percaya," papar Tefa. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Mendengar berita buruk itu, petugas lapangan Care International di Kefamenanu buru-buru membujuk para guru dan murid di sekolah agar bantuan biskuit gratis itu jangan ditolak. "Biskuit itu harus terus dimakan sampai habis. Hanya ketika dibagikan atau dikonsumsi, guru harus mendampingi para murid. Dan ketika makan biskuit itu, harus di dalam kelas serta diawasi para guru. Kami siap bertanggung jawab, jika terjadi sesuatu," kata Amandus Taena, mengutip penjelasan petugas lapangan Care International yang datang membujuk disertai ancaman. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kapolres TTU, AKBP Adi Wibowo, S.H, yang ditemui para wartawan di ruang kerjanya, Rabu (8/4/2009) siang, mengaku sangat terkejut setelah melihat barang bukti biskuit bencana tersebut. "Awalnya saya tidak yakin. Saya pikir itu cuma isu murahan dari orang iseng. Tapi setelah saya lihat sendiri dengan mata kepala, saya sangat terkejut. Sebab itu nyata. Ada pisau silet, anak hekter, dan jarum pentul. Bagaimana jika ada anak yang sampai menelan benda-benda asing berbahaya tersebut?" tukas Wibowo sambil menggeleng-gelengkan kepala. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ia mengaku, penyidik belum bisa menemukan motif di balik kasus biskuit bencana tersebut. "Juga belum ada tersangka kasus ini. Kami baru sebatas memeriksa beberapa saksi. Bahkan orang-orang Care International dan UN-WFP belum kami panggil untuk diperiksa," kata Wibowo terus-terang. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ia mengaku, awalnya kasus ini ditangani pihak penyidik di masing-masing Polsek, namun karena kasus ini termasuk kategori gawat dan meresahkan banyak orang, penyidik Polres TTU mengambil alih penyelidikan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Menelisik motif di balik kasus biskuit bencana itu memang sangat sukar. Polisi saja mengaku belum bisa menemukan motif di balik kejahatan kriminil ekonomi itu, yang nyaris merenggut jiwa balita dan anak sekolah dasar di TTU. Bahkan tersangka pun masih gelap. Siapa yang sedang `bermain' dan apa tujuannya, kita belum tahu dengan pasti. Lalu siapa yang harus `disalahkan', yang harus bertanggung jawab? <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Mungkin kita mesti menengok ke belakang sebentar. Untuk bertanya sekadarnya, apa itu kegiatan WFP's School Feeding Program? Jawaban atas pertanyaan ini teramat penting agar kita jangan sampai menuding pihak lain yang tidak bersalah. Ataupun kalau pihak itu bersalah, tudingan itu minimal harus dibuktikan secara logis, bertanggung jawab dan sesuai fakta. <br /></div><div style="text-align: justify;">Sebenarnya kegiatan WFP's School Feeding Program diadakan untuk menyelamatkan anak-anak kurang mampu, yang mengalami kekurangan gizi dan asupan nutrisi dalam tubuhnya. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">UN-WFP menemukan banyak anak usia sekolah dasar, kekurangan gizi dan asupan nutrisi. Di rumah keluarga kurang mampu, kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi. Kadang anak berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Kondisi ini memang sangat memprihatinkan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kondisi buruk inilah yang hendak diselamatkan oleh UN-WFP dengan meluncurkan kegiatan WFP's School Feeding Program. Anak sekolah pun mendapatkan bantuan makanan bergizi dalam bentuk biskuit berfortifikasi. Ada sejumlah vitamin dan mineral yang terkandung dalam biskuit yang dibagikan gratis itu. "Banyak anak yang kekurangan gizi berhasil diselamatkan," kata Mitra Salima Suryono, Public Information Officer UN-WFP. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Menurut Mitra, School Meals dari kegiatan itu memiliki empat tujuan utama. Pertama, menyelamatkan keluarga miskin. Kedua, membantu anak sekolah untuk tetap rajin ke sekolah dan membuat mereka terus berkonsentrasi dalam pelajaran sekolahnya. Ketiga, mendorong orangtua untuk mengirim anak-anaknya mengikuti pelajaran di sekolah, terlebih anak perempuan. Keempat, menawarkan dan memberikan bantuan makanan bergizi. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dan kegiatan ini bukan saja dilakukan di empat kabupaten di Timor Barat, tetapi juga dilaksanakan di beberapa negara di Afrika, Asia , Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah dan sebagainya. "Kegiatan ini sudah berjalan lama dan memperlihatkan hasil yang sangat signifikan," tandas Mitra. (bersambung) <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sumber: Pos Kupang 14 April 2009 halaman 1<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-14325762906824789542009-04-19T09:04:00.000-07:002009-04-19T09:06:59.012-07:00WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (2)<span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Oleh Julianus Akoit</span><br /><br /><div style="text-align: justify;">SEBELUM melihat bagaimana aksi program ini di lapangan, mungkin kita melihat bagaimana lembaga UN-WFP bekerja Sebelum melakukan intervensi bantuan pangan dan gizi di suatu wilayah, UN-WFP melakukan studi mendalam mengenai analisa situasi ketahanan pangan masyarakat setempat. Studi ini diberi nama Vulnerability Analysis and Mapping (VAM) atau analisis kerentanan dan pemetaan ketahanan pangan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Studi ini sangat dibutuhkan agar intervensi bantuan pangan dan gizi itu benar-benar tepat sasaran, tepat manfaat dan tepat waktu. Studi ini untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar, misalnya apakah penduduk di wilayah itu rentan atau kekurangan pangan atau memang sudah dalam tahap kritis (lapar)? Berapa banyak orang penduduk yang kekurangan pangan atau kekurangan gizi akut? Mengapa atau faktor penyebab di wilayah itu kekurangan gizi atau kekurangan pangan? Bagaimana penduduk di wilayah itu mendapatkan pangan dan bagaimana cara mereka mencukupkan gizinya?<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">UN-WFP mempunyai 120 analis terbaik di seluruh dunia. Para analis ini bekerja sama dengan LSM internasional dan lokal dibantu badan PBB untuk menjawab pertanyaan-pertanayaan tersebut. Tentunya studi itu juga menggandeng pemerintah setempat. Data dari pemerintah setempat tentang ketersediaan pangan, jumlah kasus gizi buruk, data tentang masalah kesehatan serta angka partisipasi pendidikan, juga dianalisa.<br /></div><div style="text-align: justify;">Hebatnya, penganalisaan data dan temuan data di suatu wilayah oleh para analis dari UN-WFP itu, dibantu dengan peralatan canggih seperti Satellite Imagery (Citra Satelit), Geographic Information Systems (GIS/Sistem Informasi Geografis) dan Personal Digital Assistants (PDA). Hasil analisa didukung peralatan canggih ini, nantinya akan dipakai untuk membuat suatu kesimpulan terakhir atau keputusan bagaimana intervensi pangan dan gizi yang paling tepat dan komprehensif untuk suatu wilayah, jenis intervensi apa yang paling tepat dan sesuai.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Studi dengan menggunakan mekanisme dan prosedur semacam ini juga dilakukan UN-WFP ketika sampai pada keputusan untuk membuat WFP's School Feeding Program di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di NTT, khusus di Timor Barat, UN-WFP merasa mantap untuk menggelar program ini.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Lembaga ini berpendapat intervensi pangan untuk perbaikan gizi mesti dilakukan terhadap 654 sekolah dasar dan 1.219 posyandu, yang meliputi tujuh kecamatan di Kabupaten Kupang, 14 kecamatan di Kabupaten TTS, 17 kecamatan di Kabupaten TTU dan 9 kecamatan di Kabupaten Belu. Program ini mendapat suntikan dana dari negara donor seperti Kerajaan Arab Saudi dan Pemerintah Australia.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Maka sejak tahun 2005 hingga 2009 ini atau sudah empat tahun, UN-WFP mendistribusikan bantuan makanan berupa biskuit berfortifikasi. Konon UN-WFP mengklaim biskuit berfortifikasi ini mengandung beberapa vitamin dan mineral untuk memperbaiki dan melengkapi kebutuhan gizi dalam tubuh balita dan anak sekolah. Dan biskuit gratis ini pun sampai ke sekolah dan posyandu di pedalaman Timor Barat. Pendistribusian biskuit gratis ini dilakukan dengan menggandeng Care International, salah satu NGO berpengalaman dalam bidang bantuan kemanusiaan dan pangan di beberapa belahan dunia.<br /></div><div style="text-align: justify;">Namun apa yang terjadi? Ribuan dos biskuit gratis bantuan dari UN-WFP yang disalurkan oleh Care International di Kefamenanu kepada ratusan sekolah dasar di 17 kecamatan di Kabupaten TTU diduga mengandung pisau silet (pisau cukur), jarum pentul, kaca beling, anakan hecter dan batu kerikil. Lima orang murid di Kecamatan Insana hampir menjadi korban 'biskuit bencana' ini. Kasus ini kini dalam penanganan aparat Polres TTU.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kepala SDK Kiupukan I, Lazarus Tefa, yang ditemui para wartawan di ruang kerjanya membenarkan hal itu. Di sekolahnya, ada empat murid yang nyaris menjadi korban menelan benda asing berbahaya yang terdapat dalam bungkusan biskuit itu. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Hampir saja tertelan oleh para murid. Beruntung segera kami tarik kembali biskuit itu dari para murid," tukasnya dengan nada kesal. Ia mengaku tidak mengira jika biskuit untuk perbaikan nutrisi dan gizi balita itu justru hampir menelan korban jiwa. "Biskuit itu bantuan dari Pemerintah Arab Saudi melalui WFP dan disalurkan oleh Care International. Sebab di bungkus kardus tertulis kalimat: Bantuan dari Pemerintah Arab Saudi," tukasnya seraya memperlihatkan bungkus plastik dan bungkus kardus 'biskuit bencana' itu.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sebenarnya, lanjut Tefa, kasus ini sudah terendus sejak tanggal 25 Maret 2009. Namun pihak terkait yang paling bertanggung jawab terhadap penyaluran biskuit ini berupaya 'menyembunyikan' diri dari pers. Ia memaparkan, pada tanggal 25 Maret 2009, dua murid yaitu Adrianus Naisau nyaris menelan pisau silet yang terselip di antara beberapa lempeng biskuit dan Stefanus Neno Naisau, nyaris menelan dua batang jarum pentul dalam biskuit itu.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Berikutnya, tanggal 26 Maret 2009, dua murid perempuan, yaitu Dorce Nabu dan Irene Naihelly nyaris menelan pisau silet. Tanggal 27 Maret 2009, Dorce Nabu, nyaris kembali menjadi korban karena dalam bungkus biskuitnya terselip beberapa anakan hecter (staples). <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Lalu pada tanggal 28 Maret 2009, kami para guru menggelar rapat. Dalam rapat disepakati biskuit gratis itu ditarik dari para murid dan disimpan saja di sekolah. Kami minta WFP dan Care International datang untuk memberikan klarifikasi sesegera mungkin," tandas Tefa.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Penjelasan yang sama juga disampaikan Ny. Elisabet Kase, Kepala SDN Nesam, ketika ditemui terpisah kemarin. "Salah satu murid kami, atas nama Januarius Klau, nyaris menjadi korban. Di antara lempengan biskuitnya terselip sepotong silet. Kami jadi trauma. Karena itu saya sudah minta kepada guru-guru agar biskuit gratis yang sudah telanjur dibagikan, ditarik kembali dan disimpan di sekolah. Apalagi saya dengar banyak sekolah juga mengalami kasus serupa," jelas Ny. Kase.<br /></div><div style="text-align: justify;">Diperoleh informasi, ada delapan sekolah yang sudah melaporkan kasus 'biskuit bencana' tersebut kepada polisi. Yaitu SDK Kiupukan 1, SDN Nispukan, SDN Peutana, SDN Bisain, SDN Sipi, SDN Ekafalo dan SDN Besnaen dan SDN Nesam. Namun dalam pekan pertama April 2009, jumlah kasus `biskuit bencana' ini sudah semakin membengkak. Sebelumnya kasus ini hanya menimpa sekolah di Kecamatan Insana. Namun kini juga menyebar di Kecamatan Insana Utara, Kecamatan Noemuti, Kecamatan Miomaffo Barat dan Miomaffo Timur.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Reaksi dan kecurigaan pun dialamatkan kepada UN-WFP dan Care International serta kepada PT. Tiga Pilar Sejati, pabrik yang memproduksi biskuit gratis tersebut. Apakah ada misi terselubung untuk mencelakakan balita dan anak-anak di NTT? Lalu apa tujuannya mencelakakan generasi penerus bangsa itu melalui makanan yang mengandung benda-benda asing yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa mereka? <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Adakah pihak asing yang ikut bermain dalam kasus biskuit bencana itu? Adakah ini terkait dengan sabotase ekonomi atau bahkan mungkin juga sabotase politik?<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Diakui memang sekarang masyarakat sangat resah dan cemas dengan bantuan biskuit `bencana' tersebut. Namun pertanyaan-pertanyaan yang mencurigakan itu belum juga terjawab hingga sekarang. Pertanyaan itu ibarat teka-teki yang rumit sekaligus misterius sampai sekarang. Ada apa sebenarnya? Kita memang sepakat UN-WFP telah membuat program yang hebat. Namun UN-WFP mesti menerima kenyataan bahwa aksi program itu di lapangan sangat buruk, jika memang kita tidak mau menyebutnya dengan istilah gagal total.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Awalnya anak-anak di sekolah telah menganggap UN-WFP, Care International maupun PT. Tiga Pilar Sejati sebagai `Sinterklas' yang akan mengisi hari-hari penuh canda mereka di sekolah. Biskuit gratis itu telah membuat mata murid-murid di sekolah berbinar-binar menunggu dengan sabar agar guru membagikannya kepada mereka saat jam istirahat sekolah. Dan biskuit gratis itu telah menjadi pahlawan, yang membangunkan mereka pagi-pagi benar untuk segera berangkat ke sekolah. Meski mereka tidak punya uang jajan dari orangtua, di sekolah telah menunggu `Sinterklas' yang siap membagi-bagikan biskuit itu. (bersambung)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sumber: Pos Kupang 15 April 2009 halaman 1<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-40254208236627207072009-04-19T09:02:00.000-07:002009-04-19T09:04:32.750-07:00WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (3)<span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Oleh Julianus Akoit</span><br /><br /><div style="text-align: justify;">KETIKA kasus biskuit ini berhasil diungkap pers, banyak pihak sontak marah bahkan meradang. Para tokoh masyarakat, tokoh adat bahkan tokoh agama turut `meramaikan' perang opini tentang kasus biskuit bantuan UN-WFP itu. Opini itu pun macam-macam. Ada yang menyayangkan kenapa UN-WFP yang konon merupakan salah satu lembaga yang dipercaya PBB memberikan bantuan kemanusiaan untuk perbaikan gizi anak dan ibu hamil di hampir seluruh belahan dunia ini bisa kecolongan dan terkesan bekerja tidak profesional.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ada lagi yang sampai menuding jangan-jangan UN-WFP punya 'misi terselubung' untuk mencelakakan para ibu hamil dan anak-anak di NTT. Bahkan ada yang menuding orang-orang yang bekerja di UN-WFP hanya tahu `bikin proyek' tapi tidak punya hati nurani. Hanya ingin kejar profit, bukan untuk tujuan kemanusiaan.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Kenapa harus beri biskuit, yang nota bene makanan pabrik? Asal tahu saja, makanan pabrik minus vitamin dan mineral. Kalau pun ada, cuma sekian persen saja. Jadi kampanye UN-WFP bahwa biskuit berfortifikasi itu mengandung vitamin dan mineral, adalah cerita bohong! Apalagi ditemukan ribuan bungkus biskuit mengandung benda-benda asing berbahaya seperti beling, pisau silet, jarum pentul, patahan jarum suntik, anak hekter, kerikil dan pasir dalam lempengan biskuit, adalah bukti nyata bahwa UN-WFP telah bekerja tidak profesional. Itu semua menjadi bukti UN-WFP telah menggandeng PT. Tiga Pilar Sejati, sebagai pabrik produsen biskuit yang jelek dan tidak memenuhi standar kesehatan," jelas Pastor Paroki Kiupukan, Romo Yos Nahak, Pr.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ia justru menantang UN-WFP memberikan bantuan makanan untuk perbaikan gizi balita dan ibu hamil dengan memanfaatkan sumber pangan lokal yang melimpah ruah. Misalnya kacang-kacangan, umbi-umbian, jagung dan beras dari padi varietas lokal, dan sebagainya. "Sekarang pemerintah sedang giat-giatnya kampanye pangan lokal. Mestinya UN-WFP melihat itu sebagai peluang. Saya juga banyak orang curiga dan heran, kenapa yang diberikan makanan pabrik alias makanan sampah? Ada maksud apa? Mau bikin proyek??" tanya Romo Yos Nahak. Entahlah, sampai sekarang kita tidak tahu. Yang bisa menjawab cuma UN-WFP sendiri.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Baiklah kita tinggalkan opini di atas dan menengok laporan The UN's Standing Committee on Nutrition (SCN) bahwa gizi buruk adalah penyumbang terbesar bagi timbulnya berbagai penyakit pada anak-anak dan ibu hamil. Bahkan Komisi PBB untuk Urusan Gizi ini melaporkan kekurangan gizi pada anak usia dini dan anak pra sekolah, memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan fisik dan mental yang lambat. Komisi ini juga melaporkan sebanyak 147 juta anak pra sekolah di negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan fisik dan mental yang sangat rendah.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Penghasilan keluarga yang rendah (keluarga miskin) juga memberi kontribusi bagi ibu hamil yang melahirkan anak dengan berat badan sangat rendah. Padahal anak usia dini dan usia pra sekolah adalah saat paling tepat dalam hidupnya yang dilukiskan sebagai "window of opportunity", sebagai suatu kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang secara baik dan maksimal. Suatu kesempatan dan peluang untuk `membentuk' anak menjadi manusia yang sehat secara fisik dan mental. Suatu periode yang sangat kritis dan penting.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Laporan ini menjadi rujukan penting bagi UN-WFP untuk membuat WFP's School Feeding Program bagi anak sekolah dan program rehabilitasi nutrisi bagi balita dan ibu hamil. Dan itu dilakukan di beberapa negara berkembang di Asia, Afrika dan beberapa negara konflik di Eropa, Amerika Latin dan negara Timur Tengah.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Lalu bagaimana dengan bantuan makanan yang diberikan UN-WFP? Apakah memenuhi persyaratan kesehatan? Apa saja produk makanan yang disiapkan? Selama ini UN-WFP memiliki 5 produk makanan bergizi yang didistribusikan kepada masyarakat untuk memperbaiki gizi balita dan anak serta ibu hamil. Pertama, Fortified Blended Foods (FBFs). Makanan jenis ini mengandung sereal dan susu, kedelai, kacang-kacangan, serta vitamin dan mineral, kadang juga diformulasi khusus dengan kandungan minyak sayur dan susu bubuk. Kedua, Corn Soya Blend (CSB), mengandung suplemen protein. Makanan ini untuk mengatasi kekurangan gizi dan sering diberikan kepada anak dan ibu hamil.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ada juga produk makanan siap saji (Ready to Use Foods/RUFs). Produk makanan ini biasanya diberikan kepada anak usia 6 bulan sampai 59 bulan, yang mengalami gizi buruk kekurangan pangan atau kelaparan. Makanan ini umumnya terdiri dari komposisi minyak sayur, susu skim kering, gandum dan gula.<br /></div><div style="text-align: justify;">Ketiga, ada lagi makanan berupa biskuit berenergi tinggi (High Energy Biscuits/HEBs). Biskuit ini mengandung gandum dengan kompoisi 450 kcal dengan minimal 10 gram dan maksimum 15 gram protein per 100 gram, dilengkapi vitamin dan mineral. Biskuit ini untuk perbaikan gizi. Keempat, ada juga produk yang disebut Micronutrient Powder. Makanan ini lebih populer dengan istilah "Sprinkles". Micronutrient Bubuk atau "Sprinkles" mengandung 16 vitamin dan mineral yang diperuntukkan bagi satu orang dalam asupan gizi hariannya. Ia dimasak sebentar sehingga menjadi bubur siap saji. Biasanya diberikan kepada anak-anak.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dan masih banyak produk makanan bergizi yang menjadi `proyek' UN-WFP. Kita berharap makanan bergizi versi UN-WFP itu memang makanan yang layak, sehat dan bergizi, bukan makanan sampah, sebagaimana yang mereka kampanyekan selama ini. Memang kita tidak bisa melakukan intervensi melalui sebuah badan independent untuk menyelidiki dan membuktikan apakah produk makanan dari UN-WFP itu layak konsumsi bagi anak dan ibu hamil, terlebih apakah aman?<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Di Indonesia, kita punya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Tapi sering lembaga ini hanya berperan sebatas `pemadam kebakaran' alias sudah terjadi kasus baru melakukan penelitian terhadap obat atau makanan yang dicurigai. Ketika sudah ada korban baru petugas BPOM turun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan. Tindakan preventif nyaris tidak ada. Kalaupun ada jarang, dan biasanya dilakukan dengan semangat `panas-panas tahi ayam'. (bersambung)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sumber: Pos Kupang 16 April 2009 halaman 1<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-51623915124893723802009-04-19T09:01:00.000-07:002009-04-19T09:02:30.681-07:00WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (4)<span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Oleh Julianus Akoit</span><br /><br /><div style="text-align: justify;">HARI Selasa, 14 April 2009 pagi, Marselinus Kabosu, Kepala SD Negeri Naiola di Kecamatan Bikomi Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), memerintahkan dua guru setempat, Ny. Delfriana Oetpah dan Izaac Liem, untuk mengeluarkan dua kardus berisi 180 bungkus biskuit gratis bantuan dari WFP. Biskuit dibagi-bagikan kepada para murid kelas III - VI. Masing-masing mendapatkan satu bungkus.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Para murid pun menerima biskuit itu tanpa rasa curiga sedikit pun akan bahaya yang mengancam hidup mereka. Mereka menikmatinya dengan lahap sembari bercanda dengan teman sebangkunya. Mereka menikmati `makanan sampah' itu dalam kelas, diawasi dua guru tadi bersama kepala sekolahnya.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Apakah bapak sudah terima surat perintah dari Kadis Dikpora TTU, Drs. David Juandi, agar biskuit bantuan UN-WFP itu jangan dibagikan kepada para murid? "Sampai hari ini, tidak ada surat itu. Juga tidak ada petugas dari Care International yang datang membawa surat larangan," jawabnya keheranan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sejenak ia terkejut dan ketakutan ketika wartawan menjelaskan tentang perihal `makanan sampah' yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa murid-murid. Tentang temuan benda-benda asing seperti potongan pisau silet, jarum pentul, patahan jarum suntik, anakan hekter dalam biskuit bantuan UN-WPF di Kabupaten Belu dan Kabupaten TTU, selama dua pekan terakhir.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Sudah empat kali kami membagikan biskuit ini, tapi belum ada murid yang melaporkan kepada guru bahwa ada benda-benda asing yang berbahaya itu," tandas Kabosu berkali-kali ketika Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten TTU, Pater Marianus Kobatoyo, SVD, menanyakan kenapa biskuit itu dibagikan lagi kepada murid padahal sudah ada larangan dari pemerintah dan pihak UN-WFP sendiri. Setelah Pater Kobatoyo menjelaskan tentang sejumlah fakta `biskuit bencana' itu, Kabosu berjanji tidak akan membagikan lagi kepada murid- muridnya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sebenarnya kasus biskuit bencana ini sudah terjadi bulan November 2008 di Kabupaten Belu. Beberapa murid sekolah dasar di Belu nyaris menelan benda-benda asing berbahaya itu ketika mengonsumsinya di sekolah. Namun ternyata Care International dan UN-WFP `menyembunyikan' rapat-rapat kasus itu agar tidak diketahui publik maupun pers. Kalaupun informasi buruk tentang biskuit berbahaya itu sampai kepada orangtua, Care International dengan sangat lihai merekayasa informasi tadi, seakan-akan itu kesalahan teknis biasa. Bahkan Care International terus berkampanye dari sekolah ke sekolah bahwa biskuit gratis bantuan UN-WFP sangat aman dan tidak berbahaya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Perilaku dua lembaga bantuan internasional ini patut disesalkan dan dikutuk oleh semua orang. Hanya karena kepentingan proyek, kesehatan dan jiwa anak-anak hendak digadaikan secara murah dengan cara paling sadis. Kenapa memaksakan `biskuit bencana' itu terus dibagikan ke sekolah? Ada maksud apa? <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Apakah hendak mencelakakan para balita, anak sekolah dan ibu hamil? Kenapa biskuit bencana itu hanya ada di Provinsi NTT, sedangkan di Provinsi NTB tidak ada kasus semacam ini? Apakah itu memang sudah dirancang dengan sengaja?<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dari aspek hukum, kasus ini sebenarnya bisa digiring ke wilayah hukum pidana. Bahkan bukan hanya bisa, tetapi sebenarnya wajib bagi aparat penegak hukum untuk memproses kasus `biskuit bencana' tersebut. Ada unsur penguat tindakan pidana, yaitu dengan sengaja, direncanakan secara sistematis mengedarkan makanan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa anak-anak.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">UN-WFP dan Care International telah dengan sengaja melanggar ketentuan Child Rights and Child Protection (CRCP). Dalam CRCP, ditegaskan ada sejumlah kriteria sangat ketat bagi lembaga bantuan asing/NGO yang harus dipatuhi ketika memberikan bantuan makanan bagi balita dan anak-anak. Salah satu ketentuan CRCP, yakni bantuan makanan atau barang kepada anak-anak hendaknya mengutamakan kesehatan dan tidak mencelakakan jiwa anak-anak. Jika terbukti UN-WFP dan Care International sengaja mengedarkan `biskuit bencana' itu untuk tujuan tidak baik, publik bisa mengadukan kedua lembaga ini ke Mahkamah Internasional dengan tuduhan melakukan genosida, kejahatan massal untuk melenyapkan suatu species manusia atau etnis tertentu, yakni anak-anak.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Di Indonesia, Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, menegaskan tentang larangan mengedarkan makanan atau minuman atau barang yang membahayakan kesehatan. Dalam pasal 21 ayat (3), diatur bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan, sebagaimana diatur dalam ayat (1), dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran dan disita atau dimusnahkan sesuai ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Jika terbukti UN-WFP dan Care International sengaja melanggar ketentuan pasal 21 ayat (1), (2) dan (3), maka kedua lembaga ini bisa dijerat dengan pasal 80 ayat 4 butir (a) UU Nomor 23 Tahun 1992. Dalam pasal ini ditegaskan bahwa barang siapa mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan, dipidana dengan penjara 15 tahun dan denda Rp 300 juta.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Lalu bagaimana dengan produsen `biskuit bencana', PT. Tiga Pilar Sejati? Pabrik biskuit ini juga bisa dijerat dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pemilik pabrik biskuit ini berstatus sebagai pelaku usaha harus menjamin mutu barang atau bahan pangan (biskuit), sebagaimana diatur dalam pasal 7. Bahkan dalam pasal 8 ayat 3, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak atau bahan pangan yang rusak.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dalam pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, para konsumen (anak-anak dan ibu hamil) berhak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengonsumsi barang atau bahan pangan atau jasa. Konsumen juga berhak atas informasi yang jelas, jujur mengenai kondisi dan jumlah barang (baca: biskuit). Juga konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau pengganti barang yang rusak.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Lalu bagaimana dengan penyidik Polres TTU? Sampai hari ini, kabar tentang penyelidikan kasus `biskuit bencana' ini seakan berjalan di tempat. Polisi pun seakan `takut' memeriksa pejabat-pejabat dari UN-WFP dan Care International. Bahkan Direktur PT. Tiga Pilar Sejati belum dipanggil untuk diperiksa. "Mereka belum dipanggil untuk diperiksa," kata Kapolres TTU, AKBP Adi Wibowo, S.H, ketika dihubungi melalui Kasatreskrim Polres TTU, Iptu Eko Mei Prabocahyono, Kamis (16/4/2009) petang. Eko tidak merinci alasan pihaknya enggan memeriksa pihak-pihak terkait yang dianggap bertanggung jawab atas peredaran biskuit bencana tersebut. Apakah Pak Polisi tunggu anaknya sendiri jadi korban menelan jarum pentul karena makan biskuit itu, baru melakukan proses hukum? Silakan jawab sendiri. (habis) <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sumber: <a href="http://www.pos-kupang.com">Pos Kupang</a> 17 April 2009 halaman 1 <br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-29689501812122238972009-04-19T08:22:00.000-07:002009-04-19T08:24:38.431-07:0085 Balita Gizi Buruk di Pusat Kota Kupang<div style="text-align: justify;">KUPANG, PK--Sebanyak 85 bayi di bawah usia lima tahun (balita) di Kecamatan Kelapa Lima mengalami gizi buruk. Jumlah ini direkap dari 22 posyandu yang tersebar di kelurahan di Kecamatan Kelapa Lima.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kepala Puskesmas Pasir Panjang, dr. Ivyane Luanlaka, menyampaikan hal ini kepada Pos Kupang di ruang kerjanya, Rabu (1/4/2009). Ia mengatakan, jumlah penderita gizi buruk ini diperoleh dari posyandu di kelurahan dari Januari hingga akhir Februari 2009. Indikator balita penderita gizi buruk, jelas Luanlaka, berat badan balita dibagi usia dan berat badan dibagi tinggi badan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Luanlaka mengatakan, penderita gizi buruk yang telah mendapat penanganan khusus berupa pemberian makanan tambahan (PMT) satu orang. Sedangkan 14 penderita lainnya hanya diberikan bantuan susu satu plus dan dua plus. <br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Untuk penanganan penderita gizi buruk ini, demikian Luanlaka, puskesmas tidak memiliki dana. Puskesmas biasanya dapat bantuan dari Dinas Kesehatan Kota Kupang, seperti susu atau biskuit untuk dibagikan kepada penderita gizi buruk.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Menurut Luanlaka, masalah gizi buruk umumnya berasal dari keluarga yang orangtuanya memiliki pendapatan ekonomi yang rendah. Pendapatan yang kurang ini, lanjutnya, berdampak terhadap masalah ketahanan pangan yang tidak kuat di dalam rumah tangga.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Ada yang sudah dikasih bantuan tiga kali. Namun penderita gizi buruk tidak berubah. Karena penderita hanya bisa konsumsi makanan yang baik saat ada bantuan. Tetapi ketika bantuan tidak ada, makanan tidak diperhatikan. Akibatnya, berat badan anak kembali drop," jelas Luanlaka.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pengalaman lainnya, demikian Luanlaka, kalau dikasih bantuan seperti susu atau biskuit kepada penderita, yang mengomsumsinya tidak hanya penderita, juga anak lain di dalam rumah. "Jadi, masalah gizi buruk ini diibaratkan benang kusut. tidak pernah habis," ujarnya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ditanya mengenai tempat khusus atau semacam panti rehabilitasi untuk menangani penderita gizi buruk, Luanlaka mengatakan, di puskesmas tersebut belum ada tempat khusus untuk rehabilitasi penderita gizi buruk, kecuali ruang rawat inap biasa. Namun biasanya, kalau ada penderita gizi buruk yang datang berobat di puskesmas, akan ditangani maksimal. Bila penderita yang datang kondisinya mengkhawatir, langsung dirujuk ke rumah sakit. (oma) <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sumber: <a href="http://www.pos-kupang.com">Pos Kupang</a> 2 April 2009 halaman 4<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-73481499324860318132009-04-19T08:20:00.000-07:002009-04-19T08:27:32.631-07:00Harapan Hidup Orang NTT di Bawah Rata-rata Nasional<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigz8A7T35xpE3jQ2XO79Wat3orCxxcuR9GZXVE-Qr4xC_trLK8erJ_qoL0D420zhqHGh6R48hLVNpUdg_Ag8i-_o0ozX8fP2ot8Jp2Gtf-0J_1lgK3_jGI6709DhGdwSjeTOzYG-AWd94/s1600-h/Esthon_Foenay.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 287px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigz8A7T35xpE3jQ2XO79Wat3orCxxcuR9GZXVE-Qr4xC_trLK8erJ_qoL0D420zhqHGh6R48hLVNpUdg_Ag8i-_o0ozX8fP2ot8Jp2Gtf-0J_1lgK3_jGI6709DhGdwSjeTOzYG-AWd94/s320/Esthon_Foenay.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5326424478882775314" /></a><div style="text-align: justify;">KUPANG, PK --Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Ir. Esthon L Foenay, M. Si, mengatakan, NTT masih mengalami kekurangan tenaga kesehatan. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya permasalahan kesehatan di daerah ini, seperti angka harapan hidup yang masih di bawah rata-rata nasional, angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi, gizi buruk dan gizi kurang. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Selain itu, rendahnya pemahaman masyarakat akan hidup sehat menambah buruk kondisi kesehatan di daerah ini. Untuk itu, kehadiran Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Surabaya Multi Kelas Kupang diharapkan dapat menjadi lokomotif kesehatan di daerah ini.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Wagub Esthon Foenay mengatakan hal ini ketika memberikan kuliah umum tentang Pembangunan Daerah Propinsi NTT di kampus STIKES Surabaya Multi Kelas Kupang, Jumat (3/4/2009). <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Hadir pada kesempatan itu, Owner dan Ketua STIKES Surabaya, Drs. Marzuki Roffi, MBA, Ketua Pelaksana Harian STIKES Surabaya Multi Kelas Kupang, Rudizon Doko Patty, SE, para ketua dan wakil ketua program studi (prodi), para dosen, karyawan serta ratusan mahasiswa STIKES Surabaya.<br /></div><div style="text-align: justify;">Menurut Foenay, indeks pembangunan manusia di NTT dilihat dari tiga aspek, yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Di bidang pendidikan, katanya, angka buta huruf masih mencapai 300 ribu orang tahun 2009 dan rata-rata orang NTT masih hanya tamat SD. Di bidang kesehatan, katanya, uisa harapan hidup mencapai 65 tahun, sedangkan secara nasional 66,2 tahun. Angka kematian ibu, 306/100.000 kelahiran, sedangkan secara nasional mencapai 248/100.000. Angka kematian bayi mencapai 57/1000 kelahiran dan secara nasional 34/1000 kelahiran. <br /></div><div style="text-align: justify;">Menurutnya, angka itu menunjukkan setiap 100.000 ibu yang melahirkan, tercatat 306 meninggal dunia, demikian juga terdapat 57 orang anak hidup kurang dari satu jam dari 1000 orang anak yang lahir. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Angka-angka tersebut masih jauh dari rata-rata nasional yakini 34 orang bayi meninggal dalam 1000 kelahiran dan 248 ibu meninggalkan dari 100.000 ibu setelah melahirkan.<br /></div><div style="text-align: justify;">Lebih lanjut dijelaskan, indeks gizi buruk di NTT mencapai 7,1 persen, sedangkan secara nasional 8,8 persen, gizi kurang 30,70 persen sedangkan secara nasional 19,2 persen dan gizi baik mencapai 61,60 persen sedangkan secara nasional 69,15 persen. <br /></div><div style="text-align: justify;">Meningkatnya angka kematian ibu dan bayi disebabkan oleh faktor kesehatan embrio ibu dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai, sebagai akibat dari rendahnya pemahaman tentang hidup sehat oleh masyarakat. Sedangkan gizi buruk lebih banyak disebabkan pemilihan menu gizi oleh masyarakat yang sangat kurang. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Orang kita sebenarnya penghasil jagung dan ternak, tetapi gengsi makan jagung, padahal jagung adalah makanan bergizi. Selain itu, NTT juga kaya ternak, tetapi tidak dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga, melainkan hanya untuk dijual. Ke depan pemerintah akan membuat pemetaan berdasarkan kondisi yang ada, seperti Flores, Lembata dan Alor untuk tanaman perkembunan, sedangkan Timor dan Sumba untuk peternakan. Kita kurang mengonsumsi menu lokal," katanya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dikatakannya, salah satu faktor suatu daerah berkembang atau tidak sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan kesehatan. Kehadiran lembaga STIKES sebagai lokomotif pembangunan pendidikan dan kesehatan di NTT sangat penting dan menjawab kebutuhan masyarakat daerah ini. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dikatakannya, kondisi geografis NTT yang terdiri dari pulau- pulau, baik yang bernama maupun belum bernama, yang dihuni maupun belum dihuni, sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan di bidang kesehatan maupun pendidikan. (nia)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Harus Pulang ke Desa</span><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">SEMENTARA owner dan Ketua STIKES Surabaya, Drs. Marzuki Roffi, MBA, mengatakan, kehadiran STIKES Surabaya Multi Kelas Kupang menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat NTT di bidang kesehatan. STIKES Surabaya arah dan tujuannya adalah membangun desa, sehingga lulusan STIKES Surabaya harus pulang ke desa masing-masing untuk mulai memberikan warna dan pemahaman kepada masyarakat membangun kesehatan minimal, mulai dari diri dan keluarga serta lingkungan sekitar.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dikatakannya, selain memecahkan masalah pendidikan, kehadiran lembaga ini adalah memecahkan masalah kesehatan di daerah ini. Karena pembangunan di bidang apa saja harus dimulai dari pendidikan dan kesehatan, dan tanpa pembangunan pendidikan, semua pembangunan tidak akan terarah. (nia)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sumber: <a href="http://www.pos-kupang.com/">Pos Kupang</a> 4 April 2009 halaman 10<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-5988452207351909332009-04-19T08:16:00.000-07:002009-04-19T08:19:27.557-07:00Biskuit Bermasalah di TTU, Care International Tak Peduli<div style="text-align: justify;">KEFAMENANU, PK -- Kendati The United Nations World Food Programme (UN-WFP) di Jakarta telah melarang agar pendistribusian dan konsumsi biskuit gratis dihentikan sementara, namun para petugas lapangan Care International di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) tetap melakukan sosialisasi. Petugas lapangan itu malah mendesak sekolah agar menyukseskan WFP's School Feeding Program.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Amandus Taena, salah satu guru di SDK Oelami, membeberkan soal ini ketika ditemui, Sabtu (4/4/2009) siang. "Petugas Care International datang di sekolah dan melakukan sosialisasi. Mereka desak guru dan murid agar tidak takut makan biskuit itu. Padahal kami dengar, pemerintah dan WFP sudah larang jangan makan," kata Taena.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Petugas lapangan itu, kata Taena, meminta guru untuk mendampingi murid saat pembagian biskuit dan saat murid mengonsumsi biskuit itu. "Jadi petugas bilang, saat murid makan biskuit, harus didampingi para guru. Dan kalau makan, harus di dalam kelas, tidak boleh diluar kelas. Biar bisa diawasi," kata Taena mengutip penjelasan petugas lapangan Care International.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Taena berpendapat, sosialisasi itu baik, namun tidak menjamin keselamatan murid dari kecelakaan saat menelan benda-benda asing seperti jarum pentul, anakan hekter, pisau silet dan lain sebagainya. "Apakah nanti jatuh korban, Care International bertanggung jawab? Apakah sosialisasi itu adalah bentuk lain pemaksaan bahkan melawan dengan sengaja himbauan WFP dan pemerintah?" tanya Taena.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Penjelasan senada disampaikan beberapa guru di SDK Kuatnana 1 dan SDK Kuatnana 2, ketika ditemui wartawan kemarin siang. "Memang benar Pak! Ada petugas dari Care International datang bilang kepada kami supaya makan saja biskuit itu. Petugas Care International bilang dia siap dipanggil polisi dan siap menjelaskan kepada Bupati TTU. Dia bilang siap bertanggung jawab," kata salah seorang guru, dibenarkan rekan guru lainnya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kendati demikian, lanjut guru yang menolak namanya dikorankan itu, para guru di sekolah sepakat untuk menghentikan pemberian biskuit kepada murid-murid. "Misalnya, tiba-tiba ada yang telan jarum pentul, leher kami yang dicari oleh orangtua murid. Petugas Care International tentu aman-aman saja, tapi kami yang tanggung akibatnya," sahut salah seorang ibu guru dengan nada kesal.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, Ny. Sherly Ndoen, Bidan Desa di Polindes Fatusene, Miomaffo Timur, yang dihubungi terpisah kemarin petang, membenarkan bahwa pihaknya juga mendapat bantuan biskuit dari WFP melalui Care International. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Orang Care International datang bawa biskuit puluhan dos. Mereka bilang makan saja, tidak apa-apa. Dan memang belum ada ditemukan benda -benda asing dalam biskuit itu. Mungkin ada tapi tidak dilaporkan orang tua balita," tukasnya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dia mengakui sempat was-was ketika tahu ada kasus biskuit di beberapa sekolah. Karena itu, lanjutnya, ia akan waspada dan menghentikan sementara. "Nanti kalau pemerintah bilang lanjut bagi dan boleh makan, baru saya bagikan kepada balita di Posyandu," kata Ny. Ndoen.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sudah Dapat Laporan<br /></div><div style="text-align: justify;">Kadis Kesehatan TTU, dr. Michael Suri, M.M, yang dimintai tanggapannya soal kasus biskuit 'bencana' tersebut, mengatakan, pihaknya sudah mendapat laporan dari lapangan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Tapi harus ada tim investigasi gabungan dari BPOM, Care International, UN-WFP, dan instansi terkait lainnya. Sebab bantuan dari LSM itu memang sangat strategis untuk pemberantasan gizi buruk," jelasnya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ditambahkannya, laporan tim investigasi gabungan itu menjadi masukan bagi pihaknya untuk memutuskan apakah program bantuan itu diteruskan atau dihentikan sama sekali. "Saya tunggu orang-orang dari WFP dan Care International untuk membentuk tim gabungan itu dan sama-sama melacak di lapangan. Jika WFP dan Care International cuma membangun asumsi bahwa biskuit itu aman, saya kira itu bukan tindakan yang profesional dari sebuah LSM bertaraf Internasional," tandasnya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Mitra Salima Suryono, Public Information Officer UN-WFP, yang dimintai tangapannya melalui telepon genggamnya kemarin malam, mengatakan Care International sudah menghentikan distribusi biskuit tersebut. Dan tidak ada aktivitas apa-apa di lapangan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Yang ada cuma sisa biskuit di sekolah dan posyandu. Itu pun sudah dilarang untuk jangan dikonsumsi dulu, sebelum ada investigasi lanjutan," tandas Mitra. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sementara Willem Leang, Project Manager NRP pada Kantor Care International, yang dihubungi melalui telepon genggamnya, kemarin malam, tidak memberikan tanggapan apa-apa. (ade)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sumber: Pos Kupang 5 April 2009 halaman 1<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-49733642054147700712009-04-19T08:13:00.000-07:002009-04-19T08:16:51.542-07:00Posyandu Anggrek Tangani Gizi Buruk<div style="text-align: justify;">KUPANG, PK -- Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Anggrek di Kelurahan Naikolan, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, saat ini menangani tiga kasus gizi buruk dan tujuh kasus gizi kurang.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Anak yang kurang gizi terdeteksi karena berat badan mereka tidak bertambah, malah menurun dan setelah dilakukan deteksi dengan cara melihat kulit, apakah ada keriput atau tidak, ternyata kulit mereka berkeriput," kata Kormayane Ayal, kader Posyandu Anggrek, saat ditemui di RT 12/RW 05 Kelurahan Naikolan, Sabtu (4/4/2009).<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kormayane menjelaskan, tiga kasus gizi buruk tersebut saat ini sudah mendapat bantuan dari Pertamina untuk memperbaiki gizi mereka selama tiga bulan.<br /></div><div style="text-align: justify;">Dari hasil sementara ini, demikian Kormayane, satu orang anak yang mengalami gizi buruk keadaannya sudah membaik dibandingkan dengan beberapa waktu lalu. Bantuan dari Pertamina bukan saja untuk penderita gizi buruk, juga bagi yang menderita gizi kurang agar status gizi mereka tidak turun menjadi gizi buruk.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Untuk posyandu, lanjutnya, ada bantuan dari pemerintah kota dengan memberikan bantuan berupa kacang hijau sebanyak lima kiliogram, gula tiga kilogram serta susu bubuk 10 sachet kecil. Untuk merawat penderita gizi buruk dan gizi kurang, menurut ketua RT 12 ini, ada juga bantuan dari puskesmas yang dikelola oleh posyandu berupa makanan tambahan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kormayane menjelaskan, meskipun jumlah anak yang biasa mendatangi posyandu cukup banyak, tetapi ada juga yang tidak datang untuk timbang berat badan setiap bulannya sekitar 10 orang.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ia mengatakan, sebagai kader, mereka selalu memotivasi orang tua dari anak-anak untuk bisa membawa anaknya ke posyandu, terutama untuk anak yang gizi kurang dan gizi buruk.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Diakuinya, salah satu kendala yang dialami posyandu adalah kurangnya kader posyandu yang aktif karena dari lima orang kader, yang datang hanya dua atau tiga orang saja. Akibatnya, pelayanan terhadap masyarakat menjadi terhambat. (ira)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sumber: P<a href="http://www.pos-kupang.com">os Kupang </a>6 April 2009 halaman 3 <br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-23111345536239494462009-03-06T06:03:00.000-08:002009-03-06T06:07:23.713-08:00Black Campaign Beras, Perlukah?<span class="Apple-style-span" style="color: rgb(51, 51, 255);"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Oleh Leta Rafael Levis</span></span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">TANGGAL</span> 5 Februari 2009, saya diundang manajemen<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><a href="http://www.pos-kupang.com"> Pos Kupang </a></span>mengikuti diskusi terbatas tentang pangan lokal dan kedaulatan pangan di NTT. Sebagaimana diwartakan harian ini tanggal 6 Februari 2009, bahwa hal yang menarik dari diskusi ini adalah kehadiran serta ungkapan pengalaman tiga orang petani yaitu Petrus Pebe dari Desa Naimata, Marten Taklal dan Nahor Taklal dari Desa Oeteta. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Satu nada dasar yang sama diungkapkan ketiganya, yaitu pangan lokal merupakan kebanggaan bagi mereka dan mereka tidak bisa berusahatani dengan baik kalau tidak ada pendampingan secara kontinyu, sehingga mereka menyarankan agar peranan penyuluh baik penyuluh PNS, penyuluh swakarsa maupun penyuluh swasta terus digalakkan (ketiga kelompok penyuluh ini sesuai UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan). <br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Hal lain yang menarik dari diskusi tersebut adalah kecerdasan teman sejawat, Ir. Zet Malelak dan Ir. Zainal Arifin, yang mampu mengembangkan potensi lokal yang sejak lama dianggap tidak mungkin oleh banyak pihak, yaitu menyulap daerah kering menjadi daerah penghasil tanaman pangan yang handal masing-masing di Oeteta dan Baumata. Ketika banyak orang meragukan dan melupakan potensi pangan lokal di NTT sebagai pakan utama masyarakat, keduanya justru membuktikan bahwa pangan lokal di NTT dapat menjadi 'pengganti beras raskin'.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dalam diskusi tersebut saya mengingatkan bahwa persoalan yang krusial dihadapi masyarakat saat ini adalah bukan pada bisa atau tidaknya pemerintah dan masyarakat menanam dan mengonsumsi kembali pangan lokal sebagai pengganti beras. Persoalan utamanya adalah terlanjur terbentuknya persepsi dan perilaku masyarakat bahwa beras adalah makanan utama sehingga hampir semua masyarakat NTT menggantungkan perutnya pada beras. Persoalan akan menjadi semakin sulit dipecahkan ketika kita berusaha mengubah persepsi dan perilaku masyarakat dari 'beras oriented' kepada 'ujakang oriented' (orientasi pada ubi jagung dan kacang-kacangan). Di sinilah diskusi tersebut menjadi semakin hangat ketika saya mengajukan suatu pemikiran dalam bentuk pertanyaan yang agak 'revolusioner' yaitu bisakah dilakukan 'black campaign' terhadap beras agar mengendurkan ketergantungan masyarakat kita kepada beras?<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">FREN's Spirit<br /></div><div style="text-align: justify;">Tahun 2002, suatu hasil penelitian tentang evaluasi perilaku masyarakat penerima dana IDT yang dilakukan bersama Badan Litbangda NTT dan Kelompok Penelitian dan Pengembangan Sosial Ejonomi Pedesaan (KPPSEP) Kupang, menyarankan agar pemerintah harus berani secara perlahan menghentikan bantuan raskin. Beras 'raskin' tersebut selain kualitasnya diragukan, ada akibat jangka panjang yaitu petani menjadi malas menanam tanaman lokal seperti jagung, ubi dan kacang-kacangan. Selanjutnya, tanggal 7 April 2004, pikiran saya pernah dimuat di koran ini dengan judul ' Varieats Lokal Lebih Unggul'. Pikiran-pikiran lepas memang telah lama berkembang agar pemerintah kembali mengembangkan tanaman lokal karena NTT memiliki potensi tanamam lokal yang sangat tinggi. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Semua saran dan pendapat tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah saat itu. Pemerintah daerah masih keasyikan melaksanakan program pembangunan yang memiskinkan masyarakat terutama kebijakan 'top down' yang tidak memberikan ruang bagi petani untuk mengembangkan kembali tanaman lokal. Akhirnya terbentuklah mentalitas konsumptif dan instan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Nasihat bijak dari Raja Salomo, "Segala sesuatu ada waktunya". Keinginan serta pemikiran untuk mengembangkan pertanian khususnya potensi lokal menjadi program prioritas baru dapat terwujud setelah paket FREN memimpin provinsi ini. Sebagai seorang penulis, peneliti dan dosen bidang pertanian, saya berpikir bahwa kebijakan pemerintah saat ini terasa menyejukan hati semua orang yang berwatak 'desa oriented' dan 'people welfare oriented'. Kesejukan hati bagi banyak orang merupakan spirit yang baik untuk membangun daerah ini khususnya peningkatan produksi tanaman lokal sebagai upaya menciptakan kedaulatan pangan di level rumah tangga. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kita yakin bahwa jika para petani kembali menanam tanaman lokal dan pada suatu saat pemerintah menghentikan bantuan raskin maka kasus busung lapar mungkin tak terjadi lagi. Ini impian kita semua. Jika pemerintah memiliki impian dan keyakinan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat 'grass root', maka mewujudkan 'good governance' dengan mengembangkan potensi lokal adalah salah satu jawaban yang tepat. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Chen Zhan (2005) menulis tentang Solusi Kreatif Menuju Sukses menyimpulkan ada lima langkah agar usaha berhasil, yaitu 1) impian, 2) tujuan, 3) rencana, 4) tindakan nyata dan 5) keyakinan. Dalam RPMD NTT sudah tercantum secara secara jelas visi, misi (impian), tujuan dan rencana. Semoga semua rencana tersebut dapat diimplementasikan dalam pelaksanaan di lapangan. Kelemahan kita adalah tidak ada tindakan nyata di lapangan serta kita tidak memiliki keyakinan bahwa suatu saat nanti kita akan keluar dari lingkaran kemiskinan. Berpikir dan bertindak fokus adalah kunci keberhasilan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Black campaign beras?<br /></div><div style="text-align: justify;">Dalam dunia politik istilah 'black campaign' berarti melakukan kampanye negatif (baca: hitam) terhadap seseorang atau sekelompok orang yang tidak sehaluan politik. Tujuannya agar pendengar jangan memilih yang lain selain dirinya karena ia yakin orang lain banyak kekurangan sedangkan dirinya 'sempurna'. Kampanye seperti ini cenderung untuk menjelekkan sesama serta menjadi pemicu konflik di masyarakat.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sejalan dengan pemikiran di atas, gagasan untuk melakukan 'black campaign' terhadap beras memiliki makna yang agak sedikit berbeda yaitu berusaha untuk menyebarluaskan informasi tentang hal-hal yang 'kurang' dari beras tetapi bukan pada beras sebagai obyek (kecuali raskin) tetapi pada situasi eksternal yang mengancam kelangsungan perberasan di masa yang akan datang. Tujuan dari kampanye jenis ini adalah agar masyarakat khususnya petani jangan terlalu menggantungkan hidupnya pada makanan yang berasal dari beras - apalagi beras raskin -, masyarakat diarahkan untuk beralih ke makanan lokal. Kampanye ini jauh dari maksud agar kita tidak boleh makan nasi. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Mengapa ide ini harus didifusikan kepada banyak orang? Saat diskusi, tantangan pertama datang dari Ir. Oematan (Direktur Politani Kupang). Dia menyatakan bahwa kita tak mungkin melarang orang untuk makan nasi (beras) karena memang ada orang yang sejak kecil hanya makan nasi tak pernah sentuh jagung atau ubi. Ide kampanye hitam terhadap beras tidak dimaksudkan agar orang tidak boleh makan nasi. Ide ini muncul sebagai sumbang pikir bagi keberhasilan program penggalangan pangan lokal oleh pemerintah saat ini serta tanggapan bahwa produk lokal memang harus menjadi sandaran para petani di NTT karena beras akan memasuki masa sulit untuk 15 tahun ke depan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Adakah alasannya kampanye ini?Alasan pertama, hasil kajian IRRI (International Rice Research Institute), negara-negara di kawasan Asia termasuk Indonesia dalam kurun 10 tahun ke depan akan mengalami krisis pangan (khususnya beras) yang berkepanjangan dan disinyalir akan membahayakan kehidupan jutaan umat manusia di dunia. Alasannya, a) para petani umumnya dalam waktu tak lama lagi akan mengalami kekurangan air irigasi untuk beberapa kawasan Asia termasuk Yelloo River di Cina karena tidak mencapai lagi lautan pada musim kemarau. Bahkan pada tahun 2006, permukaan sungai Mekong turun sampai titik terendah. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Padahal jutaan petani kita tergantung pada suplai air irigasi dari sungai-sungai yang ada. b) Hasil penelitian terakhir tentang isu pemanasan global dunia akan berdampak sangat serius pada suplai beras. Produktivitas padi diperkirakan akan turun mencapai 10% pada setiap peningkatan 1 derajat Celsius pada malam hari. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Perubahan iklim pada daerah lainnya, seperti kekeringan dan menaiknya permukaan laut juga berakibat pada produksi beras. Hal ini merupakan peringatan serius. c) Hal yang terpenting bagi Indonesia adalah terjadinya degradasi kualitas sumber daya manusia (Petani) sebagai pelaku produksi. Industri perberasan tidak lagi menarik minat dan menghasilkan keuntungan karena para petani yang ada kini telah termakan usia dan mengalihkan anak-anaknya belajar di luar uasahataninya.<br /></div><div style="text-align: justify;">Akibat kekurangan air, pemanasan global dan menurunya SDM petani baik jumlah maupun kualitas akan mengurangi kemampuan Asia khususnua Indonesia untuk menghasikan beras yang dibutuhkan. Dalam waktu dekat dampaknya belum terasa akan tetapi untuk jangka panjang berdampak sangat serius karena akan secara nyata mengurangi kemampuan negara-negara Asia menghasilkan beras sebagai upaya mempertahankan Ketahanan Pangan Regional, Stabilitas Politik dan Pembangunan Ekonomi.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Alasan kedua, estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286.021 juta sehingga akan terjadi peningkatan permintaan konsumsi bahan pangan dan 30 tahun yang akan datang Indonesia membututuhkan tambahan ketersediaan pangan ± 1,35 kali lipat dari jumlah kebutuhan sekarang akibatnya terjadi kerisauan akan kerawanan pangan. Di lain pihak, sumber daya lahan dan hutan mengalami degredasi 2,5 - 2,8 juta ha/tahun sedangkan rehabilitasi hanya 400.000-500.000 ha/tahun, krisis lahan pertanian menurun rata-rata 141.000 ha/tahun dan sebagian sistem irigasi tidak berfungsi atau rusak.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan kedua pertimbangan di atas maka pemerintah Indonesia saat ini menggenjot program revitalisasi pertanian. Untuk maksud tersebut berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti terbitnya UU No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K dan beberapa kebijakan lain seperti a) mengembangkan tanaman lokal non beras, b) meningkatkan kualitas sumber daya petani, dan c) meningkatkan minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Alasan ketiga, saat ini terjadi kecenderungan perubahan pola makan bagi negara-negara di Asia Selatan seperti India, Pakistan, Sri Lanka serta beberapa negara di Afrika. Saat ini mereka sudah mulai mengonsumi beras yang sebelumnya mengonsumsi gandum. Perubahan perilaku konsumsi ini akan bertambah dari tahun ke tahun yang berakibat pada persaingan masyarakat dunia untuk memperoleh beras. Di lain pihak, produktivitas beras terus menurun. Tidaklah mustahil bahwa suatu saat nanti kita akan sulit memperoleh beras.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Alasan keempat, daerah persawahan di NTT secara perlahan mengalami penurunan produktivitas padi karena empat alasan utama, seperti 1) pengalihan fungsi lahan sawah untuk kepentingan pemukiman khususnya bangunan (kasus di Lembor, Satar Mese, Mbay dan daerah persawahan lin di NTT), 2) menurunnya debit air karena pemanasan global yang mulai mengancam sumber air irigasi di NTT, 3) ketiadaan tenaga kerja produktif yang ada di desa karena sebagian besar tenaga kerja produktif telah 'escape' melalui program TKI, dan 4) usaha persawahan hanya akan memberikan keuntungan bagi petani jika luas lahan yang dikelola minimal satu hektar. Kenyataan, petani sawah kita memiliki luas lahan rerata hanya setengah hektar. Secara ekonomis petani yang memiliki lahan demikian hanya mampu mencapai 'break even point' belum mencapai keuntungan . Jika petani rasional maka dalam kondisi seperti ini mereka akan meninggalkan tanaman padi dan beralih ke tanaman lain.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan melihat fakta yang disebut di atas, maka saya berpikir tidak terlalu berlebihan dan cukup rasional kalau saya menawarkan suatu gagasan alternatif untuk menggelorakan semangat menanam dan mengonsumsi pangan lokal serta mulai mengurangi konsumsi beras dengan suatu gagasan 'black campaign' terhadap beras. *<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><a href="http://www.pos-kupang.com/">Pos Kupang </a></span>edisi 2 Maret 2009 halaman 14</div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-4857345778230543122009-03-06T05:59:00.000-08:002009-03-06T06:01:30.212-08:00Lebu Raya: Jangan Bosan Tanam Jagung<div style="text-align: justify;">KUPANG, PK -- Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Frans Lebu Raya, mengajak para petani di daerah ini tidak bosan-bosan menanam jagung. Pasalnya, hasil yang dicapai tidak semata untuk konsumsi keluarga, tetapi juga untuk kebutuhan industri dan pakan ternak.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Jika jagung tidak berbuah, batang dan daunnya bisa dimanfaatkan petani untuk pakan ternak. Karena itu, jangan pernah merasa bosan untuk tanam jagung," kata Gubernur Lebu Raya di Kupang, Minggu (1/3/2009). <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dikatakannya, saat ini sudah muncul istilah "tanam jagung panen sapi". Istilah tersebut, jelasnya, mencerminkan bahwa manfaat dari menanam jagung tidak hanya untuk konsumsi keluarga dan kebutuhan industri, tetapi juga untuk pakan ternak jika jagung tidak menghasilkan buah berlimpah.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Setelah mengunjungi sejumlah daerah pertanian di daratan Pulau Flores, Lembata dan Timor, Gubernur NTT optimis bahwa program "jagungisasi" yang dicanangkan akan memberi manfaat bagi para petani, karena hasilnya sangat menggembirakan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Di Desa Nule, Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), misalnya, tanaman jagung yang sebelumnya hanya memproduksi 2 ton per hektare, kini telah meningkat menjadi 6,5 ton/hektare.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Ini sebuah perubahan peningkatan produksi yang cukup signifikan. Karena itu, saya optimistis dengan pengembangan tanaman jagung di NTT. Saya memiliki sebuah obsesi untuk menjadikan NTT sebagai lumbung jagung di Indonesia," katanya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Gubernur Lebu Raya mengakui bahwa para petani tetap merasa cemas karena khawatir produksi jagung yang diolah, tidak dipasarkan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Memang masih banyak petani yang merasa cemas setelah panen raya. Tetapi saya tegaskan bahwa banyak pengusaha yang menanti produksi jagung dari NTT. Karena itu, para petani tidak perlu jemu dan bosan menanam jagung," tandasnya. (ant)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Belum Paham Mekanisme Pasar<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">KEPALA Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTT, Ir. Piet Muga mengatakan, kecemasan yang dihadapi para petani saat ini cukup beralasan. Pasalnya, para petani itu belum paham soal mekanisme pasar.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Produksi jagung tersebut tidak semata-mata untuk konsumsi keluarga, tetapi juga untuk pakan ternak. Jagung juga bisa diolah menjadi emping dan dijual kepada pengusaha jagung. Mekanisme ini tampaknya belum diketahui oleh para petani, sehingga mereka selalu dihantui rasa cemas," ujarnya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Menurut perkiraannya, produksi jagung di NTT tahun ini mengalami surplus sekitar 600 ton lebih dari total produksi normal sekitar 510 ribu ton per tahun.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Meski indeks produksinya cukup menggembirakan, namun saya agak pesimis soal turunnya harga jagung di pasaran, yang saat ini mencapai Rp 2.000,00/kg. Jika masa panen nanti, diperkirakan April dan Mei 2009 nanti, harga jagung diperkirakan turun. Ini hukum ekonomi pasar yang tidak bisa dihindari," ujarnya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah NTT, Paulus R Todung, yang dikonfirmasi secara terpisah, mengatakan, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan sejumlah koperasi di daerah ini untuk membeli jagung dari para petani.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Saya akan usulkan kepada gubernur agar dapat mengalokasikan dana membeli jagung dari para petani saat masa panen nanti. Ini memang sulit, tetapi kami akan coba untuk melakukannya, agar petani senantiasa termotivasi untuk terus mengembangkan jagung," ujarnya. (ant)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><a href="http://www.pos-kupang.com">Pos Kupang 2 Maret 2009 halaman 9</a><br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-35029164188938682442009-03-06T05:55:00.000-08:002009-03-06T05:57:04.702-08:00Pidra Sumba Timur Adopsi Program Nasional<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Oleh Adiana Ahmad</span><br /><br /><div style="text-align: justify;">PROGRAM Pidra yang dicanangkan pemerintah dalam rangka mempercepat pengentasan kemiskinan mendapat sambutan hangat dari pemerintah dan masyarakat Sumba Timur (Sumtim). Pola pemberdayaan dan pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan melalui program ini mampu menyentuh masyarakat marginal yang sebelumnya sulit terjangkau oleh program pembangunan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kehadiran program ini di Sumbtim tahun 2004 lalu di 22 desa, di lima kecamatan, yakni Paberiwai, Matawai Lapawu, Kahaungu Eti, Nggaha Ori Angu dan Haharu, telah melahirkan 211 kelompok tani dengan anggota 3.754 KK miskin. Kelompok yang ada itu telah berhasil mengumpulkan dana Rp 3.167.192.001 yang terdiri dari hibah prestasi Rp 1.507.062.750, usaha kelompok Rp 1.660.129.251,00.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kehadiran program Pidra juga telah membuka isolasi daerah terpencil melalui pembangunan sarana-prasarana berupa jalan sepanjang 22,2 km, tiga jembatan, perpipaan sepanjang 31,968 km, 17 unit bangunan pelindung mata air, 41 bak penampung air hujan, 21 unit sumur, tiga ruang sekolah, satu pasar desa, lima unit MCK dan lima cek dam/jebakan air. Selain di sektor sarana dan prasarana, progam ini juga menyentuh bidang pengembangan usaha produksi petenakan dan pertanian, pembangunan kebun bibit desa, pengembangan DAS mikro dan konservasi lahan, serta peralatan dan mesin pertanian.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sejalan dengan intervensi program di sektor tersebut, melalui Pidra, para petani dan keluarga miskin dibekali berbagai keterampilan seperti kursus administrasi dan keuangan kelompok, pengembangan manajemen kelompok, budidaya hortikultura, pengolahan hasil pertanian, vaksinasi petenakan, konservasi tanah dan air, pelatihan relawan, budidaya ternak kecil, budidaya tanaman perkebunan, penguatan administrasi, manajemen pemasaran hasil, dan masih banyak lagi.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Program Pidra telah mampu melahirkan petani handal, dan juga pelaku ekonomi baru meskipun dalam skala kecil. Sayang, program ini harus berakhir Desember 2008. Pemda Sumtim kemudian berupaya agar roh/semangat yang dibangun dan dikembangkan melalui program Pidra tidak hilang bersamaan berakhirnya program tersebut. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Menyadari program ini pasti akan berakhir, sementara masyarakat masih membutuhkan pendampingan, maka tahun 2005 Badan Bimas Ketahanan Pangan Sumtim melalui dana APBD II setempat merancang program yang modelnya hampir sama denga Pidra. Dimulai dari 32 kelompok di lima desa di Kecamatan Kambata Mapambuhang, Pandawai, dan Haharu, kini Pidra daerah berkembang di sembilan desa dengan 54 kelompok binaan beranggotakan 1.065 Kk miskin. Kelompok binaan Pidra Daerah Sumtim bukan kelompok bekas binaan Pidra nasional tapi kelompok baru yang belum tersentuh.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sembilan desa yang telah disentuh Pidra Daerah, yakni Maradamundi, Lukuwingir, Waimbidi, Maubokul, Laindeha, Kalamba, Kadahang, Wunga dan Napu. Kelompok tani yang ada melalui swadaya telah mampu mengumpulkan dana Rp 76.575.700,00. Sementara intervensi pemerintah daerah dilakukan melalui pengembangan usaha produksi, peralatan dan mesin pertanian, sarana prasarana, pelatihan teknis dan pelatihan modul.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan Sumtim, Ida Bagus Putu Punia, ditemui di ruang kerjanya, Senin (2/3/2009), mengaku pembentukan Pidra Daerah cuma berbekal modal nekad dengan acuan pemikiran kalau progam ini bagus mengapa daerah tidak tindak lanjuti?<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sejak itu, kata Bagus, Pemda Sumtim melalui dana APBD II mengalokasikan dana untuk program ini. Tahun 2005 dialokasikan dana Rp 270 juta, tahun 2006 berkembang menjadi Rp 300 juta, tahun 2007 menjadi Rp 330 juta, tahun 2008 Rp 470 juta, dan tahun 2009 menjadi Rp 870 juta. Dana tersebut selain untuk pendampingan, juga untuk modal kelompok. Modal kelompok bukan dalam bentuk uang tunai tapi dalam bentuk bantuan ternak sapi dan kambing. Ternak ini menjadi milik kelompok. Hasil penjualannya masuk ke kas kelompok. <br /></div><div style="text-align: justify;">Anggota yang membutuhkan dana segar bisa meminjam dari kas kelompok.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dampak pelaksanaan Pidra Daerah ini, jelas Bagus, mulai terlihat, antara lain masyarakat mulai menabung. Padahal sebelumnya masyarakat tidak terbiasa menabung. Masyarakat juga sudah mulai mengembangkan usaha dagang melalui kelompok yang memudahkan mereka mendapatkan barang kebutuhan hidup dengan harga terjangkau. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pidra Daerah sedikit berbedah dengan Pidra Nasional. Kalau Pidra Nasional target pertumbuhan ekonomi masyarakat binaannya empat tahun, maka Pidra Daerah hanya satu tahun. Enam bulan pemberdayaan, enam bulan pertumbuhan. Salah satu program Pidra Nasional tidak bisa diikuti daerah, yakni pelatihan modul karena biayanya besar. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dia mengatakan, yang penting dari program ini adalah membangun kesadaran masyarakat untuk bisa berkelompok. Jika masyarakat sudah memiliki kesadaran dan kemauan untuk berkelompok, maka cukup mudah untuk melakukan intervensi program. Dia mengaku kesadaran berkelompok sudah mulai tumbuh di kelompok binaannya, bahkan saat ini kelompok yang dibentuk melalui Pidra Daerah sudah mampu membuat neraca. (*)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><a href="http://www.pos-kupang.com">Pos Kupang edisi 5 Maret 2009 halaman 17</a><br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-2401622177521782612009-03-06T05:48:00.000-08:002009-03-06T05:49:25.603-08:007 Penderita Gizi Buruk masuk Panti Bitefa<div style="text-align: justify;">KEFAMENANU, PK-- Selama bulan Februari 2009, tujuh balita penderita gizi buruk di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dirawat intensif di Panti Rawat Gizi di Kelurahan Bitefa, Kecamatan Miomaffo Timur. Dari jumlah ini, dua balita positif menderita marasmus. Keduanya bernama Ignasius Elu (22 bulan), asal Oemeu dan Kornelia Kolo (23), asal Bitefa.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pengelola Panti Rawat Gizi, dr. Lambert Tokan, dikonfirmasi Sabtu (29/2/2009) siang, melalui salah satu perawat, Nona Fanty Amsikan membenarkan hal ini. "Ada tujuh balita dirawat intensif dan dua balita positif marasmus," kata Amsikan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ia merincikan, tujuh balita itu bernama Christino Lamuda (8 bulan) asal Kaubele, menderita gizi kurang; Epifania Olin (22 bulan) asal Oeolo, menderita gizi buruk; Ignasius Elu (22 bulan) asal Oemeu menderita marasmus; Gilberto Metan (22 bulan) asal Bitefa, menderita gizi buruk; Cornelia Kolo (23 bulan) asal Bitefa, menderita marasmus; Alfridus Seno (15 bulan) asal Manufui, menderita gizi buruk; dan Jendrina Ufa (26 bulan), asal Manufui, menderita gizi buruk.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Di panti ini tiap balita diberi makanan bergizi termasuk ibu kandung yang sedang menyusui anaknya. Dengan begitu bila ibunya sehat karena makan makanan bergizi, produksi ASI buat anaknya bagus dan lancar," jelas Amsikan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ia menjelaskan, salah satu balita bernama Epifania Olin, sudah dipulangkan ke rumahnya, Sabtu (29/2/2009) pagi, karena dinyatakan sembuh dan berat badannya kembali normal.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Soal stok makanan obat-obatan, susu dan telur, Nona Amsikan mengatakan stok masih mencukupi meski anggaran belanja untuk tahun 2009 belum cair. "Semua kegiatan di panti ini berjalan lancar dan tim masih terus melakukan pelacakan di kampung, dusun dan desa terpencil untuk menyelamatkan balita penderita gizi buruk," katanya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ny. Adriana Subun, ibunda balita penderita marasmus, Ignasius Elu, mengatakan ia senang anaknya dirawat di Panti Rawat Gizi. "Anak saya diberi makanan bergizi. Ada nasi tambah sayur dan daging. Kadang ikan ditambah tempe dan tahu atau telur. Juga diberi susu. Saya juga diberi makanan bergizi," kata Ny. Subun saat ditemui di Panti Rawat Gizi, Sabtu siang.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ditanya kenapa anaknya tidak terurus, Ny. Subun mengatakan sejak umur satu tahun, ia sering menitipkan anaknya kepada ibu kandungnya. "Saya tinggalkan untuk berjualan di pasar. Sore baru pulang. Anak tidak terurus. Itu salah saya. Tapi mau bagaimana. Jika tidak jualan di pasar kami mau makan apa? Suami cuma seorang petani," katanya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Catatan Pos Kupang total balita penderita gizi buruk di TTU sampai November 2008 menjadi 882 balita dari total balita di TTU sebanyak 20.187 balita yang menjalani penimbangan badan di Posyandu. Jumlah kasus gizi buruk di TTU tahun 2008 menurun drastis dibandingkan tahun 2007. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sejak bulan Januari - Juni 2007 sebanyak 1.178 balita (6,2 persen) dari total 17.782 balita ditimbang di posyandu diindetifikasi mengalami gizi buruk. Sedangkan 6.583 (34,8 persen) balita mengalami gizi kurang, 10.008 (52,9 persen) balita menyandang status gizi baik dan sisanya 13 orang (0,07 persen) balita menyandang status gizi lebih. (ade)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pos Kupang edisi 4 Maret 2009 halaman 15<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-58968034677884734662009-02-18T00:45:00.000-08:002009-02-18T00:46:02.541-08:00Mbay Kiri Dikembangkan Untuk Pangan Lokal<div style="text-align: justify;">KUPANG, PK -- Dataran Mbay kiri di Kabupaten Nagekeo akan dikembangkan menjadi lahan persawahan. Hal itu dimaksudkan untuk memperkuat ketahanan pangan lokal.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kepala Seksi Pelaksanaan Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II Subdin Sumber Daya Air dan Irigasi Dinas Kimpraswil NTT, Alexander Leda, mengatakan hal tersebut, ketika dikonfirmasi soal pengembangan dataran Mbay kiri, Selasa (3/2/2009).<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dataran tersebut memiliki hamparan seluas sekitar 3.000 hektar. Lahan itulah yang akan dikembangkan menjadi lahan persawahan untuk mendukung program ketahanan pangan yang digalakkan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, saat ini.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Saya sedang berada di Nagekeo untuk sosialisasi pembangunan irigasi di Mbay kiri. Kami melakukan sosialisasi itu dengan maksud masyarakat bisa tahu bagaimana rencana pemerintah ke depan," ujarnya, ketika dihubungi melalui telepon genggamnya.<br /></div><div style="text-align: justify;">Menurut dia, sosialisasi itu dilakukan berkaitan dengan rencana pemerintah membangun jaringan irigasi dengan dana bantuan luar negeri. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Jaringan irigasi yang dibangun itu untuk mengairi areal persawahan seluas sekitar 1.600 hektare. Dataran Mbay kiri, selama ini belum dikembangkan karena pemerintah belum membangun jaringan irigasi.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Informasi yang dihimpun Antara menyebutkan, sebenarnya pemerintah pernah berencana membangun sebuah waduk berskala menengah di Mbay. Namun karena protes dari para aktivis LSM yang mengusung isu lingkungan dan hak masyarakat adat, maka pemerintah Jepang sebagai donatur pembangunan waduk tersebut, membatalkan proyek dimaksud.<br /></div><div style="text-align: justify;">Padahal, dataran Mbay kiri disebut-sebut sebagai areal pertanian lahan basah yang sangat potensial dan bisa menjadi lumbung beras bagi masyarakat di Pulau Flores bagian tengah.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Jika Mbay kiri dan kanan dikembangkan bersamaan dengan dataran Mautenda di Kabupaten Ende, juga intensifikasi areal persawahan di Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat, dan kantong wilayah tertentu di Sikka dan Flores Timur, maka Flores bisa berswasembada beras. (*)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pos Kupang 6 Februari 2009 halaman 9<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-34519867444402152222009-02-18T00:29:00.000-08:002009-02-18T00:30:53.861-08:00Poltekes Gelar Pelayanan Gratis<div style="text-align: justify;">OELTUA, PK -- Direktorat Poltekes Depkes Kupang menggelar kegiatan pengabdian masyarakat dengan memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada masyarakat di Desa Oeltua, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, Minggu (1/2/2009). Pelayanan kesehatan ini dilakukan oleh para dosen, dokter, perawat dan apoteker dari enam jurusan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Disaksikan Pos Kupang, Minggu (1/2/2009), kegiatan ini dipusatkan di Kapela Oeltua. Warga dilayani oleh tujuh orang dokter, masing-masing dokter umum sebanyak tiga orang, dokter spesialis telinga, hidung, tenggorokan (THT) dan patologi dua orang, dokter gigi dua orang serta perawat dan apoteker masing- masing tiga orang. <br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Hadir dalam kegiatan ini, ratusan masyarakat Desa Oeltua dan desa tetangga yang ingin mendapat pelayanan kesehatan. Jurusan keperawatan, misalnya, memeriksa masyarakat yang menderita penyakit, kebidanan memeriksa ibu hamil serta kesehatan bayi.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Jurusan kesehatan lingkungan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pembuatan tempat sampah yang higienis dan sederhana serta cara memberi kaporisasi air pada sumur yang ada.<br /></div><div style="text-align: justify;">Jurusan kesehatan gigi memeriksa dan mencabut gigi yang rusak serta memberikan penyuluhan bagi anak-anak cara membersihkan gigi atau menyikat gigi. Jurusan gizi mendekteksi anak-anak yang kurang gizi dan memberikan makanan tambahan berupa kacang hijau, serta jurusan farmasi menyediakan obat-obatan bagi pasien. Kegiatan ini juga melibatkan para pastor, suster dan pendeta yang memiliki jemaat di desa tersebut.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Direktris Poltekes Kupang, Sabina Gero, SKp, M.Sc, ketika dihubungi di sela-sela kegiatan mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk mengaplikasikan ilmu dan mendapatkan kredit poin. Targetnya, lanjut dia, untuk meningkatkan kesehatan masyarakat baik melalui penyuluhan maupun pelayanan langsung dari tiap-tiap profesi. "Masing-masing jurusan punya kegiatan pelayanan," katanya.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Menurut dia, kegiatan ini dilakukan setiap tahun sejak tahun 2006 dengan dana pengabdian yang dianggarkan oleh Depkes sebesar Rp 20 juta. Ia juga mengatakan bahwa obat-obatan yang ada disiapkan oleh Dinkes Propinsi NTT dan cukup untuk kebutuhan pelayanan.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Selain kegiatan tahunan, kata Gero, masing-masing jurusan juga melakukan kegiatan yang sama sesuai dengan bidangnya dalam setiap semester. (mas)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pos Kupang 2 Februari 2009 halaman 3<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-32703953343990315542009-02-18T00:06:00.000-08:002009-02-18T00:28:57.625-08:00Kampanyekan Pangan Lokal<div style="text-align: justify;">BERBAGAI elemen masyarakat NTT hendaknya terus mengampanyekan budidaya dan pemanfaatan bahan-bahan pangan lokal, seperti jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Beras yang kita anggap sebagai bahan pangan utama selama <br /></div><div style="text-align: justify;">ini terbukti tidak membuat kedaulatan pangan kita makin baik.<br /></div><div style="text-align: justify;">Pesan ini dilansir media ini, Jumat (6/2/2009). <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Hari Kamis (5/2/2009) siang, bertempat di ruang redaksi <a href="http://www.pos-kupang.com">Pos Kupang</a> berkumpulah para cerdik-cendekia dan para praktisi pertanian untuk membahas kedaulatan pangan di NTT. Tema ini dirasa sangat pas, selaras dengan kondisi kita di sini.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Peserta diskusi adalah empat orang petani, yakni Petrus Pebe asal Kelurahan Naimata, Marthen Taklal, Mathen Missa dan Nahor Taklal dari Desa Oeteta, Kecamatan Sulamu. Juga praktisi pertanian, Zet Malelak, insinyur pertanian dari Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang yang sukses mendampingi petani, lalu ada Ir. Zainal Arifin selaku Kepala Kebun Unit Uji Politani Negeri Kupang, para pakar pertanian dan pejabat dari Dinas Pertanian dan BKPP NTT.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Banyak gagasan yang mencuat dalam forum diskusi tersebut yang memberi pencerahan kepada kita. Banyak ide, juga tak sedikit gugatan pada pola pendekatan kita terhadap petani yang membuat petani kita begitu tergantung pada beras. Petani-petani kita menjual jagungnya untuk membeli beras, atau menjual telur ayam kampung dan sayur-mayur untuk membeli mie instan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Maka menguatlah gagasan bahwa pangan lokal harus terus dikampanyekan. Kita jangan terlalu tergantung pada beras karena kita punya banyak makanan lokal. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan kata lain, kita jangan bergantung pada beras yang lebih banyak didatangkan dari luar daerah. Jika lahan kita memungkinkan, mengapa pemenuhan beras harus kita "impor"? Pandangan ini bukan dalam konteks kita tak ingin berinteraksi dengan dunia luar. Justru salah. Kita butuh inovasi-inovasi dari luar untuk memperkaya pemahaman kita. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Jujur saja, kita punya potensi alam yang menyediakan pangan non beras yang tak kecil. Hanya karena pergeseran-pergeseran pola hidup, kita mulai beralih ke pangan beras. Ubi, pisang dan sayur-sayuran lokal mulai dilupakan. Begitu pula jagung yang cocok tumbuh di daerah ini.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pangan non beras bukan kali ini diwacanakan. Sudah lama hal ini digalakkan. Hanya gaungnya tak kuat. Lemah dalam konteks cakupan kegiatan dan keterlibatan warga. Hanya diketahui para elit, para pejabat. Karena itu ke depan, kita harapkan diskusi dan sosialisasi diharapkan terus berjalan sampai masyarakat memahaminya. Indikatornya, apakah masyarakat sudah kembali mengonsumsi pangan lokal. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kita menyadari bahwa mengubah orientasi memang tak gampang. Setidaknya dalam konteks diskusi, Pos Kupang ini telah dua kali membedah khusus dalam hal pangan. Ini karena peran pangan itu sentral. Manusia bisa hidup jika ia makan. Ia bisa berkreasi bila "kampung tengahnya" sudah diisi. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi pola konsumsi pangan yang salah akan menyebabkan banyak persoalan, seperti tingkat inteligensi yang rendah. Itu artinya kita tak bisa berkompetisi. Jika demikian maka kita telah kalah dalam besaing.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Propinsi ini memang sering direndahkan, disepelekan. Kita selalu disebut daerah kering, miskin, kurang gizi dan predikat negatif lainnya. Bathin tersiksa mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini. Tapi kita tidak boleh rendah diri. Kita punya banyak kekuatan, juga punya keunggulan lokal, termasuk pangan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Warga NTT harus bangga jika kelak menjadi propinsi yang kaya akan hasil jagung, ubi kayu dan kacang-kacangan. Agar daerah ini jangan terus dikasihani dan diremehkan daerah lain karena kita terus lapar, kurang gizi dan mengharap beras dari luar daerah.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Karena itulah kita mendorong semua kekuatan, semua elemen di daerah ini baik perorangan maupun kelompok agar dapat menyadari persoalan-persoalan ini. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kita menginginkan perubahan perilaku dan orientasi. Dan, itu kita patut memulainya. Kita yakin, kelak akan menerima pernyataan-pernyataan yang menyejukkan. Jangan ada lagi predikat miskin. Janganlah daerah ini kering kerontang sepanjang masa. Sebaliknya, ia berubah menjadi hijau meski tahap demi tahap. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kita juga berharap busung lapar dan gizi buruk dapat hilang dari NTT. Rakyat kita sebenarnya punya makanan alternatif yang banyak. Alam menyediakannya. Hanya saja kita sudah terlalu tergantung pada beras. Seolah-olah ubi, pisang, kacang- kacangan bukan makanan sehingga orang baru mengatakan "sudah makan" kalau yang dimakan itu nasi.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dari aspek gizi, pangan lokal itu sangat bergizi. Tetapi masyarakat kita justeru begitu "merindukan raskin" (beras bantuan untuk keluarga miskin), padahal mereka memiliki ubi, pisang, sayur mayur, ternak dan lain-lain. Mengapa bisa begitu? Inilah yang menjadi pekerjaan besar saat ini bagi semua kita, semua pemangku kepentingan untuk mengubah cara pandang dan "cara makan" masyarakat kita. Agar kita tak terus menerus dirundung berita kelaparan, gizi kurang atau gizi butruk, hanya karena kita kekurangan beras! *<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pos Kupang 7 Februari 2009 halaman 14 <br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-68578843567727616142009-01-15T01:42:00.000-08:002009-01-15T01:44:03.609-08:00115,99 Ha Tanaman di Sumba Rusak Diterjang Banjir<div style="text-align: justify;">WAINGAPU, PK -- Banjir yang terjadi selama Desember 2008 menerjang dan merusak 115,99 ha tanaman pangan di Sumba Timur (Sumtim). Tanaman pangan yang rusak pada umumnya yang berada di dataran rendah atau di daerah aliran sungai (DAS).<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan laporan dari kecamatan yang masuk ke Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumtim, tanaman pangan yang rusak tersebut terdiri dari tanaman jagung 43,56 ha, padi sawah 72,18 ha dan kacang tanah 0,25 ha. Selain padi, jagung dan kacang tanah, juga tercatat 230 rumpun pisang yang rusak akibat diterjang banjir.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumtim , Ir. Josis Djawa mengatakan itu, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (6/1/2009). <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dia mengatakan, data tersebut berdasarkan laporan dari kecamatan. Untuk memastikan kebenaran data tersebut, kata Josis, pihaknya sudah menurunkan tim ke lokasi-lokasi bencana. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Selain karena banjir, kata Josis, kerusakan tanaman pangan juga disebabkan oleh angin, dimana jagung 404 ha rusak dan padi ladang 71,5 ha rusak.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Josis mengatakan, pihaknya tidak memiliki cadangan benih untuk antisipasi kerusakan lahan akibat bencana alam tersebut. Seluruh stok benih, katanya, sudah habis didistribusikan ke petani. Satu-satunya harapan, lanjut Josis, bantuan benih dari Pemerintah Propinsi NTT. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Kami sudah minta bantuan benih jagung ke pemerintah propinsi sebanyak 7,5 ton atau untuk lahan seluas 500 ha, namun belum ada jawaban resmi dari pemerintah propinsi," kata Josis.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dia mengatakan, daerah-daerah yang dilanda bencana banjir sebagian besar adalah sawah tadah hujan seperti Lewa, Melolo. Sedangkan kacang tanah biasanya pada daerah aliran sungai (DAS). "Khusus untuk kacang tanah, musim tanam kali ini kami bantu bibit 10 ton," kata Josis.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dikatakan Josis, jika bantuan dari pemerintah propinsi belum ada, pihaknya akan menyiasati dengan bantuan dari APBD II Sumtim. Meski demikian, Josis tetap berharap ada perhatian dari pemerintah propinsi untuk lahan-lahan tanaman pangan yang rusak. (dea)<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pos Kupang 8 Januari 2009 halaman 17<br /></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-53885097343488154642009-01-15T01:39:00.000-08:002009-01-15T01:42:22.478-08:00Mungkinkah Petani Jagung di NTT Sejahtera?<span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Oleh Damianus Adar</span><div><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Kandidat Doktor Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor</span><br /><br /><div style="text-align: justify;">HARAPAN yang tinggi akan peran pertanian dalam memecahkan berbagai masalah kritis yang dihadapi, terutama kemiskinan, apabila rekonstruksi dan restrukturisasi telah dilakukan, kembali dipertanyakan: mungkinkah para petani sejahtera? Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga pangan dunia serta krisis perekonomian dunia di tahun 2008 membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi para petani Indonesia. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kenaikan harga BBM telah meningkatkan biaya produksi barang dan jasa dan menurunkan profit perusahaan (pertanian). Dengan demikian, para perusahaan mengurangi penggunaan input produksi. Hal ini berdampak pada menurunnya produksi barang dan jasa. Dampak selanjutnya adalah permintaan akan barang dan jasa melebihi produksi yang tersedia, sehingga harga-harga meningkat (inflasi) dan pengangguran bertambah. Kenaikan harga-harga ini menurunkan daya beli petani (purchasing power) dan menurunkan kesejahteraan (welfare) mereka.<br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kesejahteraan merupakan variabel/indikator yang dipakai di hampir semua disiplin ilmu. Dalam ilmu ekonomi pertanian, variabel itu menempati posisi sentral. Keberhasilan atau kegagalan sesuatu, atau serangkaian, kebijakan tercermin dari arah perubahan indikator kesejahteraan yang digunakan: meningkat atau menurun. Baik-buruknya 'sistem' pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam akan tercermin pada meningkat atau menurunnya indikator kesejahteraan rakyat. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Tinggi-rendahnya pendapatan petani, merata-timpangnya distribusi pendapatan petani vs non petani, lestari-terdegradasinya kondisi sumberdaya pertanian mengindikasikan berhasil-gagalnya kebijakan pembangunan pertanian yang telah kita terapkan. Dan, sampai batas tertentu, hal ini mencerminkan kuat-rapuhnya upaya politik yangg telah kita curahkan untuk menempatkan sektor pertanian dan para petani pada tingkatan yang lebih tinggi.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Tulisan ini tentang 'Mungkinkah petani jagung NTT sejahtera' merupakan suatu query terhadap para pembuat kebijakan pembangunan pertanian, penggiat politik pertanian -- jika memang betul-betul ada -- atau akademisi ekonomi pertanian dan politik pengelolaan sumberdaya alam. Secara teoritis, memperhatikan resource endowment yang kita miliki, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah "Ya, mungkin". Secara empiris/praksis, jawabannya barangkali adalah "Ya, mungkin, dan kesejahteraan petani harus kita perjuangkan sekuat tenaga, sekeras pemikiran dan garis kebijakan yang sudah dicanangkan." <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Untuk dapat mempertahankan dan bahkan meningkatkan kesejahteraan petani di era fluktuasi perekonomian yang tidak menentu ini, maka pembangunan pertanian tetap merupakan hal yang penting. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya pembangunan pertanian: 1) potensi sumberdayanya yang besar dan beragam, 2) pangsa terhadap pendapatan nasional yang cukup besar, 3) besarnya pangsa terhadap ekspor nasional, 4) besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, 5) perannya dalam penyediaan pangan masyarakat, dan 6) menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pembangunan pertanian masa lalu dan bahkan sampai saat ini mempunyai kelemahan antara lain terfokus pada usahatani (on farm), lemahnya dukungan kebijakan makro, serta pendekatannya yang sentralistik. Usaha pertanian sebagai suatu sistem (sistem agribisnis) dijalankan secara tersekat-sekat. Struktur sistem agribisnis yang tersekat-sekat ini dicirikan oleh: (1) subsistem agribisnis hulu (produksi dan perdagangan sarana produksi pertanian) dan subsistem agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan perdagangannya) dikuasai oleh pengusaha menengah dan besar yang bukan petani. Petani sepenuhnya hanya bergerak pada subsistem agribisnis penghasil produk primer; (2) Antar subsistem agribisnis tidak ada hubungan organisasi fungsional dan hanya diikat oleh hubungan pasar produk antara yang juga tidak sepenuhnya kompetitif; (3) Adanya asosiasi pengusaha yang bersifat horisontal dan cenderung bersifat sebagai cartel. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Berbagai asosiasi pengusaha ini dapat ditemui pada subsistem hulu maupun subsistem agribisnis hilir; (4) Agribsinis dilayani oleh paling sedikit lima departemen teknis (pertanian, kehutanan, perindustrian dan perdagangan, tenaga kerja dan transmigrasi, koperasi). Berbagai departemen ini tentunya memiliki visi ataupun mandat yang berlainan sehingga berbagai kebijakan yang ditujukan pada agribisnis belum tentu integratif dan selaras satu dengan lainnya dipandang dari sudut agribisnis sebagai satu sistem.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kebijakan lain pada usaha pertanian masa lalu adalah tingkat perlindungan pemerintah, kebijakan investasi dan alokasi kredit berdasarkan sektor lebih banyak ditujukan pada sektor industri. Strategi makro pemerintah dalam proses industrialisasi yang secara operasional lebih berorientasi pada sektor industri yang berbasiskan padat modal yang kurang mengakar dan sektor pertanian hanya bertumpu pada sektor beras.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kelemahan-kelemahan tersebut mengakibatkan usaha pertanian kita saat ini masih banyak didominasi oleh usaha dengan 1) skala kecil, 2) modal terbatas, 3) teknologi sederhana, 4) sangat dipengaruhi musim, 5) wilayah pasarnya lokal, 6) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), 7) akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, 8) pasar komoditas pertanian sifatnya mono/oligopsoni sehingga terjadi eksploitasi harga pada petani.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pembangunan pertanian di masa datang tidak hanya dihadapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, namun dihadapkan pula pada tantangan untuk menghadapi perubahan tatanan politik yang mengarah pada era demokratisasi, yakni tuntutan otonomi daerah dan pemberdayaan petani. Di samping itu, dihadapkan pula pada globalisasi dunia. Oleh karena itu, pembangunan pertanian tidak saja dituntut untuk menghasilkan produk berdaya saing tinggi, namun juga mampu mengembangkan pertumbuhan daerah serta pemberdayaan masyarakat.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Salah satu kebijakan untuk mengembangkan pertumbuhan daerah NTT saat ini adalah pengembangan jagung. Mudah-mudahan kebijakan ini bukan merupakan politik pro pertanian (pro konglomerat), tetapi lebih merupakan kebijakan yang pro petani. Intervensi pemerintah ini merupakan suatu hal yang benar dan mulia dalam rangka menyelamatkan para petani NTT dari kerawanan pangan dan kemiskinan. Namun, perlu diingat bahwa implementasi dari kebijakan ini pasti mendapat banyak tantangan. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sejalan dengan perubahan tatanan politik di Indonesia, dan di NTT khususnya yang mengarah pada globalisasi, maka keberhasilan kebijakan tersebut di masa datang dihadapkan pada dua tantangan pokok sekaligus. Tantangan pertama adalah tantangan internal yang berasal dari domestik, di mana target pelaksanaannya tidak saja dituntut untuk mengatasi masalah-masalah yang sudah ada, namun dihadapkan pula pada tuntutan demokratisasi yang terjadi di daerah ini. Sedangkan tantangan kedua adalah tantangan eksternal, di mana pembangunan di sektor pertanian (komoditas, produk dan jenis usaha jagung) diharapkan mampu untuk mengatasi era globilisasi dunia. Kedua tantangan ini sulit untuk dihindari karena merupakan suatu rumusan kebijakan pembangunan nasional yang sudah disepakati di negara ini. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Tantangan pemberdayaan petani mungkin bisa ditanggapi dengan intervensi pemerintah, yang berkaitan dengan pengembangan jagung untuk kesejahteraan petani, yang berorientasi non-efisiensi. Mengingat para petani NTT adalah merupakan net buyer (konsumen) dan sekaligus net seller (produsen), maka kebijakan harga dan non harga perlu digalakkan secara bersama-sama. Kebijakan pertama dapat dilakukan dengan adanya penetapan harga pembelian pemerintah atau intervensi pemerintah dengan melakukan stabilisasi harga (price stabilization) jagung. Pemerintah dapat melakukan pembelian produk petani pada saat panen raya dan mensuplainya ke pasar pada saat bukan musim panen jagung. Kebijakan kedua dapat dilakukan dengan keputusan stabiliasi pendapatan (income stabilization). <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Jika dicari faktor-faktor penyebab stagnasi produksi pertanian di NTT selama ini, maka jawabannya, mungkin, terletak pada rendahnya kepemilikan teknologi, modal dan sumberdaya petaninya. Wujud-nyata kebijakan non harga untuk mendukung pengembangan jagung di NTT ini adalah dengan melakukan 1) pemberdayaan dalam pemanfaatan sumberdaya; 2) pemberdayaan terhadap penguasaan faktor produksi (teknologi usaha, kredit, benih unggul, pupuk, obat-obatan pertanian, dan irigasi); 3) pengembangan posisi tawar petani (peningkatan aksesibilitas informasi pasar); 4) pemberdayaan kelembagaan petani (penguatan kelompok tani, koperasi tani dan bank pertanian); dan 5) pengembangan infrastruktur/penunjang pertanian menjadi tanggung jawab daerah, terutama dalam hal penekanan biaya produksi dan transportasi pascapanen jagung.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pendekatan pelaksanaaan secara teknis mungkin bisa diusulkan dengan pendekatan cluster, ketimbang pendekatan agribisnis. Pendekatan cluster dengan memusatkan semua aktivitas (on farm dan off farm) pada suatu wilayah/hamparan daratan memungkinkan adanya efisiensi dari penggabungan berbagai skala usaha yang kecil, yang sudah lama dipraktekkan para petani di NTT ini. Dengan demikian, nilai ekonomis yang tinggi dari skala usaha yang kecil dapat dicapai. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dalam menciptakan kemandirian petani jagung, sebaiknya pepatah Cina kuno yang berbunyi "jangan berikan kami ikan tetapi kail" kita ganti dengan pepatah kita sendiri yang berbunyi: "jangan berikan kami ikan dan kail atau perahu tetapi ajari kami bagaimana cara membuat kail dan perahu serta cara memancing dengan tangan kami sendiri." Dengan demikian, jika ikan kami habis dan alat mancing serta perahu kami rusak, maka kami dapat memperbaiki dan membuatnya kembali dengan tenaga dan kemampuan serta keterampilan yang ada di dalam diri kami sendiri. Dengan prinsip ini, kesejahteraan petani jagung NTT akan berlangsung 'selama hayat dikandung badan.' *<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;"><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(51, 51, 255);"><a href="http://www.pos-kupang.com/">Pos Kupang 8 Januari 2009 halaman 14</a></span></span><br /></div> </span></div>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8223600018611810249.post-5759758253755646482009-01-15T01:33:00.000-08:002009-01-15T01:34:12.917-08:00Puskesmas Pasir Panjang Rawat 9 Pasien Diare<div style="text-align: justify;">KUPANG, PK -- Sembilan pasien penderita diare dan satu pasien gizi buruk komplikasi diare, Senin (12/1/2009), menjalani perawatan medis di Puskesmas Rawat Inap, Kelurahan Pasir Panjang. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Hal ini disampaikan salah satu petugas medis yang tidak bersedia namanya dikorankan, saat ditemui di puskesmas itu, Senin (12/1/2008). Petugas itu mengatakan, selama pekan pertama Januari 2009, banyak pasien diare, gizi buruk dan pasien yang dicurigai (suspek) deman berdarah dengue (DBD) serta pasien yang positif terserang DBD menjalani perawatan di puskesmas itu.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Namun ketika diminta data jumlah pasien yang terserang tiga jenis panyakit itu, petugas medis itu menolak. "Pak wartawan, kami mohon maaf. Data dapat dikeluarkan bila kami mendapat izin dari kepala puskesmas. Keputusan ini telah menjadi kesepakatan bersama. Kami tidak bisa memberikan data, " kata petugas itu. <br /></div><span class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Hal senada dikatakan Kepala Ruangan Perawatan Anak, Zevanya Kamengmau, saat ditemui di puskesmas itu. "Kami tidak bisa memberikan data tanpa izin kepala puskesmas. Kalau ada izin, kami pasti bantu Pak Wartawan," katanya. Kepala Puskesmas, Iviane Luanlaka, ketika hendak ditemui tidak berada di ruang kerjanya. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Bastian Feoh, kakek penderita gizi buruk, Risal Rihi (1,6 tahun), warga RT 28/RW 07, Kelurahan Lasiana, saat ditemui di ruang perawatan B, Puskesmas Pasir Panjang, kemarin, mengatakan, Risal baru dibawa ke puskesmas. Selama ini dia hanya berobat di Pustu Oesapa. Namun selama berobat di pustu itu, tubuhnya tidak mengalami perubahan. "Selama lima hari sejak sakit, Kamis (8/1/2009), Risal dirawat di rumah. Namun karena kondisi tubuhnya terus memburuk kami membawa dia ke puskesmas. Setelah ditimbang petugas medis, berat badannya hanya enam kilogram," katanya.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pantauan Pos Kupang di ruang Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSU Prof. Dr. WZ Johannes Kupang, Senin (12/1/2009), terdapat enam orang anak dan tiga orang dewasa penderita diare yang masih menjalani perawatan. Jeremias Tampani, orangtua pasien diare Yemri Fitriani Naklui, warga RT 16/ RW 08, Desa Retraen, Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang, saat ditemui di IRD, Senin (12/1/2009), menjelaskan, anaknya terserang diare sejak akhir Desember 2008 lalu. <br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">"Sejak sakit kami membawa Yemri, berobat di Puskesmas Oekabiti. Yemri juga menjalani rawat inap di Puskesmas Oekabiti, Minggu (4/1/2009). Namun setelah dirawat selama dua hari, Rabu (6/1/2009), atas kesepakatan keluarga Yemri dibawa kembali ke rumah," katanya. (den)<br /></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Pos Kupang 13 Januari 2009 halaman 3</span></div> </span>Jawapogohttp://www.blogger.com/profile/17467553792792389047noreply@blogger.com0