Gerakan Kedaulatan Pangan Atasi Gizi Buruk

INDONESIA sudah merdeka lebih dari 62 tahun, namun persoalan gizi buruk masih menghantui sebagian warganya. Sungguh mengenaskan. Bagaimana bisa di era sekarang, masih dijumpai ribuan, mungkin malah ratusan ribu anak balita, yang menjadi pemegang masa depan Indonesia menderita gizi buruk.

Coba lihat dan tengok sesaat ke wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Di sana masih dijumpai sebanyak 1.466 kasus gizi buruk yang melanda anak-anak balita. Itu yang terdata. Jadi mungkin angka sesungguhnya bisa lebih dari itu.

Sebanyak 1.466 kasus gizi buruk yang melanda anak-anak balita di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) sebenarnya bukan hanya menjadi persoalan pemerintah TTU. Tetapi ternyata kasus gizi buruk juga terjadi di seluruh kabupaten di NTT, termasuk di Kota Kupang. Hanya saja, sorotan media terhadap kasus ini pertama adalah yang pertama kalinya di daerah yang berbatasan langsung dengan daerah enklave Timor Leste ini.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) TTU, Pater Marianus Kobatoyo, SVD, menilai, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) TTU tidak serius dalam menangani 1.178 anak balita yang tertimpa gizi buruk dan kurang gizi di daerah ini. Padahal, anak-anak balita tersebut memiliki hak hidup dan hak untuk tumbuh kembang serta hak mendapatkan perlindungan dari pemerintah, antara lain melalui pelayanan kesehatan.

Dikatakannya, dalam kondisi yang begitu memrihatinkan dan mendapatkan perhatian nasional, mestinya pemerintah menghentikan berbagai kegiatan yang menguras kas daerah dalam jumlah besar dengan mengalihkannya bagi kepentingan yang jauh lebih besar dan langsung menyentuh akar persoalan yang tengah dihadapi daerah ini.

Ketidakseriusan pemerintah kabupaten terlihat jelas ketika penanganan kasus gizi buruk di daerah ini pada tahun-tahun sebelumnya mendapatkan bantuan dari Care International yang membangun Panti Rawat Gizi yang tediri dari sebuah gedung lengkap dengan fasilitasnya. Bahkan, lembaga ini sempat menangani pemulihan status gizi buruk yang menimpa banyak balita di daerah ini.

Justru setelah panti tersebut diserahkan kepada pemerintah TTU, sempat tidak difungsikan karena ketiadaan dana operasional. Padahal, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) TTU tahun 2007 telah dialokasikan Rp 189 juta untuk penanganan kasus gizi buruk di panti tersebut. Sehingga panti yang dikhususkan bagi pemulihan gizi balita terkesan diterlantarkan begitu saja.

Mestinya, tingginya kasus gizi buruk dapat ditekan dengan memanfatkan panti yang berkapasitas 18 pasien tersebut secara berkesinambungan. Di mana, pada setiap putaran ditangani 18 kasus. Apabila status gizinya membaik setelah dilakukan intervensi, pasien dapat dipulangkan dan didatangkan lagi 18 penderita gizi buruk yang tercatat di berbagai puskesmas.

Bupati TTU, Drs. Gabriel Manek, M.Si, di Kefamenanu, belum lama ini secara tegas menolak anggapan bahwa kasus gizi buruk ini hanya terjadi di TTU. "Kasus gizi buruk ini secara merata terjadi di seluruh daerah di NTT. Jadi bukan hanya menjadi persoalan yang dihadapi pemerintah TTU. Tetapi, secara
pribadi saya harus berterima kasih kepada teman-teman pers atas apa yang diungkap teman-teman wartawan," imbuhnya.


Sangat serius
Dikatakannya, pemerintah sangat serius menangani kasus gizi buruk yang ada. Di mana, telah distribusikan bantuan susu dan makanan tambahan ke 15 puskesmas yang tersebar di TTU. Selain itu, alokasi dana APBD untuk penanganan gizi buruk telah dicairkan dan dimanfaatkan. Demikian pula, Panti Rawat Gizi yang ada telah dioptimalkan bagi penanganan sejumlah anak penderita gizi buruk.

Keseriusan pemerintah, lanjutnya, adalah dengan mencanangkan Gerakan Penanganan Diare dan Gizi Buruk sejak Juli 2007 dan disusul dengan Gerakan Kedaulatan Pangan yang dicanangkan April 2008. "Biasanya kasus gizi buruk muncul setelah timbulnya kasus diare. Itulah penanganannya harus serempak karena menurunnya daya tahan anak setelah terserang diare, mengakibatkan status gizi anak juga berkurang," tuturnya.

Menurut Bupati Manek, keseriusan pemerintah tidak ada artinya apabila tidak didukung masyarakat itu sendiri. Sebab, perilaku masyarakat yang sudah membudaya selama ini adalah, anak-anak yang menderita penyakit kurang mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak itu hanya diberi makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang diberikan. Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah menipis.

Sesuai hasil pelacakan yang dilakukan tim medis TTU hingga pekan kedua September 2007, terdapat 1.466 kasus gizi buruk, di antaranya 35 penderita dengan kelainan klinis dan 7.267 balita yang berstatus gizi kurang. Ini
menunjukkan, persoalan gizi buruk masih tinggi di daerah ini dan perlu mendapatkan prioritas dalam penanganannya.
Nikolas Kono, salah satu warga TTU, mengaku, sebenarnya penyebab masalah gizi buruk yang menimpa anak-anak balita di daerah ini adalah budaya belis atau mahar dalam setiap proses perkawinan. Di mana, umumnya keluarga calon isteri menentukan harga belis dalam jumlah yang tinggi dan sering tidak masuk diakal. Dengan demikian, keluarga muda yang ada
harus bekerja keras untuk menutupi hutang belis itu.

Dikatakannya, suami atau kepala keluarga harus tahu diri dengan membawa ternak atau bahan makanan ketika keluarga perempuan mengadakan pesta atau hajatan. Akibatnya, persediaan makanan sangat cepat terkuras untuk pesta-pesta keluarga. Misalnya, saat anak dibaptiskan, sambut baru, pinangan, perkawinan maupun saat ada anggota keluarga yang meninggalk dunia.

Perincian
Data yang diperoleh dari Kepala Dinas Kesehatan TTU, dr. Michael Suri, MM mengungkapkan, hasil pelacakan yang dilakukan petugas Puskesmas Eban, tercatat
600 balita gizi kurang, 284 balita gizi buruk dan tiga penderita gizi buruk dengan kelainan klinis. Di Puskesmas Oeolo, tercatat 494 kasus gizi kurang dan 93 gizi buruk. Sementara di Nunpene, tercatat 619 gizi kurang, 102 gizi buruk dan dua gizi buruk dengan kelainan klinis.

Pelacakan di Puskesmas Sasi mencatat, 642 gizi kurang, 87 gizi buruk dan empat gizi buruk dengan kelainan klinis. Di Puskesmas Noemuti, tercatat 298 kasus gizi kurang dan 21 kasus gizi buruk. Puskesmas Oemeu, tercatrat 364 gizi
kurangh, 93 gizi buruk dan dua gizi buruk dengan kelainan klkinis. Puskesmas Maubesi mencatat 756 gizi kurang, 130 gizi buruk dan satu gizi buruik dengan kelainan klinis. Puskesmas Oelolok mencatat 760 gizi kurang, 167 gizi buruk dan tiga gizi buruk dengan kelainan klinis.

Sementara itu, di Puskesmas Wini tercatat 325 kasus gizi kurang dan 11 gizi buruk dan tiga gizi buruk dengan kelainan klinis. Puskesmas Manufui mencatat 427 gizi kurang dan 67 gizi buruk. Puskesmas Ponu mencatat 387 gizi kurang, 115 gizi buruk dan tiga gizi buruk dengan kelainan klinis. Puskesmas Kaubele mencatat 301 gizi kurang dan 45 gizi buruk. Puskesmas Tasinifu mencatat 380 gizi kurang dan 80 gizi buruk. Puskesmas Bitefa mencatat 446 gizi kurang, 109 gizi buruk dan empat gizi buruk dengan kelainan klinis.

Menurut dr. Michael Suri, pelacakan yang dilakukan petugas kesehatan di setiap puskesmas tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani kasus gizi
buruk. Sebab, dengan adanya data resmi penderita gizi kurang dan gizi buruk maupun gizi buruk dengan kelainan klinis akan memudahkan pemerintah dalam melakukan intervensi.
Keterbatasan anggaran untuk penanganan 35 kasus gizi buruk dengan kelainan klinis saja membutuhkan biaya sebesar Rp 37,8 juta. Di mana setiap anak balita membutuhkan biaya sebesar Rp 12.000 per hari dengan masa intervensi selama 90 hari. Sementara untuk penanganan 1.466 kasus gizi buruk dibutuhkan dana sebesar Rp 1.583.280.000.

Padahal, alokasi dana APBD untuk penanganan gizi buruk hanya Rp 198 juta. Sehingga, masih dibutuhkan lagi dana sebesar Rp 1.394.280.000 untuk penanganan lanjutan. Untuk itu, segera diusulkan penambahan dana dalam Sidang Perubahan Anggaran bagi penanganan kasus gizi buruk ini.

Anggota DPR RI, dr. Charles Mesang, yang ditemui di pelataran Kantor Bupati TTU di Kefamenanu pekan lalu mengatakan, pihaknya memberikan perhatian serius terhadap kasus gizi buruk yang melanda seluruh kabupaten/kota di NTT, termasuk di TTU.

Untuk itu, pihaknya telah melakukan pembicaraan dengan Departemen Kesehatan dan hasilnya, sejumlah bantuan susu dan makanan tambahan telah didistribusikan ke seluruh daerah.
Selain itu, pemerintah kabupaten/kota diharapkan memberikan data resmi menyangkut kasus gizi buruk yang ada di daerahnya. Sehingga nantinya dapat dibahas di DPR agar dapat ditetapkan alokasi anggaran bagi penanganan kasus gizi buruk yang masih menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di NTT.

"Penanganan gizi buruk membutuhkan dana yang cukup besar, sehingga perlu dukungan dana dari pemerintah pusat lewat APBN," tambahnya. * (suara pembaruan)

http://spiritentete.blogspot.com/2008/06/gerakan-kedaulatan-pangan-atasi-gizi.html

Posted in Label: , |

2 komentar:

  1. AnNi_Gur_Lpg Says:

    hai namaku anni,aku pengen banget gizi buruk gak ada di NTT.
    oia tolong muat pendapat orang kupang NTT mengenai Makanan jajanan,yang termasuk jenis makanan jajanan di mata Masyarakat Kupang NTT.trims

  2. atha lakuary Says:

    hallo salam kenal,,
    aku turut prihatin dengan gizi buruk yang melanda indonesia..
    masih banyak daerah di indonesia yang terkena gizi buruk mayoritas adalah anak balita :(
    pemerintah .. ayo tangani gizi buruk :)