Atasi Gizi Buruk, Dinkes-Unicef Kerja Sama

SoE, PK-- Wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang setiap tahun selalu 'berlangganan' kasus kejadian luar biasa (KLB) diare dan gizi buruk membuat lembaga PBB prihatin. Karena itu, melalui salah satu lembaga di bawah patung PPB, yakni Unicef membangun kerja sama dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) TTS untuk mengatasi penyebab kasus KLB yang sering menelan korban jiwa di TTS.

"Program ini kami namakan Community Led Total Sanitation (CLTS/total sanitasi dipimpin masyarakat). Program ini kami luncurkan di Kabupaten TTS selama tiga tahun ke depan untuk tujuh desa yang warganya sering terkena KLB," jelas Officer West Unicef NTT, Muhammad Zainal, kepada wartawan di Desa Oehela, Kecamatan Batu Putih, Kamis (19/6/2008).

Zainal yang didampingi Kasubdin Penyehatan Lingkungan Dinkes TTS, Cornelis Meta mengatakan, masalah kesehatan sanitasi menjadi salah satu faktor utama berulangnya kasus penyakit berbasis lingkungan, seperti diare, malaria, TBC dan ISPA di TTS. Cakupan kesehatan sanitasi meliputi air bersih, sanitasi dan perubahan perilaku.

Menurut Zainal, warga masih banyak membuang air besar (berak) di sembarang tempat menjadikan kasus diare mudah kena masyarakat. Dari data Dinkes TTS diperoleh fakta bahwa warga yang memiliki jamban baru 46 persen. Sisanya masih membuang air besar disembarang tempat.

Zainal mengatakan, fakta inilah yang dijadikan Unicef untuk mencoba mengubah perilaku masyarakat membuang air besar. Unicef akan mencoba memberikan pengertian dengan berbagai programnya agar masyarakat buang hajat di jamban. "Saya tekankan di sini, kami tidak akan membuatkan jamban untuk masyarakat. Kehadiran Unicef di TTS ingin memberikan kesadaran kepada masyarakat betapa pentingnya kepemilikan jamban," tambahnya.

Bentuk penyadarannya, kata Zainal, Unicef merekrut sekitar 30 warga untuk dilatih baik tokoh masyarakat, BPD, PKK, Bappeda, Dinkes TTS yang bertugas menyampaikan kepada masyarakat tentang pentingnya kepemilikan jamban.

"Saat ini ada warga di dua desa yang kami latih menjadi kader, yakni Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, dan Desa Oeekam, Kecamatan Noebeba. Saat ini mereka sedang praktek di lapangan bagaimana mengajak masyarakat memiliki jamban di rumahnya masing-masing. Caranya, masyarakat dipicu dengan menumbuhkan rasa jijik bila membuang kotoran di sembarangan tempat,"tambahnya.

Kasubdin Penyehatan Lingkungan Dinkes TTS, Cornelis Meta, mengatakan, tidak sekadar program penyadaran, namun kerja sama ini untuk bangunan fisik berupa sarana air bersih perpipaan dengan sistem gravitasi.

"Bila program ini berhasil maka dapat dijadikan sebagai salah satu model untuk ditindaklanjuti pemerintah ke depannya. Dalam arti, pemerintah dapat menerapkan hal yang sama di desa yang belum tersentuh program CLTS," jelas Meta. (aly)

Pos Kupang edisi Senin 23 Juni 2008, halaman 15
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Susui 9 Bayi, Polwan China Naik Pangkat

CHENGDU, PK--- Jiang Xiaojuan, wanita polisi yang terkenal di kalangan rakyat China karena memberi ASI kepada bayi yatim-piatu setelah gempa 12 Mei lalu, secara resmi telah dinaikkan pangkatnya satu tingkat di biro polisi lokal. Namun ada kontroversi di negeri itu mengenai pengangkatan tersebut.

"Jiang diangkat menjadi anggota Komite Biro Keamanan Masyarakat Jiangyou, Partai Komunis China (CPC), dan Wakil Komisaris Biro itu, Kamis," kata seorang pejabat bermarga Su dari Departemen Organisasi Komite CPC Jiangyou, Propinsi Sichuan, kepada Xinhua, Sabtu (21/6/2008).

Jiang saat ini melakukan pidato keliling dan akan memangku jabatan segera setelah ia kembali ke Jiangyou, kata pejabat tersebut. Su membantah laporan media bahwa pengangkatan itu telah ditangguhkan akibat kontroversi.

Banyak orang menyampaikan keberatan ketika pemerintah Jiangyou meminta pendapat masyarakat setelah melakukan pengangkatan. Mereka mengatakan satu posisi resmi tak boleh digunakan untuk mempromoasikan seorang contoh moral.

"Pengangkatan semacam itu akan menyulut kegiatan spekulasi," tulis satu anggota masyarakat pengguna internet yang bernama "West Line" di forum internet terkemuka forum.xinhuanet.com, sementara seorang lagi menyatakan promosi mesti dilandasi atas kemampuan seseorang.

Tetapi ada banyak juga pendukung pengangkatan Jiang. Mereka mengatakan apa yang dilakukannya memperlihatkan bahwa ia adalah seorang petugas negara yang baik. Su, pejabat di Jiangyou, memuji perdebatan tersebut, dan mengatakan, "Itu memperlihatkan masyarakat tertarik pada promosi para pejabat pemerintah dan antusiasme mereka pada politik."

Namun Su mengatakan, "Kami telah melewati prosedur yang seharusnya dan percaya ia memenuhi syarat untuk posisi barunya." Jiang (30), ibu satu anak yang berusia enam bulan, menitipkan bayinya sendiri kepada kedua orang-tuanya dan ikut dalam kegiatan pertolongan bencana setelah gempa Sichuan.

Karena terdorong oleh nasib buruk banyak bayi yang terpisah dari ibu mereka, Polwan Jiang akhirnya memberi ASI kepada sembilan bayi. Gambar saat ia menyusui tersebar di seluruh negeri tersebut, sehingga ia diberi nama julukan "ibu polisi".

Sejak itu, ia telah mendapat sebutan penghargaan seperti "pahlawan dan personil polisi panutan" dari Kementerian Layanan Masyarakat dan Departemen Organisasi Komit Pusat CPC. (xinhua/kcm)

Pos Kupang edisi Senin, 23 Juni 2008 halaman 19
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Gerakan Kedaulatan Pangan Atasi Gizi Buruk

INDONESIA sudah merdeka lebih dari 62 tahun, namun persoalan gizi buruk masih menghantui sebagian warganya. Sungguh mengenaskan. Bagaimana bisa di era sekarang, masih dijumpai ribuan, mungkin malah ratusan ribu anak balita, yang menjadi pemegang masa depan Indonesia menderita gizi buruk.

Coba lihat dan tengok sesaat ke wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Di sana masih dijumpai sebanyak 1.466 kasus gizi buruk yang melanda anak-anak balita. Itu yang terdata. Jadi mungkin angka sesungguhnya bisa lebih dari itu.

Sebanyak 1.466 kasus gizi buruk yang melanda anak-anak balita di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) sebenarnya bukan hanya menjadi persoalan pemerintah TTU. Tetapi ternyata kasus gizi buruk juga terjadi di seluruh kabupaten di NTT, termasuk di Kota Kupang. Hanya saja, sorotan media terhadap kasus ini pertama adalah yang pertama kalinya di daerah yang berbatasan langsung dengan daerah enklave Timor Leste ini.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) TTU, Pater Marianus Kobatoyo, SVD, menilai, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) TTU tidak serius dalam menangani 1.178 anak balita yang tertimpa gizi buruk dan kurang gizi di daerah ini. Padahal, anak-anak balita tersebut memiliki hak hidup dan hak untuk tumbuh kembang serta hak mendapatkan perlindungan dari pemerintah, antara lain melalui pelayanan kesehatan.

Dikatakannya, dalam kondisi yang begitu memrihatinkan dan mendapatkan perhatian nasional, mestinya pemerintah menghentikan berbagai kegiatan yang menguras kas daerah dalam jumlah besar dengan mengalihkannya bagi kepentingan yang jauh lebih besar dan langsung menyentuh akar persoalan yang tengah dihadapi daerah ini.

Ketidakseriusan pemerintah kabupaten terlihat jelas ketika penanganan kasus gizi buruk di daerah ini pada tahun-tahun sebelumnya mendapatkan bantuan dari Care International yang membangun Panti Rawat Gizi yang tediri dari sebuah gedung lengkap dengan fasilitasnya. Bahkan, lembaga ini sempat menangani pemulihan status gizi buruk yang menimpa banyak balita di daerah ini.

Justru setelah panti tersebut diserahkan kepada pemerintah TTU, sempat tidak difungsikan karena ketiadaan dana operasional. Padahal, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) TTU tahun 2007 telah dialokasikan Rp 189 juta untuk penanganan kasus gizi buruk di panti tersebut. Sehingga panti yang dikhususkan bagi pemulihan gizi balita terkesan diterlantarkan begitu saja.

Mestinya, tingginya kasus gizi buruk dapat ditekan dengan memanfatkan panti yang berkapasitas 18 pasien tersebut secara berkesinambungan. Di mana, pada setiap putaran ditangani 18 kasus. Apabila status gizinya membaik setelah dilakukan intervensi, pasien dapat dipulangkan dan didatangkan lagi 18 penderita gizi buruk yang tercatat di berbagai puskesmas.

Bupati TTU, Drs. Gabriel Manek, M.Si, di Kefamenanu, belum lama ini secara tegas menolak anggapan bahwa kasus gizi buruk ini hanya terjadi di TTU. "Kasus gizi buruk ini secara merata terjadi di seluruh daerah di NTT. Jadi bukan hanya menjadi persoalan yang dihadapi pemerintah TTU. Tetapi, secara
pribadi saya harus berterima kasih kepada teman-teman pers atas apa yang diungkap teman-teman wartawan," imbuhnya.


Sangat serius
Dikatakannya, pemerintah sangat serius menangani kasus gizi buruk yang ada. Di mana, telah distribusikan bantuan susu dan makanan tambahan ke 15 puskesmas yang tersebar di TTU. Selain itu, alokasi dana APBD untuk penanganan gizi buruk telah dicairkan dan dimanfaatkan. Demikian pula, Panti Rawat Gizi yang ada telah dioptimalkan bagi penanganan sejumlah anak penderita gizi buruk.

Keseriusan pemerintah, lanjutnya, adalah dengan mencanangkan Gerakan Penanganan Diare dan Gizi Buruk sejak Juli 2007 dan disusul dengan Gerakan Kedaulatan Pangan yang dicanangkan April 2008. "Biasanya kasus gizi buruk muncul setelah timbulnya kasus diare. Itulah penanganannya harus serempak karena menurunnya daya tahan anak setelah terserang diare, mengakibatkan status gizi anak juga berkurang," tuturnya.

Menurut Bupati Manek, keseriusan pemerintah tidak ada artinya apabila tidak didukung masyarakat itu sendiri. Sebab, perilaku masyarakat yang sudah membudaya selama ini adalah, anak-anak yang menderita penyakit kurang mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak itu hanya diberi makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang diberikan. Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah menipis.

Sesuai hasil pelacakan yang dilakukan tim medis TTU hingga pekan kedua September 2007, terdapat 1.466 kasus gizi buruk, di antaranya 35 penderita dengan kelainan klinis dan 7.267 balita yang berstatus gizi kurang. Ini
menunjukkan, persoalan gizi buruk masih tinggi di daerah ini dan perlu mendapatkan prioritas dalam penanganannya.
Nikolas Kono, salah satu warga TTU, mengaku, sebenarnya penyebab masalah gizi buruk yang menimpa anak-anak balita di daerah ini adalah budaya belis atau mahar dalam setiap proses perkawinan. Di mana, umumnya keluarga calon isteri menentukan harga belis dalam jumlah yang tinggi dan sering tidak masuk diakal. Dengan demikian, keluarga muda yang ada
harus bekerja keras untuk menutupi hutang belis itu.

Dikatakannya, suami atau kepala keluarga harus tahu diri dengan membawa ternak atau bahan makanan ketika keluarga perempuan mengadakan pesta atau hajatan. Akibatnya, persediaan makanan sangat cepat terkuras untuk pesta-pesta keluarga. Misalnya, saat anak dibaptiskan, sambut baru, pinangan, perkawinan maupun saat ada anggota keluarga yang meninggalk dunia.

Perincian
Data yang diperoleh dari Kepala Dinas Kesehatan TTU, dr. Michael Suri, MM mengungkapkan, hasil pelacakan yang dilakukan petugas Puskesmas Eban, tercatat
600 balita gizi kurang, 284 balita gizi buruk dan tiga penderita gizi buruk dengan kelainan klinis. Di Puskesmas Oeolo, tercatat 494 kasus gizi kurang dan 93 gizi buruk. Sementara di Nunpene, tercatat 619 gizi kurang, 102 gizi buruk dan dua gizi buruk dengan kelainan klinis.

Pelacakan di Puskesmas Sasi mencatat, 642 gizi kurang, 87 gizi buruk dan empat gizi buruk dengan kelainan klinis. Di Puskesmas Noemuti, tercatat 298 kasus gizi kurang dan 21 kasus gizi buruk. Puskesmas Oemeu, tercatrat 364 gizi
kurangh, 93 gizi buruk dan dua gizi buruk dengan kelainan klkinis. Puskesmas Maubesi mencatat 756 gizi kurang, 130 gizi buruk dan satu gizi buruik dengan kelainan klinis. Puskesmas Oelolok mencatat 760 gizi kurang, 167 gizi buruk dan tiga gizi buruk dengan kelainan klinis.

Sementara itu, di Puskesmas Wini tercatat 325 kasus gizi kurang dan 11 gizi buruk dan tiga gizi buruk dengan kelainan klinis. Puskesmas Manufui mencatat 427 gizi kurang dan 67 gizi buruk. Puskesmas Ponu mencatat 387 gizi kurang, 115 gizi buruk dan tiga gizi buruk dengan kelainan klinis. Puskesmas Kaubele mencatat 301 gizi kurang dan 45 gizi buruk. Puskesmas Tasinifu mencatat 380 gizi kurang dan 80 gizi buruk. Puskesmas Bitefa mencatat 446 gizi kurang, 109 gizi buruk dan empat gizi buruk dengan kelainan klinis.

Menurut dr. Michael Suri, pelacakan yang dilakukan petugas kesehatan di setiap puskesmas tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani kasus gizi
buruk. Sebab, dengan adanya data resmi penderita gizi kurang dan gizi buruk maupun gizi buruk dengan kelainan klinis akan memudahkan pemerintah dalam melakukan intervensi.
Keterbatasan anggaran untuk penanganan 35 kasus gizi buruk dengan kelainan klinis saja membutuhkan biaya sebesar Rp 37,8 juta. Di mana setiap anak balita membutuhkan biaya sebesar Rp 12.000 per hari dengan masa intervensi selama 90 hari. Sementara untuk penanganan 1.466 kasus gizi buruk dibutuhkan dana sebesar Rp 1.583.280.000.

Padahal, alokasi dana APBD untuk penanganan gizi buruk hanya Rp 198 juta. Sehingga, masih dibutuhkan lagi dana sebesar Rp 1.394.280.000 untuk penanganan lanjutan. Untuk itu, segera diusulkan penambahan dana dalam Sidang Perubahan Anggaran bagi penanganan kasus gizi buruk ini.

Anggota DPR RI, dr. Charles Mesang, yang ditemui di pelataran Kantor Bupati TTU di Kefamenanu pekan lalu mengatakan, pihaknya memberikan perhatian serius terhadap kasus gizi buruk yang melanda seluruh kabupaten/kota di NTT, termasuk di TTU.

Untuk itu, pihaknya telah melakukan pembicaraan dengan Departemen Kesehatan dan hasilnya, sejumlah bantuan susu dan makanan tambahan telah didistribusikan ke seluruh daerah.
Selain itu, pemerintah kabupaten/kota diharapkan memberikan data resmi menyangkut kasus gizi buruk yang ada di daerahnya. Sehingga nantinya dapat dibahas di DPR agar dapat ditetapkan alokasi anggaran bagi penanganan kasus gizi buruk yang masih menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di NTT.

"Penanganan gizi buruk membutuhkan dana yang cukup besar, sehingga perlu dukungan dana dari pemerintah pusat lewat APBN," tambahnya. * (suara pembaruan)

http://spiritentete.blogspot.com/2008/06/gerakan-kedaulatan-pangan-atasi-gizi.html
Lanjut...

Posted in Label: , | 2 komentar

Gizi Buruk di Halaman Depan RI

Jakarta, Kompas - Kasus gizi buruk pada anak berusia di bawah lima tahun atau balita muncul lagi di Jakarta Utara. Ada 1.219 bayi dalam pantauan untuk program perbaikan gizi. Sebanyak 788 anak balita di antaranya menderita gizi kurang, dan bahkan sisanya, 431 anak balita, menderita gizi buruk hingga ada yang harus dirawat di rumah sakit.

Penyebab umum kasus gizi buruk ialah faktor ekonomi. "Misalnya akibat kekurangan makanan, asupan gizi untuk anak menjadi berkurang. Kualitas makanan pun buruk. Lingkungan yang jelek juga ikut menyebabkan munculnya penyakit," kata Kepala Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Jakarta Utara Paripurna Harimuda di Jakarta, Kamis (19/6/2008).

Jumlah anak balita tersebut, kata Paripurna, adalah hasil akumulasi penimbangan di lima kecamatan di Jakarta Utara selama bulan Mei. Diketahui, 1.219 anak balita masuk dalam kategori bawah garis merah (BGM), seperti terekam pada lembar kartu menuju sehat (KMS).

Kasus gizi buruk tidak terjadi secara akut, tetapi ditandai dengan kenaikan berat badan anak yang tidak cukup selama beberapa bulan. "Dan hal itu diukur berdasarkan penimbangan di posyandu," kata Paripurna.

Dari jumlah total itu, sebanyak 160 anak balita kategori BGM ditemukan di Kecamatan Penjaringan, 70 anak di Pademangan, 240 anak di Tanjung Priok, 368 anak di Koja, 26 anak di Kelapa Gading, dan 255 anak di Cilincing. (CAL)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/20/01165981/gizi.buruk.muncul.lagi.di.jakarta.utara
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Gizi Buruk Meningkat

Banjarmasin, Kompas - Temuan kasus anak balita bergizi buruk di Kalimantan Selatan meningkat. Apabila bulan Maret terdapat 14 kasus, pertengahan Juni jumlahnya melonjak menjadi 95 kasus, 6 di antaranya meninggal. Selain kemiskinan dan rendahnya pengetahuan, kurangnya tenaga kesehatan juga menjadi penyebab.

Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan Rosehan Adani melalui Kepala Subdinas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Rudiansyah, Kamis (19/6/2008) di Banjarmasin, menyatakan, kasus gizi buruk terjadi hampir merata di 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Anak balita penderita gizi buruk kini mendapat makanan tambahan berupa bubur instan, biskuit, dan susu. Selain itu, tiap keluarga mendapat Rp 750.000 dari Pemerintah Provinsi Kalsel untuk perbaikan gizi.

Menurut Rudiansyah, kesehatan anak balita tidak terpantau karena 95 persen tidak pernah dibawa ke posyandu. Selain miskin, kesadaran orangtua terhadap kesehatan rendah akibat rendahnya pendidikan. "Pendidikan orangtua 90 persen hanya sekolah dasar, bahkan ada yang tidak tamat," katanya.

Pelayanan kesehatan juga terbatas. Dari 1.892 desa di Kalsel, sebanyak 816 desa belum punya bidan desa. Pemprov Kalsel menargetkan, tahun 2010 seluruh desa di Kalsel memiliki bidan. Rudiansyah memprediksikan, temuan gizi buruk akan makin banyak akibat makin beratnya kondisi ekonomi.

Salah satu penderita, Aminah (2), anak bungsu Farida (35), saat ditemui rumah kontrakan di Gang Gandapura, Banjarmasin, Kamis petang, kondisinya mulai membaik setelah mendapat makanan tambahan.

Farida punya tiga anak lain, yaitu Fitri (10), Muhammad (7) yang berbadan kurus dan tidak bisa bicara, dan Suharda (6) yang mengalami lumpuh. Farida bekerja sebagai pengupas bawang. Suaminya, Ramli, bekerja di Malaysia dan tidak ada kabar.

Sementara di Palangkaraya, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah Djono Koesanto menuturkan, pihaknya berusaha menjaring kasus anak balita bergizi buruk di Kalteng lewat posyandu. Ada 1.700 posyandu aktif di 13 kabupaten/kota di Kalteng. Hasilnya, lima bulan terakhir ditemukan 10 kasus gizi buruk di beberapa kabupaten.

Selain mengaktifkan posyandu, ada juga proyek percontohan memberantas gizi buruk dengan menempatkan 10 lulusan akademi gizi sebagai pendamping dan pelatih kader posyandu serta mengunjungi warga untuk memberikan penyuluhan kesehatan dan gizi kepada para orangtua.
Para petugas dikontrak Dinas Kesehatan Kalteng dengan upah Rp 500.000 per bulan. (FUL/CAS)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/20/01102090/gizi.buruk.meningkat
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Mama, Eh....Sudah Cape Tidur

TUBUH Geraldino Dira (2) terbaring lemah di Ruang Rawat Inap Kelas III Kenanga, RSUD WZ Yohannes, Kupang, Rabu (18/6). Tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit. Sebatang jarum infus tertancap di tangan kiri yang disangga bantal.

Bocah laki-laki itu menderita infeksi paru, demam, dan diare berat sejak Desember 2007. Ia dirawat di rumah sakit akhir April 2008. Saat masuk, berat badannya 5,6 kilogram; dari yang seharusnya 15 kg. Kini berat badannya naik menjadi 5,8 kg.

Ibu Geraldino, Agnes Dira (24), menunggui di samping tempat tidur, sedangkan nenek Geraldino, Maria (54), duduk di lantai sambil menyandarkan punggung ke dinding.

"Saat Geraldino sakit, aku dan suamiku sedang sibuk menyelesaikan skripsi di Universitas Nusa Cendana, Kupang. Suami ambil Teknik Elekro dan aku ambil Biologi," kata Agnes.

Warga Kelurahan Fontein, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, ini kini sudah diwisuda. Namun, ia belum mencari pekerjaan karena menunggui anaknya yang sakit.

Ayah Geraldino, Fery Dira (29), juga belum punya pekerjaan tetap. Selama ini mereka masih bergantung pada Ny Maria yang telah menjanda. Untuk membawa Geraldino ke rumah sakit, mereka berbekal surat keterangan miskin dari ketua RT.

Geraldino terus merengek. Beberapa kali ia menatap mamanya sambil minta digendong. "Mama, eh. sudah cape tidur, minta gendong," pintanya.

Di bangsal lain, ada Emanuel (1,5) yang sudah dirawat 10 hari. Ia didiagnosis menderita maramus. Berat badannya hanya 4,8 kg. Anak pasangan Luki Ndun- Meri Ndun ini sulit makan, tetapi niat pihak rumah sakit untuk memasang infus ditolak Meri dengan alasan Emanuel tidak sakit berat. Meri tidak sekolah, sementara suaminya yang bekerja sebagai penjual ikan hanya bersekolah sampai kelas II SD.

Kepala Bidang Pelayanan RSUD WZ Yohannes dr E Frank Touw menuturkan, perawatan pihak rumah sakit sering ditolak keluarga pasien. Petugas perlu waktu beberapa hari untuk meyakinkan keluarga pasien. Akhirnya, banyak pasien tidak terselamatkan. "Padahal, perawatan kelas III di rumah sakit cuma-cuma karena pasien memiliki asuransi kesehatan untuk keluarga miskin," tuturnya.

Menurut Touw, penyebab utama gangguan gizi pada anak balita adalah pola makan. Orangtua mereka umumnya lebih banyak memberikan keripik dan makanan kecil dalam kemasan, kembang gula atau mi instan, dan kurang sabar untuk memberi nasi, ikan, sayuran, serta buah-buahan yang diperlukan untuk pertumbuhan anak.

Kemiskinan serta kurangnya pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan menjadi penyebab umum kasus gizi buruk.

Saat Kompas ke Dusun IV, Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, ada Iranda Isliko (1,5) yang berat badannya hanya 7,5 kg. Iranda hanya mau minum susu dan makan mi instan. Karena orangtuanya yang penyadap lontar tidak mampu lagi membeli susu, Iranda hanya diberi air nira lontar dan air gula.

Tetangganya, Bernadino Salem (5), berat badannya hanya 9 kg. Tubuhnya sangat pendek.

Ibu Bernadino, Ny Porsina Salem, menuturkan, tiap hari Dino pergi bermain sampai sore. Porsina tidak memanggil anaknya untuk makan karena tidak ada makanan. Pagi hari, Dino hanya diberi air nira lontar. Malam hari, kami makan singkong rebus atau sisa beras. Kalau tidak ada makanan, kami langsung tidur. Untuk Dino, kami beri mi instan," kata Porsina.

Stanis Salem, ayah Dino, adalah petani, tetapi sering gagal panen karena tanah desa tandus. Ketua Kader Posyandu Dusun IV Oelnasi Penina Tamnau mengatakan, penderita gizi buruk di dusun itu ada 18 anak dan gizi kurang 67 anak.

Penina Tamnau mengaku tidak memberi penyuluhan tentang gizi kepada para ibu rumah tangga. Lulusan kelas III SD ini tak paham mengenai gizi. Dia tidak mendapat pembekalan dari petugas kesehatan. Tugasnya hanya mengingatkan para ibu untuk menimbang anak balita serta ibu hamil untuk periksa di posyandu setiap bulan jika bidan datang dari Kota Kupang. (KORNELIS KEWA AMA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/21/01535725/mama.eh....sudah.cape.tidur.minta.gendong...

Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Bulog Pastikan Mampu Jaga Pangan

Jakarta, Kompas - Bulog memastikan mampu menjaga ketersediaan pangan meski musim paceklik akan dimulai Oktober 2008. Sementara fluktuasi harga beras ke depan bergantung pada kondisi permintaan dan penawaran. Departemen Pertanian memperkirakan produksi beras tahun ini lebih baik daripada tahun lalu.

Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar, Selasa (10/6/2008) di Jakarta, mengungkapkan, Bulog dan jajarannya akan tetap mengupayakan jaminan ketersediaan pangan, khususnya beras, sampai tiga bulan.

Hal ini dilakukan mengingat musim paceklik tahun 2008 dimulai Oktober saat produksi beras jauh di bawah konsumsi beras rata-rata nasional sebulan 2,6 juta ton. Teknisnya, ketersediaan pangan itu selalu disiapkan di gudang-gudang Bulog, baik gudang di Divisi Regional maupun gudang Dolog.

Hingga dua hari lalu ketersediaan beras di Bulog sebanyak 1,8 juta ton. Jumlah itu cukup untuk kebutuhan beras untuk rakyat miskin (raskin) selama enam bulan. Rata-rata penyaluran raskin per bulan 300.000 ton. Diupayakan ketersediaan stok beras ini tetap terjaga sehingga mampu menutup defisit beras pada musim paceklik nanti.

Menurut Mustafa, kemampuan masyarakat mengakses beras sangat dipengaruhi ketersediaan raskin dan fluktuasi harga di pasaran. Sementara fluktuasi harga itu sendiri sangat bergantung pada permintaan dan penawaran.

Selain dipengaruhi permintaan yang bersifat rutin, tinggi rendahnya permintaan beras nasional juga disebabkan spekulasi pedagang dan potensi merembesnya beras ke luar negeri karena pengaruh disparitas harga. Sementara suplai sangat tergantung dari produksi.

Produksi lebih baik

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso memperkirakan produksi beras tahun 2008 akan lebih baik daripada tahun lalu.

Menurut Sutarto, ada empat indikator yang bisa menunjukkan perbaikan produksi. Pertama, realisasi tanam periode Oktober 2007-Mei 2008 mencapai 10,11 juta hektar atau lebih tinggi 81.000 ha (0,81 persen) dibandingkan realisasi tanam periode yang sama tahun 2006/2007.

Kedua, penyaluran pupuk bersubsidi periode Januari-April 2008 mengalami peningkatan. Penyaluran pupuk urea mencapai 1,603 juta ton atau sekitar 119,3 persen dibandingkan tahun 2007 sebanyak 1,344 juta ton.

Penyaluran SP-36 Januari-April 2008 sebanyak 242.593 ton (88,29 persen dibanding realisasi 2007), ZA 247.501 ton (107,17 persen), dan NPK 284.595 ton (170,13 persen).

Ketiga, penyaluran benih bermutu periode Oktober 2007-Maret 2008 mencapai luasan 102.345 ton atau setara luas tanam 4,093 juta hektar. Volume penyaluran benih itu mencapai 53,04 persen dari target. Keempat, luas tanaman padi yang terserang bencana dan hama penyakit berkurang.

Luasan tanaman padi yang terserang organisme pengganggu tanaman (OPT) utama pada musim kemarau April-Mei 2008 memang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata lima tahunan. Namun, pada kenyataannya luas tanaman yang puso lebih kecil karena keberhasilan penanaman kembali (replanting).

Luas tanaman padi yang kekeringan dan kebanjiran Januari- April 2008 hanya 189.704 ha, lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama 2007 sebanyak 406.834 ha.

Sebuah ironi

Menanggapi kemungkinan pemerintah mengimpor beras, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo mengatakan, mengimpor beras ketika harga beras di pasar dunia sangat mahal merupakan ironi. "Mengapa Bulog tidak membeli beras produksi dalam negeri saja dengan harga mengikuti harga pasar," katanya.

Menurut Siswono, sikap Menteri Pertanian yang berubah pikiran soal kebijakan impor beras menunjukkan betapa hebatnya lobi-lobi bisnis pedagang beras.

Pendapat senada diungkapkan Ketua Umum HKTI Prabowo Subianto. Menurut Prabowo, belum lama pemerintah mengumumkan produksi gabah sekitar 57 juta ton atau naik 5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. "Namun, tiba-tiba muncul pernyataan pemerintah soal kemungkinan impor. Kalau cukup, mengapa impor?" ujar Prabowo dalam siaran persnya.

Sementara itu, Bulog kesulitan mendapatkan beras sesuai target karena pembelian berasnya dibatasi harga pembelian pemerintah (HPP), yakni Rp 4.300 per kilogram, sedangkan harga beras di pasaran saat ini mencapai Rp 5.200 per kg.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono menepis pernyataan bahwa dirinya mengatakan, impor beras harus tetap dilakukan meskipun dalam volume kecil.

Ia menegaskan, tidak pernah secara spesifik menyebut beras dalam pernyataannya soal importasi. Namun, kebijakan impor dalam volume kecil yang diungkapkannya bersifat umum, tidak spesifik komoditas beras.

Yang dimaksud impor beras dalam volume kecil, kata Anton, adalah beras spesifik, seperti menir atau beras untuk konsumsi penderita diabetes.

Secara terpisah, Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi menegaskan bahwa kegiatan ekspor dan impor beras perlu dipandang sebagai sesuatu yang wajar.

Persoalan kritis dalam kegiatan ekspor dan impor beras, menurut Bayu, terletak pada jenis beras yang diperdagangkan. Indonesia memerlukan impor jenis beras untuk kegunaan khusus yang tidak diproduksi di dalam negeri. (MAS/DAY)

Link
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/11/00461731/bulog.pastikan.mampu.jaga.pangan
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Gizi Buruk Tidak Selalu Tidak Mampu

Oleh Dr. Widodo Judarwanto, SpA
Picky Eaters Clinic Jakarta

Data terkini dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana DKI Jakarta menyebutkan, hingga Agustus 2006 tercatat 9.253 anak balita yang berat badannya di bawah garis merah atau gizi buruk (Kompas 5 Agustus 2006). Bagi sebagian orang mungkin ini adalah berita yang menghebohkan.

Topik hangat ini dianggap sebagai sumber berita eksklusif bagi media masa. Bagi pelaku politik dapat dijadikan alat komoditas untuk kepentingan tertentu. Bagaimana tidak, di kota metropolitan Jakarta yang secara fisik tampak glamour, mewah dan modern masih menyisakan sisi yang memprihatinkan. Benarkah gizi buruk yang terjadi di Jakarta karena kemiskinan?

Sebuah stasiun televisi swasta pernah menyiarkan topik penderita gizi buruk akibat kemiskinan. Anehnya, berita gambar yang muncul adalah anak yang sangat kurus sedang digendong si ibu yang gemuk, sehat dan bersih dengan baju yang cukup necis. Di latar belakang tampak rumah tinggalnya televisi berwarna 21 inchi dengan perangkat VCD dan dinding rumah tembok yang bagus.

Sebenarnya berita dan "informasi ganjil" tersebut tidak terlalu mengejutkan dan merupakan hal yang wajar. Penulis yang setiap hari praktek di Rumah Sakit swasta di kawasan Menteng Jakarta Pusat dengan mayoritas pengunjungnya ekonomi menengah atas kadang juga menjumpai kasus gizi buruk.

Penyebab utama kasus gizi buruk di kota metropolitan tampaknya bukan karena masalah ekonomi atau kurang pengetahuan. Kasus gizi buruk di kota besar biasanya didominasi oleh malnutrisi sekunder. Malnutrisi sekunder adalah gangguan peningkatan berat badan atau gagal tumbuh (failure to thrive) yang disebabkan karena karena adanya gangguan di sistem tubuh anak. Sedangkan penyebab gizi buruk di daerah pedesaan atau daerah miskin lainnya sering disebut malnutrisi primer, yang disebabkan karena masalah ekonomi dan rendahnya pengetahuan.

MALNUTRISI PRIMER
Gejala klinis malnutrisi primer sangat bervariasi tergantung derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita dan adanya gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering dijumpai pada anak usia 9 bulan hingga 5 tahun, meskipun dapat dijumpai pada anak lebih besar. Pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat dari kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas menurun, pertumbuhan tulang (maturasi) terlambat, perbandingan berat terhadap tinggi menurun.

Gejala dan tanda klinis yang tampak adalah anemia ringan, aktifitas berkurang, kadang di dapatkan gangguan kulit dan rambut. Kasus marasmik atau malnutrisi berat karena kurang karbohidrat disertai tangan dan kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit. Pada umumnya penderita tampak lemah sering digendong, rewel dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.


Marasmik adalah bentuk malnutrisi primer karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah berwarna kemerahan dan terjadi pembesaran hati. Anak tampak sering rewel, cengeng dan banyak menangis. Pada stadium lanjut yang lebih berat anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.

Pada penderita malnutrisi primer dapat mempengaruhi metabolisme di otak sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf. Pertumbuhan sel-sel otak baru atau mielinasi sel otak juga terganggu yang berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita malnutri primer yang berat. Kematian mendadak dapat terjadi karena gangguan otot jantung.

MALNUTRISI SEKUNDER
Malnutrisi sekunder adalah gangguan pencapaian kenaikkan berat badan yang bukan disebabkan penyimpangan pemberian asupan gizi pada anak Tetapi karena adanya gangguan pada fungsi dan sistem tubuh yang mengakibatkan gagal tumbuh. Gangguan sejak lahir yang terjadi pada sistem saluran cerna, gangguan metabolisme, gangguan kromosom atau kelainan bawaan jantung, ginjal dan lain-lain.

Data penderita gagal tumbuh di Indonesia belum ada, di negara maju kasusnya terjadi sekitar 1-5%. Artinya bila di Indonesia terdapat sekitar 30 juta anak, maka diduga terdapat 300.000 - 500.000 anak yang kurang gizi bukan karena masalah ekonomi. Bila di Jakarta terdapat 1 juta anak maka sekitar 10.000 - 50.000 anak mengalami kurang gizi bukan karena masalah ekonomi. Kasus tersebut bila tidak ditangani dengan baik akan jatuh dalam keadaan gizi buruk.

Gambaran yang sering terjadi pada gangguan ini adalah adanya kesulitan makan atau gangguan penyerapan makanan yang berlangsung lama. Tampilan klinis gangguan saluran cerna yang harus dicermati adalah gangguan Buang Air Besar (sulit atau sering BAB), BAB berwarna hitam atau hijau tua, sering nyeri perut, sering muntah, mulut berbau, lidah sering putih atau kotor.

Manifestasi lain yang sering menyertai adalah gigi berwarna kuning, hitam dan rusak disertai kulit kering dan sangat sensitif. Berbeda pada malnutrisi primer, pada malnutrisi sekunder tampak anak sangat lincah, tidak bisa diam atau sangat aktif bergerak. Tampilan berbeda lainnya, penderita malnutrisi sekunder justru tampak lebih cerdas, tidak ada gangguan pertumbuhan rambut dan wajah atau kulit muka tampak segar.

Ketua Tim Adhoc Program Revitalisasi Posyandu Rini Sutiyoso mengatakan bahwa penderita gizi buruk di Jakarta sering diikuti penyakit penyerta TBC (kompas, 5 Oktober 2006). Tetapi fenomena tersebut harus lebih dicermati. Karena, pada kasus malnutrisi sekunder sering terjadi overdiagnosis tuberkulosis (TB). Overdiagnosis adalah diagnosis TB yang diberikan terlalu berlebihan padahal belum tentu mengalami infeksi TB. Penelitian yang dilakukan penulis didapatkan overdiagnosis pada 42 (22%) anak dari 210 anak dengan gangguan kesulitan makan disertai gagal tumbuh yang berobat jalan di Picky Eaters Clinic Jakarta (Klinik Khusus Kesulitan Makan). Laporan Badan Koordinasi Keluarga Berencana DKI Jakarta, bahwa kasus TB sering menyertai.

Overdiagnosis tersebut terjadi karena tidak sesuai dengan panduan diagnosis yang ada. Hal lain adalah kesalahan dalam menginterpretasikan gejala klinis, kontak dan pemeriksaan penunjang khususnya tes mantoux dan foto polos paru. Sebaiknya bila diagnosis TB meragukan dilakukan konsultasi ke dokter ahli paru anak.

PENANGANAN BERBEDA
Bila kasus gizi buruk yang terjadi karena malnutrisi sekunder maka strategi penanganannya berbeda. Secara medis penanganan kasus malnutrisi sekunder lebih kompleks dan rumit. Penanganannya harus melibatkan beberapa disiplin ilmu kedokteran anak seperti bidang gastroenterologi, endokrin, metabolik, alergi-imunologi, tumbuh kembang dan lainnya.

Masukan data yang didapat harus cermat dan lengkap untuk menentukan apakah malnutrisi primer atau sekunder. Data yang ada harus didukung status medis, status ekonomi, pendidikan dan sosial yang akurat. Contohnya, pada keluarga tukang ojek di dapatkan satu anak gizi buruk tapi terdapat satu adiknya yang status gizinya bagus jangan langsung divonis kurang gizi akibat kemiskinan.

Gizi buruk memang merupakan masalah klasik bangsa ini sejak dulu. Tanpa data dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan. Karena, gizi buruk bukan saja disebabkan karena masalah ekonomi atau kurangnya pengetahuan dan pendidikan. **

http://avianflutidakseindahnamanya.blogspot.com/2006/10/gizi-buruk-tidak-selalu-tidak%20mampu. html
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

BBM Naik, Gizi Buruk Meningkat

ANGKA kasus kurang gizi dan gizi buruk dikhawatirkan akan meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Untuk itu, pemberian bantuan langsung tunai atau BLT perlu disertai dengan sosialisasi pengetahuan gizi kepada penerima bantuan agar dana bantuan dari pemerintah itu tepat sasaran dan memberi manfaat yang sangat bermakna bagi perbaikan gizi masyarakat.

Faktor utama yang langsung mempengaruhi status gizi masyarakat adalah tingkat konsumsi pangan dan status kesehatan. Dengan naiknya harga BBM, maka harga produk pangan akan naik sehingga bisa menurunkan tingkat konsumsi pangan di kalangan masyarakat, kata Martianto Drajat dari Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB), Senin (3/6/2008), saat dihubungi dari Jakarta.

Terkait hal itu, pemerintah harus segera mengantisipasi masalah tersebut dengan meningkatkan sosialisasi mengenai pola pengasuhan pada anak. Di tengah krisis pangan yang diperparah oleh kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan pokok, para orang tua harus memprioritaskan kebutuhan gizi pada anak mereka terutama yang masih berusia di bawah lima tahun.

Selain itu, pemerintah diharapkan tidak sekadar memberikan bantuan langsung tunai pada masyarakat miskin tanpa disertai pendampingan bagaimana pengelolaan keuangan keluarga yang tepat. Tanpa adanya sosialisasi mengenai pengetahuan gizi keluarga, bantuan itu tidak akan memberi dampak secara bermakna bagi perbaikan gizi masyarakat miskin.

Direktur Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Ina Hernawati menyatakan, Depkes secara rutin telah melakukan berbagai upaya perbaikan gizi masyarakat. Salah satunya, dengan memberikan makanan pendamping ASI bagi anak-anak balita dalam kegiatan posyandu di seluruh provinsi di Tanah Air. "Kami juga mengimbau agar masyarakat melakukan diversifikasi pangan sehingga tidak lagi tergantung pada beras sebagai sumber makanan pokok, " ujarnya.

Untuk menanggulangi masalah gizi kurang, dalam jangka pendek pemerintah melakukan perawatan kasus di rumah sakit sesuai prosedur yakni mengatasi keadaan kritis, mengobati penyebab penyakit dan menaikkan berat badan. Pada fase pemulihan, dilakukan upaya peningkatan status gizi dari gizi buruk jadi gizi baik melalui pemberian makanan bergizi dan waktu kontrol ulang di puskesmas atau RS.

Secara periodik, kader melakukan surveilans ulang kasus balita gizi kurang serta pemberian makanan pendamping ASI bagi balita usia enam sampai 24 bulan dari keluarga miskin. Pemerintah juga melakukan sosialisasi perbaikan pola asuh pemeliharaan balita seperti promosi pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi umur enam bulan, penimbangan berat badan balita secara teratur di posyandu untuk deteksi dan rujukan dini kasus gizi kurang.

Berdasarkan data Depkes, jumlah kasus gizi kurang dan gizi buruk menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2004, jumlah balita gizi kurang dan gizi buruk sebanyak 5,1 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2006, jumlah balita gizi kurang dan bur uk turun jadi 4,28 juta anak, dan 944.246 orang di antaranya balita risiko gizi buruk.

Pada tahun 2007, angka kasus balita gizi kurang dan buruk turun lagi jadi 4,13 juta anak, dan 755.397 orang di antaranya tergolong balita risiko gizi buruk. Sedangkan h asil surveilans gizi menunjukkan, kasus gizi buruk yang ditemukan dan ditangani 76.178 (tahun 2005), kemudian turun jadi 50.106 penderita (2006), dan tahun 2007 ada 39.080 orang. *

Link http://www.kompas.co.id/

Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

UNICEF: ASI Eksklusif Tekan Kematian Bayi

UNICEF menyatakan, sebanyak 30.000 kematian bayi di Indonesia dan 10 juta kematian anak Balita di dunia pada tiap tahunnya, bisa dicegah melalui pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara eksklusif selama enam bulan sejak tanggal kelahirannya, tanpa harus memberikan makanan serta minuman tambahan kepada bayi.

"Meskipun manfaat memeberikan ASI Eksklusif dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak telah diketahui secara luas, namun kesadaran Ibu untuk memberikan ASI Ekslusif di Indonesia, baru sebesar 14 persen saja, itu pun diberikan hanya sampai bayi berusia empat bulan," demikian siaran pers UNICEF yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.

UNICEF menyebutkan bukti ilmiah terbaru yang dikeluarkan oleh jurnal Paediatrics pada tahun 2006 ini, terungkap data bahwa bayi yang diberi susu formula, memiliki kemungkinan untuk meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya. Dan peluang itu 25 kali lebih tinggi dari bayi yang disusui oleh ibunya secara eksklusif.

Banyaknya kasus kurang gizi pada anak-anak berusia di bawah dua tahun yang sempat melanda beberapa wilayah Indonesia dapat diminimalisir melalui pemberian ASI secara eksklusif. Oleh sebab itu sudah sewajarnya ASI eksklusif dijadikan sebagai prioritas program di negara berkembang ini.

UNICEF menyebutkan bahwa ketidaktahuan ibu tentang pentingnya ASI, cara menyusui dengan benar, serta pemasaran yang dilancarkan secara agresif oleh para produsen susu formula, merupakan faktor penghambat bagi terbentuknya kesadaran orang tua didalam memberikan ASI eksklusif.

Meskipun aturan pemasaran produk pengganti ASI terdapat dalam kode etik internasional yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam SK Menteri Kesehatan, namun tetap saja para produsen susu bayi melakukan promosi secara gencar, bahkan sampai menyediakan susu formula itu di rumah sakit ataupun klinik-klinik bersalin.

Dalam upaya meredam maraknya promosi dan pemasaran susu pengganti ASI, serta menumbuhkan semangat dan kesadaran ibu dalam memberikan ASI eksklusif untuk anak-anaknya, maka UNICEF akan menggelar diskusi yang bertemakan "Menggugat Promosi Gencar Susu Bayi" di Jakarta, Rabu (9/8).

Tujuan dari diskusi tersebut yakni, guna menumbuhkan peraturan baru untuk meredam gencarnya pemasaran produk susu formula serta mendorong terselenggaranya program Agustus ini sebagai bulan ASI di Indonesia. [TMA, Ant]

Link http://situs.kesrepro.info/kia/agu/2006/kia03.htm

Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

ASI Eksklusif, Slogan Semu yang Jauh dari Kenyataan

Oleh HANANTO WIRYO


Staf Ahli Bid. Kesehatan Gubernur KDH Tk I NTB
Staf Pengajar Fak. Kedokteran Univ. Udayana Denpasar, Bali
SMF Anak RSU Mataram

ASI ekslusif adalah suatu slogan dari WHO yang artinya pemberian ASI saja tanpa pemberian makanan padat ataupun susu bubuk sampai bayi berumur 4 bulan, dan ASI tetap dilanjutkan setelah itu. Berbagai angka telah dikemukakan mengenai keberhasilan ASI ekslusif di suatu daerah. Angka-angka tersebut sebagian besar diambil dari hasil penelitian secara cross seccional yang di dalam ilmu metodologi merupalan metode yang paling lemah, karena banyak biasnya. Cara cross seccional dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada ibu-ibu yang mempunyai bayi dan menanyakan apakah sampai umur 4 bulan hanya diberi ASI saja, dengan jawaban dikotomi (ya/tidak). Dengan metode seperti ini, banyak sekali kelemahannya sehingga menimbulkan bias, karena:

Ibu-ibu kadang-kadang tidak ingat betul, apalagi kalau pada waktu wawancara bayinya sudah agak besar.
Pewawancara biasanya adalah kader atau petugas kesehatan. Kader/petugas kesehatan biasanya tidak disenangi masyarakat dan masyarakat hanya mengangguk atau menyetujui apa yang dianjurkan oleh kader/petugas kesehatan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa kader/petugas kesehatan hanya menyuruh dan melarang. Oleh karena itu, daripada dimarahi lebih baik mengiyakan saja.
Saat wawancara kadang-kadang tidak tepat sehingga tidak memberi suasana yang kondusif bagi ibu-ibu untuk menjawab pertanyaan.
Formulir kuesioner untuk wawancara tidak seragam, dan sebagainya.
Oleh karena itu, angka ASI ekslusif di Indonesia bervariasi antara 30--60%. Suatu penelitian yang telah dilakukan di NTB dengan metode kohort, baik di daerah rural maupun urban menunjukkan bahwa ASI ekslusif hanya berkisar ± 2% (angka resmi dari Dinas Kesehatan diatas 30%). Metode kohort merupakan metode kuat setelah randomized control trial (RCT). Karena itu, data ASI ekslusif yang disajikan di Indonesia jauh lebih dipercaya hasilnya jika menggunakan kohort. Taksiran kasar ASI ekslusif di Indonesia hanya berkisar di bawah 10%.

Mengapa ASI ekslusif di Indonesai di bawah 10%? Hal ini disebabkan oleh:

Di kota: pada waktu ini banyak sekali ibu-ibu yang bekerja, apalagi pada saat krisis moneter lebih banyak lagi ibu-ibu yang membantu suaminya mencari nafkah, sehingga ASI ekslusif akan menurun.
Di pedesaan: di daerah pedesaan dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu: Pertama, kelompok ibu-ibu pedesaan yang mampu. Inilah yang sebetulnya dapat melakukan ASI ekslusif, tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain faktor sosial, kekerabatan, adat, religi, dan sebagainya. Faktor kekerabatan sosial atau gotong royong antara lain terlihat di masyarakat di Jawa, Sumatra, dan sebagainya. Pada waktu seorang ibu melahirkan, para tetangga berdatangan untuk membantu merawat ibu dan bayinya tersebut. Ada yang memberi madu, kelapa muda, pisang, nasi, dan sebagainya. Pada saat itu ibu masih kesakitan dan belum begitu kuat, sehingga perawatan bayi dilakukan oleh nenek, keluarga suami, ataupun tetangga. Hal ini disebabkan masyarakat di pedesaan hidup dalam kelompok-kelompok. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganut adat kultur patrilokal, dimana otonomi dalam keluarga di tangan suami dan ibu suami. Seorang gadis yang sudah berumah tangga, secara otomatis akan mengikuti suaminya. Otonomi keluarga di tangan suami, termasuk di sini adalah pemberian makanan dini pada bayi baru lahir. Kesemuanya akan menyebabkan rendahnya ASI ekslusif. Kedua, ibu-ibu yang tidak mampu di pedesaan yang biasanya terdiri dari buruh/buruh tani, sehingga 1--2 minggu setelah melahirkan mereka harus membantu suaminya mencari nafkah. Sementara, bayinya dititipkan kepada keluarga yang ada di rumah. Oleh keluarganya, bayi diberi makan pisang atau nasi pisang yang dihaluskan, yang relatif murah dan mudah diperoleh. Sedangkan pemberian susu bubuk tidak mungkin terbeli karena harganya mahal. Hal ini juga merupakan penyebab mengapa ASI ekslusif tidak dapat dilakukan.

Karena itu, para petugas kesehatan, terutama dokter dan dokter spesialis anak di seluruh Indonesia, janganlah memberikan suatu penyuluhan di mana masyarakat tidak mungkin dapat melakukannya. Hal ini akan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap petugas kesehatan maupun dokter menjadi lebih besar. Di satu pihak, petugas kesehatan/dokter mendapatkan pendidikan dengan ilmu dari Barat dan merasa bahwa ilmu yang dimiliki mutlak benar serta dapat diterapkan di masyarakat. Mereka tidak pernah diberikan Ilmu Dasar-Dasar Sosial, Etnografi (antropologi kesehatan), dan sebagainya. Mereka mempunyai sifat arogan terhadap masyarakat sehingga merasa mempunyai kelas tersendiri dalam masyarakat tersebut (klas ekslusif). Karena itu, mereka bukan menjadi panutan pada masyarakat tersebut. Sebagai contoh, kurang berhasilnya penempatan bidan desa di desa-desa, karena masyarakat lebih senang bersalin di dukun bayi (traditional birth attendance).

Demikian pandangan/pemikiran yang merupakan realita keadaan masyarakat Indonesia, sehingga janganlah model pelaksanaan penyuluhan kesehatan lebih bersifat slogan yang semu yang tidak akan menghasilkan perubahan apapun di masyarakat. Perlu kita ingat bahwa angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) merupakan yang tertinggi dan angka harapan hidup yang terendah diantara negara-negara ASEAN. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk para sejawat dokter dan dokter spesialis anak maupun jajaran Departemen Kesehatan.

Daftar Pustaka

Biro Pusat Statistik Indonesai (1994). Survei Demografi dan Kesehatan di Indonesia. Makro Internasional Inc. Calverton, Maryland, USA. Hal 209-211.
Departemen Kesehatan RI (1997). Profil Kesehatan Indonesia, Pusat Data Kesehatan, Jakarta.
Hananto W., dan Kasniyah N., (1991). Studi Etnografi Perilaku Pemberian Makanan Padat Dini pada Bayi Baru Lahir Kualitatif dan Kuantitatif. Badan Litbang Kesehatan Depkes. SBPPK/Plt/1991. Jakarta
Hananto W., (1996). Dampak Pemberian Pisang (Musa Paradisiaca) sebagai Makanan Padat Dini dan Tidak Diberi Kolostrum terhadap Timbulnya Gejala penyumbatan Saluran Pencernaan pada Neonatus. Disertasi untuk Memperoleh gelar derajat Doktor dalam ilmu kesehatan, 11 November 1996. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
USAID., 1989. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Etnografi Propinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. The Weaning Project, Nusa Tenggara Barat.
World Population Data Sheet (1998). Demographic Data and Estimates for the Countries and Region of the World, Population Refernce Bureu, Washington DC.

Link http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip/012001/top-2.htm
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Ibu Berikan ASI Eksklusif baru 2 Persen

Ibu yang memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif kepada bayinya sampai berumur enam bulan saat ini masih rendah, yaitu kurang dari dua persen dari jumlah total ibu melahirkan.

"Itu antara lain terjadi karena pengetahuan ibu tentang pentingnya ASI masih rendah, tatalaksana rumah sakit yang salah, dan banyaknya ibu yang mempunyai pekerjaan di luar rumah," kata Konsultan Neonatology RSCM, Prof Rulina Suradi, SpA (K) IBCLC, di Jakarta.


Ia mengemukakan, beberapa rumah sakit memberikan susu formula pada bayi yang baru lahir sebelum ibunya mampu memproduksi ASI. Hal itu menyebabkan bayi tidak terbiasa menghisap ASI dari puting susu ibunya, dan akhirnya tidak mau lagi mengonsumsi ASI atau sering disebut dengan 'bingung puting.'

"Menghisap susu dari botol itu lain dengan menghisap puting susu ibu. Bayi harus belajar sejak awal dan ibu juga harus belajar menyusui, karena ketrampilan itu memang harus dipelajari oleh keduanya," kata Rulina.

ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan tambahan lain pada bayi berumur nol sampai enam bulan.

Rulina menegaskan bahwa ASI eksklusif adalah makanan terbaik yang harus diberikan kepada bayi, karena di dalamnya terkandung hampir semua zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi.

"Tidak ada yang bisa menggantikan ASI karena ASI didesain khusus untuk bayi, sedangkan susu sapi komposisinya sangat berbeda sehingga tidak bisa saling menggantikan," jelasnya.

Menurut dia, ada lebih dari 100 jenis zat gizi dalam ASI antara lain AA, DHA, Taurin dan Spingomyelin yang tidak terdapat dalam susu sapi. Beberapa produsen susu formula mencoba menambahkan zat gizi tersebut, tetapi hasilnya tetap tidak bisa menyamai kandungan gizi yang terdapat dalam ASI.

"Lagi pula penambahan zat-zat gizi tersebut jika tidak dilakukan dalam jumlah dan komposisi yang seimbang maka akan menimbulkan terbentuknya zat yang berbahaya bagi bayi," katanya.

Manfaat ASI

Rulina juga mengemukakan, ASI sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak.

"Menurut penelitian, anak-anak yang tidak diberi ASI mempunyai IQ (Intellectual Quotient) lebih rendah tujuh sampai delapan poin dibandingkan dengan anak-anak yang diberi ASI secara eksklusif.

Anak-anak yang tidak diberi ASI secara eksklusif juga lebih cepat terjangkiti penyakit kronis seperti kanker, jantung, hipertensi dan diabetes setelah dewasa. Kemungkinan anak menderita kekurangan gizi dan mengalami obesitas (kegemukan) juga lebih besar.

Selain pada anak, pemberian ASI juga sangat bermanfaat bagi ibu. ASI, selain dapat diberikan dengan cara mudah dan murah juga dapat menurunkan resiko terjadinya pendarahan dan anemia pada ibu, serta menunda terjadinya kehamilan berikutnya.

Hal lain yang jauh lebih penting adalah timbulnya ikatan bathin (bonding) yang kuat antara ibu dan anak.

"Ibu juga tidak perlu susah-susah melakukan diet untuk mengecilkan perut setelah melahirkan, karena hisapan anak pada puting susu ibu merangsang keluarnya hormon yang dapat mengencangkan dinding-dinding perut ibu kembali," katanya.

Ibu yang bekerja di luar rumah pun tidak perlu khawatir tidak bisa memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, karena ASI bisa diperah setiap tiga sampai empat jam sekali untuk disimpan dalam lemari pendingin.

"Dalam kondisi biasa ASI bisa tahan disimpan dalam enam sampai delapan jam, tetapi jika disimpan dalam lemari pendingin bisa tahan sampai 2 X 24 jam. (Ant/O-1)

Link http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=524&Itemid=2

Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

PMT Gizi Buruk Diduga Ditenderkan

BA'A, PK -- Pemerintah Kabupaten Rote Ndao diduga menenderkan pengadaan bahan makanan untuk pemberian makanan tambahan (PMT) bagi anak-anak yang menderita gizi buruk dan gizi kurang. Padahal sesuai Juknis Gubernur NTT, PMT ditangani oleh Puskesmas.

Selain PMT ditenderkan, PMT juga baru mencakup penderita yang terdata di Dinas Kesehatan setempat tahun 2007. Bantuan sosial untuk orang tua yang anaknya terkena gizi buruk dan gizi kurang, juga belum ada realisasi.

Informasi yang dihimpun Pos Kupang, menyebutkan, pengadaan bahan makanan untuk balita gizi buruk di Rote ditangani oleh Toko Herodi. Padahal sesuai Juknis Gubernur NTT, PMT, mulai dari pengadaan bahan makanan sampai distribusi kepada penderita, ditangani langsung oleh Puskesmas. Namun, saat ini, belanja makanan langsung ditangani oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Rote Ndao.

Sementara itu, PMT yang telah berjalan selama dua pekan sejak, yakni Senin (17/3/2008), hanya berupa susu, beras, kacang hijau, telur dan minyak bimoli. Sedangkan uang untuk membeli sayur dan minyak tanah tidak ada.

Sesuai Juknis Gubernur NTT tentang Penanganan Gizi Buruk dan Gizi Kurang, PMT meliputi sembako, minyak tanah dan uang belanja sayur-sayuran, termasuk dana untuk pengepakan dan distribusi makanan.

Informasi lainnya menyebutkan bahwa masih terjadi pro dan kontra di kalangan eksekutif dan legislatif tentang penatapan status KLB gizi buruk di Rote. Pihak yang tidak setuju KLB beralasan bahwa penetapan status KLB bernuansa politis. Sebab, dari 14 ribu lebih balita, yang meninggal baru lima orang dan belum mencapai 10 persen sehingga penetapan status KLB tersebut tidak pas.

Kondisi inilah yang mengakibatkan dana untuk penanganan penderita gizi buruk dan gizi kurang di kabupaten itu belum juga dicairkan. Didiuga, makanan yang diadakan oleh Toko Herodi pun masih hutang. Dana tak terduga Rp 700 juta yang dinyatakan untuk KLB sampai saat ini belum cair.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Rote Ndao, dr. Jonathan Lenggu yang dihubungi di Kantor Bupati Rote Ndao, Kamis (27/3/2008), membantah dugaan PMT ditenderkan, "Pemerintah ada uang, tapi saat ini belum semua balita dilayani melalui PMT. Dan, kita juga tidak melakukan tender. Yang ada, kami titip uang di pengusaha untuk belanja," kata Lenggu.

Ditanya soal jumlah dana yang sudah cair untuk penangulangan gizi buruk dan gizi kurang di Kabupaten Rote Ndao, Lenggu mengakui baru Rp 100 juta. "Baru Rp 100 juta yang cair. Ini karena APBD kita belum ditetapkan," katanya.

Sementara itu, Kabag Sosial, Drs. Yulius Tulle yang ditemui belum lama ini mengaku baru memberikan bantuan kepada belasan kepala keluarga di Rote Tengah dan di Pulau Ndao. (iva)


Korban Gizi Buruk Yang Meninggal di NTT:

* - 18 November 2005: 52 anak balita
* 2005 - 17 Juli 2006: 70 anak balita
* - 10 September 2007: Tiga balita di TTU
* Januari - 19 November 2007: 16 balita di RSU Kupang
* Januari - Maret 2008: Lima balita di Rote Ndao
Sumber: Dokumentasi Pos Kupang

Link http://www.indomedia.com/poskup/2008/03/29/edisi29/utama_2.htm
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

12.651 Balita di NTT Gizi Buruk

KUPANG, PK -- Kasus gizi buruk hingga kini terus menimpa anak-anak yang berusia di bawah lima tahun (balita) di NTT. Balita yang terdata menderita gizi buruk sudah mencapai 12.651 orang. Hal itu diungkapkan Kasubdin Penanggulangan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Propinsi NTT, dr. SM J Koamesah dalam rapat Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) Tingkat Propinsi NTT, di aula kantor Dinas Kesehatan Propinsi NTT, Jumat (28/3/2008).

Dikatakannya, ada banyak faktor penyebab terjadinya gizi buruk. Penyebab langsung, yakni pola makan tidak seimbang dan penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung, antara lain tidak cukupnya persediaan pangan dan pola asuh anak yang kurang baik.

Faktor berikutnya, kurangnya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat, terutama kaum ibu dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di sekitarnya.

Menurut Koamesah, sejak bulan Januari sampai dengan posisi 26 Maret 2008, terdata 83.068 balita di NTT yang bermasalah. Jumlah balita bermasalah ini terdiri dari balita gizi kurang 70.305 orang, balita gizi buruk tanpa kelainan klinis 12.651 orang dan balita gizi buruk dengan kelainan klinis 106 orang.

Berdasarkan data, katanya, terdapat lima kabupaten yang status gizi balitanya bermasalah. Di KabupatenTimor Tengah Utara (TTU) sebanyak 17.155 balita dari 53.608 balita di daerah itu. Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), sebanyak 8.750 balita bermasalah dari jumlah balita di daerah itu sebanyak 27.378 orang. Kabupaten Lembata dengan 2.215 balita bermasalah dari 12.454 balita di daerah itu.

Kabupaten Sikka, 8.362 balita bermasalah dari 32.556 balita di daerah itu dan Kabupaten Sumba Barat, dari 11.498 balita, 2.060 orang status gizinya bermasalah. Untuk mengatasi masalah ini, jelas Koamesah, dibutuhkan dana Rp 57.099.012.000,00. Sementara dana yang sudah tersedia di 20 kabupaten/kota di NTT Rp 5.507.885.084,00 dan dana yang terdapat di propinsi Rp. 1.580.950.000,00. Dengan kondisi ini, diharapkan dukungan dana dari APBN sebesar Rp 50.413.023,316,00. (den)
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar