WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (2)

Oleh Julianus Akoit

SEBELUM melihat bagaimana aksi program ini di lapangan, mungkin kita melihat bagaimana lembaga UN-WFP bekerja Sebelum melakukan intervensi bantuan pangan dan gizi di suatu wilayah, UN-WFP melakukan studi mendalam mengenai analisa situasi ketahanan pangan masyarakat setempat. Studi ini diberi nama Vulnerability Analysis and Mapping (VAM) atau analisis kerentanan dan pemetaan ketahanan pangan.

Studi ini sangat dibutuhkan agar intervensi bantuan pangan dan gizi itu benar-benar tepat sasaran, tepat manfaat dan tepat waktu. Studi ini untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar, misalnya apakah penduduk di wilayah itu rentan atau kekurangan pangan atau memang sudah dalam tahap kritis (lapar)? Berapa banyak orang penduduk yang kekurangan pangan atau kekurangan gizi akut? Mengapa atau faktor penyebab di wilayah itu kekurangan gizi atau kekurangan pangan? Bagaimana penduduk di wilayah itu mendapatkan pangan dan bagaimana cara mereka mencukupkan gizinya?

UN-WFP mempunyai 120 analis terbaik di seluruh dunia. Para analis ini bekerja sama dengan LSM internasional dan lokal dibantu badan PBB untuk menjawab pertanyaan-pertanayaan tersebut. Tentunya studi itu juga menggandeng pemerintah setempat. Data dari pemerintah setempat tentang ketersediaan pangan, jumlah kasus gizi buruk, data tentang masalah kesehatan serta angka partisipasi pendidikan, juga dianalisa.
Hebatnya, penganalisaan data dan temuan data di suatu wilayah oleh para analis dari UN-WFP itu, dibantu dengan peralatan canggih seperti Satellite Imagery (Citra Satelit), Geographic Information Systems (GIS/Sistem Informasi Geografis) dan Personal Digital Assistants (PDA). Hasil analisa didukung peralatan canggih ini, nantinya akan dipakai untuk membuat suatu kesimpulan terakhir atau keputusan bagaimana intervensi pangan dan gizi yang paling tepat dan komprehensif untuk suatu wilayah, jenis intervensi apa yang paling tepat dan sesuai.

Studi dengan menggunakan mekanisme dan prosedur semacam ini juga dilakukan UN-WFP ketika sampai pada keputusan untuk membuat WFP's School Feeding Program di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di NTT, khusus di Timor Barat, UN-WFP merasa mantap untuk menggelar program ini.

Lembaga ini berpendapat intervensi pangan untuk perbaikan gizi mesti dilakukan terhadap 654 sekolah dasar dan 1.219 posyandu, yang meliputi tujuh kecamatan di Kabupaten Kupang, 14 kecamatan di Kabupaten TTS, 17 kecamatan di Kabupaten TTU dan 9 kecamatan di Kabupaten Belu. Program ini mendapat suntikan dana dari negara donor seperti Kerajaan Arab Saudi dan Pemerintah Australia.

Maka sejak tahun 2005 hingga 2009 ini atau sudah empat tahun, UN-WFP mendistribusikan bantuan makanan berupa biskuit berfortifikasi. Konon UN-WFP mengklaim biskuit berfortifikasi ini mengandung beberapa vitamin dan mineral untuk memperbaiki dan melengkapi kebutuhan gizi dalam tubuh balita dan anak sekolah. Dan biskuit gratis ini pun sampai ke sekolah dan posyandu di pedalaman Timor Barat. Pendistribusian biskuit gratis ini dilakukan dengan menggandeng Care International, salah satu NGO berpengalaman dalam bidang bantuan kemanusiaan dan pangan di beberapa belahan dunia.
Namun apa yang terjadi? Ribuan dos biskuit gratis bantuan dari UN-WFP yang disalurkan oleh Care International di Kefamenanu kepada ratusan sekolah dasar di 17 kecamatan di Kabupaten TTU diduga mengandung pisau silet (pisau cukur), jarum pentul, kaca beling, anakan hecter dan batu kerikil. Lima orang murid di Kecamatan Insana hampir menjadi korban 'biskuit bencana' ini. Kasus ini kini dalam penanganan aparat Polres TTU.

Kepala SDK Kiupukan I, Lazarus Tefa, yang ditemui para wartawan di ruang kerjanya membenarkan hal itu. Di sekolahnya, ada empat murid yang nyaris menjadi korban menelan benda asing berbahaya yang terdapat dalam bungkusan biskuit itu. 

"Hampir saja tertelan oleh para murid. Beruntung segera kami tarik kembali biskuit itu dari para murid," tukasnya dengan nada kesal. Ia mengaku tidak mengira jika biskuit untuk perbaikan nutrisi dan gizi balita itu justru hampir menelan korban jiwa. "Biskuit itu bantuan dari Pemerintah Arab Saudi melalui WFP dan disalurkan oleh Care International. Sebab di bungkus kardus tertulis kalimat: Bantuan dari Pemerintah Arab Saudi," tukasnya seraya memperlihatkan bungkus plastik dan bungkus kardus 'biskuit bencana' itu.

Sebenarnya, lanjut Tefa, kasus ini sudah terendus sejak tanggal 25 Maret 2009. Namun pihak terkait yang paling bertanggung jawab terhadap penyaluran biskuit ini berupaya 'menyembunyikan' diri dari pers. Ia memaparkan, pada tanggal 25 Maret 2009, dua murid yaitu Adrianus Naisau nyaris menelan pisau silet yang terselip di antara beberapa lempeng biskuit dan Stefanus Neno Naisau, nyaris menelan dua batang jarum pentul dalam biskuit itu.

Berikutnya, tanggal 26 Maret 2009, dua murid perempuan, yaitu Dorce Nabu dan Irene Naihelly nyaris menelan pisau silet. Tanggal 27 Maret 2009, Dorce Nabu, nyaris kembali menjadi korban karena dalam bungkus biskuitnya terselip beberapa anakan hecter (staples). 

"Lalu pada tanggal 28 Maret 2009, kami para guru menggelar rapat. Dalam rapat disepakati biskuit gratis itu ditarik dari para murid dan disimpan saja di sekolah. Kami minta WFP dan Care International datang untuk memberikan klarifikasi sesegera mungkin," tandas Tefa.

Penjelasan yang sama juga disampaikan Ny. Elisabet Kase, Kepala SDN Nesam, ketika ditemui terpisah kemarin. "Salah satu murid kami, atas nama Januarius Klau, nyaris menjadi korban. Di antara lempengan biskuitnya terselip sepotong silet. Kami jadi trauma. Karena itu saya sudah minta kepada guru-guru agar biskuit gratis yang sudah telanjur dibagikan, ditarik kembali dan disimpan di sekolah. Apalagi saya dengar banyak sekolah juga mengalami kasus serupa," jelas Ny. Kase.
Diperoleh informasi, ada delapan sekolah yang sudah melaporkan kasus 'biskuit bencana' tersebut kepada polisi. Yaitu SDK Kiupukan 1, SDN Nispukan, SDN Peutana, SDN Bisain, SDN Sipi, SDN Ekafalo dan SDN Besnaen dan SDN Nesam. Namun dalam pekan pertama April 2009, jumlah kasus `biskuit bencana' ini sudah semakin membengkak. Sebelumnya kasus ini hanya menimpa sekolah di Kecamatan Insana. Namun kini juga menyebar di Kecamatan Insana Utara, Kecamatan Noemuti, Kecamatan Miomaffo Barat dan Miomaffo Timur.

Reaksi dan kecurigaan pun dialamatkan kepada UN-WFP dan Care International serta kepada PT. Tiga Pilar Sejati, pabrik yang memproduksi biskuit gratis tersebut. Apakah ada misi terselubung untuk mencelakakan balita dan anak-anak di NTT? Lalu apa tujuannya mencelakakan generasi penerus bangsa itu melalui makanan yang mengandung benda-benda asing yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa mereka? 

Adakah pihak asing yang ikut bermain dalam kasus biskuit bencana itu? Adakah ini terkait dengan sabotase ekonomi atau bahkan mungkin juga sabotase politik?

Diakui memang sekarang masyarakat sangat resah dan cemas dengan bantuan biskuit `bencana' tersebut. Namun pertanyaan-pertanyaan yang mencurigakan itu belum juga terjawab hingga sekarang. Pertanyaan itu ibarat teka-teki yang rumit sekaligus misterius sampai sekarang. Ada apa sebenarnya? Kita memang sepakat UN-WFP telah membuat program yang hebat. Namun UN-WFP mesti menerima kenyataan bahwa aksi program itu di lapangan sangat buruk, jika memang kita tidak mau menyebutnya dengan istilah gagal total.

Awalnya anak-anak di sekolah telah menganggap UN-WFP, Care International maupun PT. Tiga Pilar Sejati sebagai `Sinterklas' yang akan mengisi hari-hari penuh canda mereka di sekolah. Biskuit gratis itu telah membuat mata murid-murid di sekolah berbinar-binar menunggu dengan sabar agar guru membagikannya kepada mereka saat jam istirahat sekolah. Dan biskuit gratis itu telah menjadi pahlawan, yang membangunkan mereka pagi-pagi benar untuk segera berangkat ke sekolah. Meski mereka tidak punya uang jajan dari orangtua, di sekolah telah menunggu `Sinterklas' yang siap membagi-bagikan biskuit itu. (bersambung)

Sumber: Pos Kupang 15 April 2009 halaman 1

Posted in Label: , , |

0 komentar: