Black Campaign Beras, Perlukah?

Oleh Leta Rafael Levis

TANGGAL 5 Februari 2009, saya diundang manajemen Pos Kupang mengikuti diskusi terbatas tentang pangan lokal dan kedaulatan pangan di NTT. Sebagaimana diwartakan harian ini tanggal 6 Februari 2009, bahwa hal yang menarik dari diskusi ini adalah kehadiran serta ungkapan pengalaman tiga orang petani yaitu Petrus Pebe dari Desa Naimata, Marten Taklal dan Nahor Taklal dari Desa Oeteta. 

Satu nada dasar yang sama diungkapkan ketiganya, yaitu pangan lokal merupakan kebanggaan bagi mereka dan mereka tidak bisa berusahatani dengan baik kalau tidak ada pendampingan secara kontinyu, sehingga mereka menyarankan agar peranan penyuluh baik penyuluh PNS, penyuluh swakarsa maupun penyuluh swasta terus digalakkan (ketiga kelompok penyuluh ini sesuai UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan). 

Hal lain yang menarik dari diskusi tersebut adalah kecerdasan teman sejawat, Ir. Zet Malelak dan Ir. Zainal Arifin, yang mampu mengembangkan potensi lokal yang sejak lama dianggap tidak mungkin oleh banyak pihak, yaitu menyulap daerah kering menjadi daerah penghasil tanaman pangan yang handal masing-masing di Oeteta dan Baumata. Ketika banyak orang meragukan dan melupakan potensi pangan lokal di NTT sebagai pakan utama masyarakat, keduanya justru membuktikan bahwa pangan lokal di NTT dapat menjadi 'pengganti beras raskin'.

Dalam diskusi tersebut saya mengingatkan bahwa persoalan yang krusial dihadapi masyarakat saat ini adalah bukan pada bisa atau tidaknya pemerintah dan masyarakat menanam dan mengonsumsi kembali pangan lokal sebagai pengganti beras. Persoalan utamanya adalah terlanjur terbentuknya persepsi dan perilaku masyarakat bahwa beras adalah makanan utama sehingga hampir semua masyarakat NTT menggantungkan perutnya pada beras. Persoalan akan menjadi semakin sulit dipecahkan ketika kita berusaha mengubah persepsi dan perilaku masyarakat dari 'beras oriented' kepada 'ujakang oriented' (orientasi pada ubi jagung dan kacang-kacangan). Di sinilah diskusi tersebut menjadi semakin hangat ketika saya mengajukan suatu pemikiran dalam bentuk pertanyaan yang agak 'revolusioner' yaitu bisakah dilakukan 'black campaign' terhadap beras agar mengendurkan ketergantungan masyarakat kita kepada beras?

FREN's Spirit
Tahun 2002, suatu hasil penelitian tentang evaluasi perilaku masyarakat penerima dana IDT yang dilakukan bersama Badan Litbangda NTT dan Kelompok Penelitian dan Pengembangan Sosial Ejonomi Pedesaan (KPPSEP) Kupang, menyarankan agar pemerintah harus berani secara perlahan menghentikan bantuan raskin. Beras 'raskin' tersebut selain kualitasnya diragukan, ada akibat jangka panjang yaitu petani menjadi malas menanam tanaman lokal seperti jagung, ubi dan kacang-kacangan. Selanjutnya, tanggal 7 April 2004, pikiran saya pernah dimuat di koran ini dengan judul ' Varieats Lokal Lebih Unggul'. Pikiran-pikiran lepas memang telah lama berkembang agar pemerintah kembali mengembangkan tanaman lokal karena NTT memiliki potensi tanamam lokal yang sangat tinggi. 

Semua saran dan pendapat tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah saat itu. Pemerintah daerah masih keasyikan melaksanakan program pembangunan yang memiskinkan masyarakat terutama kebijakan 'top down' yang tidak memberikan ruang bagi petani untuk mengembangkan kembali tanaman lokal. Akhirnya terbentuklah mentalitas konsumptif dan instan.

Nasihat bijak dari Raja Salomo, "Segala sesuatu ada waktunya". Keinginan serta pemikiran untuk mengembangkan pertanian khususnya potensi lokal menjadi program prioritas baru dapat terwujud setelah paket FREN memimpin provinsi ini. Sebagai seorang penulis, peneliti dan dosen bidang pertanian, saya berpikir bahwa kebijakan pemerintah saat ini terasa menyejukan hati semua orang yang berwatak 'desa oriented' dan 'people welfare oriented'. Kesejukan hati bagi banyak orang merupakan spirit yang baik untuk membangun daerah ini khususnya peningkatan produksi tanaman lokal sebagai upaya menciptakan kedaulatan pangan di level rumah tangga. 

Kita yakin bahwa jika para petani kembali menanam tanaman lokal dan pada suatu saat pemerintah menghentikan bantuan raskin maka kasus busung lapar mungkin tak terjadi lagi. Ini impian kita semua. Jika pemerintah memiliki impian dan keyakinan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat 'grass root', maka mewujudkan 'good governance' dengan mengembangkan potensi lokal adalah salah satu jawaban yang tepat. 

Chen Zhan (2005) menulis tentang Solusi Kreatif Menuju Sukses menyimpulkan ada lima langkah agar usaha berhasil, yaitu 1) impian, 2) tujuan, 3) rencana, 4) tindakan nyata dan 5) keyakinan. Dalam RPMD NTT sudah tercantum secara secara jelas visi, misi (impian), tujuan dan rencana. Semoga semua rencana tersebut dapat diimplementasikan dalam pelaksanaan di lapangan. Kelemahan kita adalah tidak ada tindakan nyata di lapangan serta kita tidak memiliki keyakinan bahwa suatu saat nanti kita akan keluar dari lingkaran kemiskinan. Berpikir dan bertindak fokus adalah kunci keberhasilan. 

Black campaign beras?
Dalam dunia politik istilah 'black campaign' berarti melakukan kampanye negatif (baca: hitam) terhadap seseorang atau sekelompok orang yang tidak sehaluan politik. Tujuannya agar pendengar jangan memilih yang lain selain dirinya karena ia yakin orang lain banyak kekurangan sedangkan dirinya 'sempurna'. Kampanye seperti ini cenderung untuk menjelekkan sesama serta menjadi pemicu konflik di masyarakat.

Sejalan dengan pemikiran di atas, gagasan untuk melakukan 'black campaign' terhadap beras memiliki makna yang agak sedikit berbeda yaitu berusaha untuk menyebarluaskan informasi tentang hal-hal yang 'kurang' dari beras tetapi bukan pada beras sebagai obyek (kecuali raskin) tetapi pada situasi eksternal yang mengancam kelangsungan perberasan di masa yang akan datang. Tujuan dari kampanye jenis ini adalah agar masyarakat khususnya petani jangan terlalu menggantungkan hidupnya pada makanan yang berasal dari beras - apalagi beras raskin -, masyarakat diarahkan untuk beralih ke makanan lokal. Kampanye ini jauh dari maksud agar kita tidak boleh makan nasi. 

Mengapa ide ini harus didifusikan kepada banyak orang? Saat diskusi, tantangan pertama datang dari Ir. Oematan (Direktur Politani Kupang). Dia menyatakan bahwa kita tak mungkin melarang orang untuk makan nasi (beras) karena memang ada orang yang sejak kecil hanya makan nasi tak pernah sentuh jagung atau ubi. Ide kampanye hitam terhadap beras tidak dimaksudkan agar orang tidak boleh makan nasi. Ide ini muncul sebagai sumbang pikir bagi keberhasilan program penggalangan pangan lokal oleh pemerintah saat ini serta tanggapan bahwa produk lokal memang harus menjadi sandaran para petani di NTT karena beras akan memasuki masa sulit untuk 15 tahun ke depan. 

Adakah alasannya kampanye ini?Alasan pertama, hasil kajian IRRI (International Rice Research Institute), negara-negara di kawasan Asia termasuk Indonesia dalam kurun 10 tahun ke depan akan mengalami krisis pangan (khususnya beras) yang berkepanjangan dan disinyalir akan membahayakan kehidupan jutaan umat manusia di dunia. Alasannya, a) para petani umumnya dalam waktu tak lama lagi akan mengalami kekurangan air irigasi untuk beberapa kawasan Asia termasuk Yelloo River di Cina karena tidak mencapai lagi lautan pada musim kemarau. Bahkan pada tahun 2006, permukaan sungai Mekong turun sampai titik terendah. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Padahal jutaan petani kita tergantung pada suplai air irigasi dari sungai-sungai yang ada. b) Hasil penelitian terakhir tentang isu pemanasan global dunia akan berdampak sangat serius pada suplai beras. Produktivitas padi diperkirakan akan turun mencapai 10% pada setiap peningkatan 1 derajat Celsius pada malam hari. 

Perubahan iklim pada daerah lainnya, seperti kekeringan dan menaiknya permukaan laut juga berakibat pada produksi beras. Hal ini merupakan peringatan serius. c) Hal yang terpenting bagi Indonesia adalah terjadinya degradasi kualitas sumber daya manusia (Petani) sebagai pelaku produksi. Industri perberasan tidak lagi menarik minat dan menghasilkan keuntungan karena para petani yang ada kini telah termakan usia dan mengalihkan anak-anaknya belajar di luar uasahataninya.
Akibat kekurangan air, pemanasan global dan menurunya SDM petani baik jumlah maupun kualitas akan mengurangi kemampuan Asia khususnua Indonesia untuk menghasikan beras yang dibutuhkan. Dalam waktu dekat dampaknya belum terasa akan tetapi untuk jangka panjang berdampak sangat serius karena akan secara nyata mengurangi kemampuan negara-negara Asia menghasilkan beras sebagai upaya mempertahankan Ketahanan Pangan Regional, Stabilitas Politik dan Pembangunan Ekonomi.

Alasan kedua, estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286.021 juta sehingga akan terjadi peningkatan permintaan konsumsi bahan pangan dan 30 tahun yang akan datang Indonesia membututuhkan tambahan ketersediaan pangan ± 1,35 kali lipat dari jumlah kebutuhan sekarang akibatnya terjadi kerisauan akan kerawanan pangan. Di lain pihak, sumber daya lahan dan hutan mengalami degredasi 2,5 - 2,8 juta ha/tahun sedangkan rehabilitasi hanya 400.000-500.000 ha/tahun, krisis lahan pertanian menurun rata-rata 141.000 ha/tahun dan sebagian sistem irigasi tidak berfungsi atau rusak.

Berdasarkan kedua pertimbangan di atas maka pemerintah Indonesia saat ini menggenjot program revitalisasi pertanian. Untuk maksud tersebut berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti terbitnya UU No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K dan beberapa kebijakan lain seperti a) mengembangkan tanaman lokal non beras, b) meningkatkan kualitas sumber daya petani, dan c) meningkatkan minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian.

Alasan ketiga, saat ini terjadi kecenderungan perubahan pola makan bagi negara-negara di Asia Selatan seperti India, Pakistan, Sri Lanka serta beberapa negara di Afrika. Saat ini mereka sudah mulai mengonsumi beras yang sebelumnya mengonsumsi gandum. Perubahan perilaku konsumsi ini akan bertambah dari tahun ke tahun yang berakibat pada persaingan masyarakat dunia untuk memperoleh beras. Di lain pihak, produktivitas beras terus menurun. Tidaklah mustahil bahwa suatu saat nanti kita akan sulit memperoleh beras.

Alasan keempat, daerah persawahan di NTT secara perlahan mengalami penurunan produktivitas padi karena empat alasan utama, seperti 1) pengalihan fungsi lahan sawah untuk kepentingan pemukiman khususnya bangunan (kasus di Lembor, Satar Mese, Mbay dan daerah persawahan lin di NTT), 2) menurunnya debit air karena pemanasan global yang mulai mengancam sumber air irigasi di NTT, 3) ketiadaan tenaga kerja produktif yang ada di desa karena sebagian besar tenaga kerja produktif telah 'escape' melalui program TKI, dan 4) usaha persawahan hanya akan memberikan keuntungan bagi petani jika luas lahan yang dikelola minimal satu hektar. Kenyataan, petani sawah kita memiliki luas lahan rerata hanya setengah hektar. Secara ekonomis petani yang memiliki lahan demikian hanya mampu mencapai 'break even point' belum mencapai keuntungan . Jika petani rasional maka dalam kondisi seperti ini mereka akan meninggalkan tanaman padi dan beralih ke tanaman lain.

Dengan melihat fakta yang disebut di atas, maka saya berpikir tidak terlalu berlebihan dan cukup rasional kalau saya menawarkan suatu gagasan alternatif untuk menggelorakan semangat menanam dan mengonsumsi pangan lokal serta mulai mengurangi konsumsi beras dengan suatu gagasan 'black campaign' terhadap beras. *

Pos Kupang edisi 2 Maret 2009 halaman 14
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

Lebu Raya: Jangan Bosan Tanam Jagung

KUPANG, PK -- Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Frans Lebu Raya, mengajak para petani di daerah ini tidak bosan-bosan menanam jagung. Pasalnya, hasil yang dicapai tidak semata untuk konsumsi keluarga, tetapi juga untuk kebutuhan industri dan pakan ternak.

"Jika jagung tidak berbuah, batang dan daunnya bisa dimanfaatkan petani untuk pakan ternak. Karena itu, jangan pernah merasa bosan untuk tanam jagung," kata Gubernur Lebu Raya di Kupang, Minggu (1/3/2009). 

Dikatakannya, saat ini sudah muncul istilah "tanam jagung panen sapi". Istilah tersebut, jelasnya, mencerminkan bahwa manfaat dari menanam jagung tidak hanya untuk konsumsi keluarga dan kebutuhan industri, tetapi juga untuk pakan ternak jika jagung tidak menghasilkan buah berlimpah.

Setelah mengunjungi sejumlah daerah pertanian di daratan Pulau Flores, Lembata dan Timor, Gubernur NTT optimis bahwa program "jagungisasi" yang dicanangkan akan memberi manfaat bagi para petani, karena hasilnya sangat menggembirakan.

Di Desa Nule, Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), misalnya, tanaman jagung yang sebelumnya hanya memproduksi 2 ton per hektare, kini telah meningkat menjadi 6,5 ton/hektare.

"Ini sebuah perubahan peningkatan produksi yang cukup signifikan. Karena itu, saya optimistis dengan pengembangan tanaman jagung di NTT. Saya memiliki sebuah obsesi untuk menjadikan NTT sebagai lumbung jagung di Indonesia," katanya.

Gubernur Lebu Raya mengakui bahwa para petani tetap merasa cemas karena khawatir produksi jagung yang diolah, tidak dipasarkan.

"Memang masih banyak petani yang merasa cemas setelah panen raya. Tetapi saya tegaskan bahwa banyak pengusaha yang menanti produksi jagung dari NTT. Karena itu, para petani tidak perlu jemu dan bosan menanam jagung," tandasnya. (ant)

Belum Paham Mekanisme Pasar

KEPALA Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTT, Ir. Piet Muga mengatakan, kecemasan yang dihadapi para petani saat ini cukup beralasan. Pasalnya, para petani itu belum paham soal mekanisme pasar.

"Produksi jagung tersebut tidak semata-mata untuk konsumsi keluarga, tetapi juga untuk pakan ternak. Jagung juga bisa diolah menjadi emping dan dijual kepada pengusaha jagung. Mekanisme ini tampaknya belum diketahui oleh para petani, sehingga mereka selalu dihantui rasa cemas," ujarnya.

Menurut perkiraannya, produksi jagung di NTT tahun ini mengalami surplus sekitar 600 ton lebih dari total produksi normal sekitar 510 ribu ton per tahun.

"Meski indeks produksinya cukup menggembirakan, namun saya agak pesimis soal turunnya harga jagung di pasaran, yang saat ini mencapai Rp 2.000,00/kg. Jika masa panen nanti, diperkirakan April dan Mei 2009 nanti, harga jagung diperkirakan turun. Ini hukum ekonomi pasar yang tidak bisa dihindari," ujarnya.

Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah NTT, Paulus R Todung, yang dikonfirmasi secara terpisah, mengatakan, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan sejumlah koperasi di daerah ini untuk membeli jagung dari para petani.

"Saya akan usulkan kepada gubernur agar dapat mengalokasikan dana membeli jagung dari para petani saat masa panen nanti. Ini memang sulit, tetapi kami akan coba untuk melakukannya, agar petani senantiasa termotivasi untuk terus mengembangkan jagung," ujarnya. (ant)

Lanjut...

Posted in Label: , , | 0 komentar

Pidra Sumba Timur Adopsi Program Nasional

Oleh Adiana Ahmad

PROGRAM Pidra yang dicanangkan pemerintah dalam rangka mempercepat pengentasan kemiskinan mendapat sambutan hangat dari pemerintah dan masyarakat Sumba Timur (Sumtim). Pola pemberdayaan dan pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan melalui program ini mampu menyentuh masyarakat marginal yang sebelumnya sulit terjangkau oleh program pembangunan. 

Kehadiran program ini di Sumbtim tahun 2004 lalu di 22 desa, di lima kecamatan, yakni Paberiwai, Matawai Lapawu, Kahaungu Eti, Nggaha Ori Angu dan Haharu, telah melahirkan 211 kelompok tani dengan anggota 3.754 KK miskin. Kelompok yang ada itu telah berhasil mengumpulkan dana Rp 3.167.192.001 yang terdiri dari hibah prestasi Rp 1.507.062.750, usaha kelompok Rp 1.660.129.251,00.

Kehadiran program Pidra juga telah membuka isolasi daerah terpencil melalui pembangunan sarana-prasarana berupa jalan sepanjang 22,2 km, tiga jembatan, perpipaan sepanjang 31,968 km, 17 unit bangunan pelindung mata air, 41 bak penampung air hujan, 21 unit sumur, tiga ruang sekolah, satu pasar desa, lima unit MCK dan lima cek dam/jebakan air. Selain di sektor sarana dan prasarana, progam ini juga menyentuh bidang pengembangan usaha produksi petenakan dan pertanian, pembangunan kebun bibit desa, pengembangan DAS mikro dan konservasi lahan, serta peralatan dan mesin pertanian.


Sejalan dengan intervensi program di sektor tersebut, melalui Pidra, para petani dan keluarga miskin dibekali berbagai keterampilan seperti kursus administrasi dan keuangan kelompok, pengembangan manajemen kelompok, budidaya hortikultura, pengolahan hasil pertanian, vaksinasi petenakan, konservasi tanah dan air, pelatihan relawan, budidaya ternak kecil, budidaya tanaman perkebunan, penguatan administrasi, manajemen pemasaran hasil, dan masih banyak lagi.

Program Pidra telah mampu melahirkan petani handal, dan juga pelaku ekonomi baru meskipun dalam skala kecil. Sayang, program ini harus berakhir Desember 2008. Pemda Sumtim kemudian berupaya agar roh/semangat yang dibangun dan dikembangkan melalui program Pidra tidak hilang bersamaan berakhirnya program tersebut. 

Menyadari program ini pasti akan berakhir, sementara masyarakat masih membutuhkan pendampingan, maka tahun 2005 Badan Bimas Ketahanan Pangan Sumtim melalui dana APBD II setempat merancang program yang modelnya hampir sama denga Pidra. Dimulai dari 32 kelompok di lima desa di Kecamatan Kambata Mapambuhang, Pandawai, dan Haharu, kini Pidra daerah berkembang di sembilan desa dengan 54 kelompok binaan beranggotakan 1.065 Kk miskin. Kelompok binaan Pidra Daerah Sumtim bukan kelompok bekas binaan Pidra nasional tapi kelompok baru yang belum tersentuh.

Sembilan desa yang telah disentuh Pidra Daerah, yakni Maradamundi, Lukuwingir, Waimbidi, Maubokul, Laindeha, Kalamba, Kadahang, Wunga dan Napu. Kelompok tani yang ada melalui swadaya telah mampu mengumpulkan dana Rp 76.575.700,00. Sementara intervensi pemerintah daerah dilakukan melalui pengembangan usaha produksi, peralatan dan mesin pertanian, sarana prasarana, pelatihan teknis dan pelatihan modul.

Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan Sumtim, Ida Bagus Putu Punia, ditemui di ruang kerjanya, Senin (2/3/2009), mengaku pembentukan Pidra Daerah cuma berbekal modal nekad dengan acuan pemikiran kalau progam ini bagus mengapa daerah tidak tindak lanjuti?

Sejak itu, kata Bagus, Pemda Sumtim melalui dana APBD II mengalokasikan dana untuk program ini. Tahun 2005 dialokasikan dana Rp 270 juta, tahun 2006 berkembang menjadi Rp 300 juta, tahun 2007 menjadi Rp 330 juta, tahun 2008 Rp 470 juta, dan tahun 2009 menjadi Rp 870 juta. Dana tersebut selain untuk pendampingan, juga untuk modal kelompok. Modal kelompok bukan dalam bentuk uang tunai tapi dalam bentuk bantuan ternak sapi dan kambing. Ternak ini menjadi milik kelompok. Hasil penjualannya masuk ke kas kelompok. 
Anggota yang membutuhkan dana segar bisa meminjam dari kas kelompok.

Dampak pelaksanaan Pidra Daerah ini, jelas Bagus, mulai terlihat, antara lain masyarakat mulai menabung. Padahal sebelumnya masyarakat tidak terbiasa menabung. Masyarakat juga sudah mulai mengembangkan usaha dagang melalui kelompok yang memudahkan mereka mendapatkan barang kebutuhan hidup dengan harga terjangkau. 

Pidra Daerah sedikit berbedah dengan Pidra Nasional. Kalau Pidra Nasional target pertumbuhan ekonomi masyarakat binaannya empat tahun, maka Pidra Daerah hanya satu tahun. Enam bulan pemberdayaan, enam bulan pertumbuhan. Salah satu program Pidra Nasional tidak bisa diikuti daerah, yakni pelatihan modul karena biayanya besar. 

Dia mengatakan, yang penting dari program ini adalah membangun kesadaran masyarakat untuk bisa berkelompok. Jika masyarakat sudah memiliki kesadaran dan kemauan untuk berkelompok, maka cukup mudah untuk melakukan intervensi program. Dia mengaku kesadaran berkelompok sudah mulai tumbuh di kelompok binaannya, bahkan saat ini kelompok yang dibentuk melalui Pidra Daerah sudah mampu membuat neraca. (*)

Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar

7 Penderita Gizi Buruk masuk Panti Bitefa

KEFAMENANU, PK-- Selama bulan Februari 2009, tujuh balita penderita gizi buruk di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dirawat intensif di Panti Rawat Gizi di Kelurahan Bitefa, Kecamatan Miomaffo Timur. Dari jumlah ini, dua balita positif menderita marasmus. Keduanya bernama Ignasius Elu (22 bulan), asal Oemeu dan Kornelia Kolo (23), asal Bitefa.

Pengelola Panti Rawat Gizi, dr. Lambert Tokan, dikonfirmasi Sabtu (29/2/2009) siang, melalui salah satu perawat, Nona Fanty Amsikan membenarkan hal ini. "Ada tujuh balita dirawat intensif dan dua balita positif marasmus," kata Amsikan.

Ia merincikan, tujuh balita itu bernama Christino Lamuda (8 bulan) asal Kaubele, menderita gizi kurang; Epifania Olin (22 bulan) asal Oeolo, menderita gizi buruk; Ignasius Elu (22 bulan) asal Oemeu menderita marasmus; Gilberto Metan (22 bulan) asal Bitefa, menderita gizi buruk; Cornelia Kolo (23 bulan) asal Bitefa, menderita marasmus; Alfridus Seno (15 bulan) asal Manufui, menderita gizi buruk; dan Jendrina Ufa (26 bulan), asal Manufui, menderita gizi buruk.

"Di panti ini tiap balita diberi makanan bergizi termasuk ibu kandung yang sedang menyusui anaknya. Dengan begitu bila ibunya sehat karena makan makanan bergizi, produksi ASI buat anaknya bagus dan lancar," jelas Amsikan. 

Ia menjelaskan, salah satu balita bernama Epifania Olin, sudah dipulangkan ke rumahnya, Sabtu (29/2/2009) pagi, karena dinyatakan sembuh dan berat badannya kembali normal.

Soal stok makanan obat-obatan, susu dan telur, Nona Amsikan mengatakan stok masih mencukupi meski anggaran belanja untuk tahun 2009 belum cair. "Semua kegiatan di panti ini berjalan lancar dan tim masih terus melakukan pelacakan di kampung, dusun dan desa terpencil untuk menyelamatkan balita penderita gizi buruk," katanya.

Ny. Adriana Subun, ibunda balita penderita marasmus, Ignasius Elu, mengatakan ia senang anaknya dirawat di Panti Rawat Gizi. "Anak saya diberi makanan bergizi. Ada nasi tambah sayur dan daging. Kadang ikan ditambah tempe dan tahu atau telur. Juga diberi susu. Saya juga diberi makanan bergizi," kata Ny. Subun saat ditemui di Panti Rawat Gizi, Sabtu siang.

Ditanya kenapa anaknya tidak terurus, Ny. Subun mengatakan sejak umur satu tahun, ia sering menitipkan anaknya kepada ibu kandungnya. "Saya tinggalkan untuk berjualan di pasar. Sore baru pulang. Anak tidak terurus. Itu salah saya. Tapi mau bagaimana. Jika tidak jualan di pasar kami mau makan apa? Suami cuma seorang petani," katanya.

Catatan Pos Kupang total balita penderita gizi buruk di TTU sampai November 2008 menjadi 882 balita dari total balita di TTU sebanyak 20.187 balita yang menjalani penimbangan badan di Posyandu. Jumlah kasus gizi buruk di TTU tahun 2008 menurun drastis dibandingkan tahun 2007. 

Sejak bulan Januari - Juni 2007 sebanyak 1.178 balita (6,2 persen) dari total 17.782 balita ditimbang di posyandu diindetifikasi mengalami gizi buruk. Sedangkan 6.583 (34,8 persen) balita mengalami gizi kurang, 10.008 (52,9 persen) balita menyandang status gizi baik dan sisanya 13 orang (0,07 persen) balita menyandang status gizi lebih. (ade)

Pos Kupang edisi 4 Maret 2009 halaman 15
Lanjut...

Posted in Label: , | 0 komentar