Miskin Tak Harus Busung Lapar

"Busung lapar pertama-tama memang karena miskin. Tapi, miskin tak harus busung lapar." Ungkapan ini adalah salah satu pesan penting yang dapat ditarik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh The Institute for Ecosoc Rights, Jakarta (2006-2007) tentang fenomena busung lapar dan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Mengapa pesan ini sangat penting?
Sebab, ternyata tak sedikit keluarga-keluarga miskin di provinsi ini mampu memelihara anak-anak mereka tetap sehat. Fakta positif ini membuat kita bisa belajar dan semakin mempertegas tak adanya dasar untuk menerima dua hal yang sangat membahayakan nasib anak-anak. Pertama, kecondongan kuat bahwa siapa pun di NTT menyerah dalam menghadapi kenyataan keadaan alam yang kering dan dianggap sulit untuk menyanggga kehidupan warganya. Kedua, fenomena anak-anak menderita bahkan sampai meninggal karena gizi buruk-busung lapar sudah terlalu dipandang sebagai hal yang biasa.

Barangkali yang sudah dan terus sedang berlangsung adalah suatu jenis "mati rasa" di antara kita terhadap masalah gizi buruk-busung lapar yang dari tahun ke tahun terus terjadi. Kita sudah tidak peka lagi terhadap banyak korban anak-anak yang terus-menerus berjatuhan. Apalagi keadaan para korban gizi buruk-busung lapar itu tidak sebegitu langsung mencolok mata, karena banyak di antara mereka (masih) tetap hidup namun dalam keadaan yang tak manusiawi. Tapi jika digabungkan jumlah anak-anak korban itu tidak akan dapat diterima akal sehat. Dari perspektif pemenuhan hak-hak dasar yang dituntutkan dari negara dalam UUD 1945, yang terjadi di NTT sesungguhnya adalah penelantaran, suatu wujud pelanggaran yang semestinya mendorong kita untuk sekarang ini juga serta-merta mengubah arah kebijakan publik.

Seharusnya lebih memerdekakan
Komite Penanggulangan Busung Lapar: Desa sampai Pusat
Kita tak sadar lagi bahwa masa depan kita sangat bergantung pada dan akan diteruskan oleh generasi anak-anak kita. Jika ternyata kita merasa sangat kesulitan menangani tantangan-tantangan ketakadilan struktural nyata pada masa sekarang ini, semestinya kita lebih baik mengambil pilihan menyiapkan, mencukupi kebutuhan fisik (makan) dan mencerdaskan anak-anak kita sekarang ini juga agar lebih siap menghadapi ketakadilan yang lebih parah lagi di masa depan yang tak akan lama lagi pasti akan menghadang jalan kita maju ke depan. Namun, untuk pilihan terakhir ini pun kita tak mampu memikirkannya dengan jelas. Masa depan kita jadi suram.

Untuk mendukung pengutamaan pada anak-anak kita ini, sangatlah jelas dari penelitian ini bahwa peranan komunitas ternyata merupakan kunci pokok penanganan dan pencegahan gizi buruk-busung lapar di berbagai lokasi di provinsi ini, baik di pelosok-pelosok desa yang sulit dicapai maupun di lokasi-lokasi perkotaan. Karenanya komunitas-komunitas haruslah didorong agar kebekuan-kebekuan di dalamnya terus-menerus dikikis dan mereka haruslah dibantu sekuat tenaga kita agar menyadari pentingnya kesejahteraan dan kesehatan anak-anak para warganya. Pelayanan posyandu condong mengabaikan pentingnya faktor pembentukan kehidupan komunitas dalam mengatasi gizi buruk. Sebab, pada gilirannya semakin meningkatnya kemampuan dan kemerdekaan sikap dari para warga komunitas akan mendorong pengelolaan sumber-sumber daya setempat secara bertahap, setidaknya berangkat dari fokus upaya mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar.

Namun, dari penelitian ini ditemukan bahwa sekalipun kita sadar bahwa komunitas itu sesungguhnya merupakan tulang punggung atau pilar yang menyangga kemampuan kita menyelesaikan busung lapar, kita pun sadar bahwa komunitas-komunitas itu kini telah sedemikian dilumpuhkan oleh politik bantuan -lokal, nasional dan oleh pihak-pihak internasional. Dari penelitian ini kami dapati pula banyak komunitas-komunitas yang kehidupannya seolah-olah terhenti bila tidak ada bantuan dari luar. Padahal sebelumnya mereka mampu mencegah dan mengatasi masalah-masalahnya sendiri secara swadaya, termasuk gizi buruk-busung lapar. Kelumpuhan ini pada kenyataannya tidak hanya dialami oleh komunitas-komunitas, tapi juga dihadapi oleh birokrasi pemerintah yang terus-menerus meletakkan masalah gizi buruk-busung lapar dalam kerangka "bencana alam" yang cukup ditanggapi hanya dengan pendekatan emergensi berjangka pendek.

Kelumpuhan masyarakat dan pemerintah ini sulit ditangani tanpa ada kebijakan publik negara yang memberikan hak-hak masyarakat atas pembangunan. Tanpa pembangunan berperspektif hak-hak dasar, masyarakat sebagai bagian dari kehidupan bersama dalam negara ini tidak akan mungkin bergerak menyelesaikan masalah-masalah rumah tangga dan komunitas mereka. Pembangunan berperspektif hak-hak dasar ini hanya mungkin dilaksanakan, bila negara tidak terus-menerus dibebani oleh persoalan hutang dan korupsi. Ironisnya, pendekatan penyelesaian gizi buruk-busung lapar yang sesungguhnya adalah masalah struktural dengan model emergensi atau proyekisme ini sendiri adalah juga bagian dari korupsi.

Kecondongan proyekisme dalam penanganan busung lapar menyadarkan kita akan jauhnya kesadaran kita terhadap tugas negara terhadap masyarakat, terutama anak-anak dan warga miskin, yang diamanatkan oleh UUD 1945. Memandang busung lapar sebagai "bencana" pun menjadi tak berdasar lagi. Kita bagaikan sudah tersesat entah di mana dan mengalami disorientasi dalam cara pandang kita terhadap cara hidup kita sendiri dan kehidupan bersama dalam masyarakat ini. Adalah suatu penelantaran hak dan tak bertanggung jawab, jika kita hanya menangani busung lapar setelah kucuran dana "kejadian luar biasa" (KLB) datang. Karenanya, komitmen pemerintah baik tingkat daerah maupun pusat merupakan kunci penting yang mampu mendorong masyarakat bergerak menyelesaikan masalah gizi buruk-busung lapar.

Baik dari sisi konsep yang terkait dengan bidang-bidang kerja dalam masyarakat (kesehatan, pertanian, kesejahteraan sosial, dan bidang/dinas lain) dan hubungan di antara para pemangku kepentingan (masyarakat, pemerintah, swasta) kini harus dikembalikan pada fungsi dan perimbangannya. Dinas kesehatan tidak memiliki legitimasi untuk sekedar bertindak menangani busung lapar hanya ketika kucuran dana KLB datang. Dinas Pertanian pun tidak memiliki legitimasi ketika tidak menjalankan program penguatan produksi pertanian dari para petani yang anak-anaknya menderita gizi buruk-busung lapar. Demikian pula dengan dinas-dinas lainnya.

Sektoralisme dan rendahnya komitmen yang lebih dilatarbelakangi oleh korupsi dan keengganan bekerja seperti diamanatkan negara sebagai tugas dasar pemerintah dalam melayani masyarakat sulit tidak dikatakan telah ikut banyak menyebabkan timbulnya busung lapar. Karenanya penanganan gizi buruk-busung lapar ini sesungguhnya hanya dapat ditangani jika sikap dan komitmen semua pihak secara cepat dan bertahap dikembalikan kepada jatidiri tugas kita dalam hidup dalam masyarakat dan dan dalam mandat menyelenggarakan kepentingan publik yang baik dalam negara ini, baik oleh pemerintah, para NGO maupun komunitas-komunitas itu sendiri.

Penelitian ini juga mengkonfirmasikan bahwa rumah tangga dan komunitas yang diangkat menjadi unit observasi merupakan penuntut utama dalam penyelesaian berbagai fenomena gizi buruk-busung lapar di NTT. Dalam konteks ini perempuan menduduki peranan dan memiliki peluang paling kuat untuk menyelesaikan masalah gizi buruk-busung lapar. Karenanya, dalam konteks ini pula peranan perempuan hendaknya diutamakan dan didorong dengan membuka peluang-peluang selebar-lebarnya mulai dari bentuk-bentuk yang paling dasar seperti pendidikan dan pelatihan agar mereka mampu berperan sendiri, di samping pemenuhan kebutuhan dasar akan pelayanan kesehatan. Dalam hal ini ketakterpisahan perempuan dengan anak dalam kondisi budaya kita mengimplikasikan mutlak perlunya pengutamaan pada perempuan sebagai inisiator-inisiator penyelesaian dari tingkat terendah sampai ke tingkat-tingkat lebih tinggi.

Tanpa peranan mereka secara mendasar dan meluas, upaya-upaya apa pun untuk menyelesaikan gizi buruk-busung lapar sangat kecil peluang keberhasilannya. Pengutamaan pada pemberdayaan perempuan dan pendidikan merupakan titik putar dan ujian terhadap sikap kita semua apakah kita bersungguh-sungguh dan memang berkehendak menyelesaikan masalah gizi buruk-busung lapar. Kaum bapak, laki-laki, pria dan pemuda perlu membuka jalan dan menyerahkan bagian kesenangan hatinya kepada kaum perempuan.

Akhirul kalam, kita perlu kembali lagi belajar dari hakikat dan nilai-nilai yang dipertahankan secara tradisional oleh keluarga-keluarga di NTT yang sekalipun miskin tetapi mampu mencegah anak-anak mereka menderita gizi buruk-busung lapar. Dari merekalah dapat kita timba inspirasi dan kebijaksanaan komunitas-komunitas setempat. Penelitian ini menyingkap bahwa faktor pendidikan, pemberdayaan perempuan dan kesehatan merupakan kunci penting `keberhasilan' mereka sehingga anak-anak terhindar dari gizi buruk.***

Sumber http://ecosocrights.blogspot.com/
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Setiap Tahun 62 Anak NTT Tewas Karena Krisis Gizi

TEMPO Interaktif, Jakarta:Hasil survei Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan, 62 dari 1.000 kelahiran anak setiap tahun meninggal dunia karena krisis gizi. Sementara secara nasional, setiap tahun rata-rata 241 bayi tewas karena persoalan yang sama.

Kondisi ini, menurut siaran pers LPA yang ditandatangani Dewan Pakar LPA, Yurhan Y. Nome, menunjukkan belum adanya keberpihakan pemerintah pada kelangsungan hidup dan hak hidup anak.

Karena itu ia mendesak pemerintah untuk menyediakan fasilitas bagi keberlangsungan hidup anak, khususnya 66.748 anak yang mengalami krisis gizi di NTT saat ini. Sebab, Undang Undang Perlindungan Anak, kata Yurhan, telah mensyaratkan bahwa setiap anak berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan hingga beranjak dewasa.

Korban busung lapar di Kabupaten Timor Tengah Utara, dilaporkan mencapai 124 balita, dua diantaranya telah meninggal dunia. Sehingga total penderita busung lapar mencapai lebih dari 200 kasus.

Namun data Satkorlak Penanggulangan Bencana sampai dengan Jumat siang, menyebutkan korban busung lapar hanya 119 kasus. "Yang mengalami peningkatan hanya penderita kurang gizi yakni 55.593 kasus dan gizi buruk 11.015 kasus," kata Fransiskus Salim, Sekertaris Satkorlak NTT. Jems de Fortuna/Jum'at, 03 Juni 2005 14:06 WIB

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/nusatenggara/2005/06/03/brk,20050603-61980,id.html
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar

Balita Dengan Gizi Buruk di Indonesia 175 ribu

TEMPO Interaktif, Mataram:Sebanyak 175 ribu balita (bayi usia lima tahun) di Indonesia mengalami gizi buruk (Marasmus Kwashiorkor), dan lima juta balita lainnya mengalami gizi kurang. "Gizi buruk dialami balita di semua daerah se Indonesia. Bukan hanya di Nusa Tenggara Barat saja," kata Pejabat Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Rita dalam rapat penanggulangan gizi buruk di NTB, Senin (6/6).

Ia juga mengemukakan bahwa di NTB, wanita dewasa yang tidak memiliki ijazah atau tidak berpendidikan mencapai 60 persen. Kalau dikaitkan dengan pemeliharaan anak, maka anaknya mempunyai masalah dua kali lipat dari ibu yang memiliki pendidikan lebih tinggi. "Penyuluhan yang diberikan susah dicerna ibu yang tidak berpendidikan," ucapnya.

Indikasinya, angka penurunan penderita gizi kurang di NTB pada 1989-2003 hanya delapan persen. Dari semula 45 persen, kata Rita, kini masih diatas 35 persen. Sedangkan gizi buruk 10 persen, di atas itu masih ada 25 persen anak gizi kurang yang sangat riskan mengalami gizi buruk apabila tidak ditanggulangi.

Dalam rapat yang dipimpin Sekretaris Daerah NTB, Nanang Samodra terungkap The Habibie Center (THC) akan ikut membantu menanggulangi gizi buruk yang menyebabkan busung lapar di NTB.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Farid A. Muluk bersama Umar Juoro dari THC sudah bertemu pejabat Dinas Kesehatan dan IDI NTB di Mataram, Ahad (5/6) siang.

Proposal yang akan diajukan untuk menanggulangi gizi buruk tersebut direncanakan kebutuhan biayanya mencapai Rp 10 miliar untuk pemberian susu setiap bulan atau Rp 300 per gelas kepada setiap balita di 1.000 desa se NTB. "Kebutuhan ini berat kalau ditanggulangi daerah," ujar Ketua IDI Nusa Tenggara Barat SDA Soesbandoro kepada Tempo, Senin (6/6). Supriyantho Khafid

Tempo Senin, 06 Juni 2005 19:45 WIB
Lanjut...

Posted in Label: | 0 komentar