Menengok Penyakit Frambusia di Belu (1)

Oleh Ferdinandus Hayong

SALAH satu penyakit di Indonesia Bagian Timur yang hingga saat ini belum tuntas adalah penyakit Frambusia. Dalam bahasa Inggris, Frambusia disebut Yaws. Ada juga yang menyebutnya Frambesia tropica. Penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk miskin. 

Dr. I Nyoman Kandun, pengurus Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, dalam tulisannya mengemukakan bahwa Frambusia -- dalam International Classification of Disease diberi kode ICD-9 102; ICD-10 A 66 -- adalah penyakit kronis, termasuk monvenereal treponematosis, yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue, masih saudara kandung dengan Treponema pallium sub spesies pallidum penyebab syphilis (Lues, raja singa).

Penyakit Frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki. Lesi ini tidak sakit, tapi bertahan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Lesi kemudian menyebar membentuk lesi yang khas berbentuk buah frambus (raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut dari penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 persen dari penderita yang tidak diobati.

Walaupun bakteri penyebab Frambusia masih saudara kandung dengan bakteri penyebab syphilis, stadium lanjut penyakit Frambusia tidak menyerang organ-organ vital tubuh seperti otak, mata, jantung, aorta dan lain-lain, sehingga tidak fatal. Frambusia pada stadium primer dan sekunder sangat menular melalui kontak langsung dengan cairan luka borok atau secara tidak langsung kemungkinan ditularkan oleh lalat dari luka borok yang terbuka. 

Frambusia adalah indikator kemiskinan dan keterbelakangan. Jika di suatu daerah ditemukan frambusia berarti keadaan gizi, kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungannya jelek, tidak tersedia sarana air bersih yang memadai, permukiman dan prasarana wilayah yang jelek. Artinya, wilayah tersebut tidak tersentuh oleh pemerataan program pembangunan di segala bidang. 

Bagaimana dengan Kabupaten Belu? Kepala Dinas Kesehatan Belu, dr. Lau Fabianus menyebut bahwa penyakit Frambusia di NTT hingga akhir Desember 2007 angka prevalensi rate-nya mencapai 3,5 per 10.000 penduduk, sedangkan di Kabupaten Belu angka prevalensi rate 5,6 per 10.000 penduduk. Angka ini jauh di atas target nasional yaitu 1/10.000 penduduk. 

Jumlah penduduk Kabupaten Belu sebanya 378.88 jiwa yang tersebar di 208 desa/kelurahan, dengan sarana pelayanan kesehatan sebanyak 20 puskesmas dan 4 rumah sakit. Pada tahun 2007 terdapat delapan buah puskesmas pada 33 desa. Daerah endemis Frambusia, yaitu Puskesmas Nurobo, Weoe, Biudukfoho, Betun, Tunabesi, Kaputu dan Weliman. 


Memasuki tahun 2008, penyakit frambusia di Belu tercatat dengan angka prevalensi 10,4/10.000 penduduk yang tersebar di 39 desa di tiga wilayah kerja puskesmas, yaitu Puskesmas Bidukfoho, Kaputu dan Tunabesi.

Terhadap bentangan fakta ini, Lau Fabianus menilai bahwa penyakit Frambusia saat ini menjadi ancaman serius bagi warga di selatan Belu. Hal inilah yang mendorong pemerintah Kabupaten Belu melalui Dinas Kesehatan Belu bersama dengan WHO, Departemen Kesehatan RI, Dinas Kesehatan NTT melakukan survei dan pengobatan dalam rangka eradikasi penyakit dimaksud. 

Kegiatan bersama ini diharapkan minimal 80 persen penduduk di daerah kantong Frambusia dapat ditemukan. Selain itu, ditemukannya seluruh penderita Frambusia dan kontak. Dengan begitu, tim dapat mencari jalan untuk mengobati para penderita ini sehingga target eradikasi Frambusia di Belu tahun 2012 dapat tercapai.

"Tim yang terlibat dalam survei Frambusia sebanyak 59 orang. Tim ini melakukan survei tanggal 23-31 Maret 2009 yang dilaksanakan di 22 desa yang ada di 8 kecamatan yang jadi kantong Frambusia, yakni Kecamatan Rinhat, Kecamatan Wewiku, Kecamatan Weliman, Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Laenmanen, Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Sasitamean, dan Kecamatan Iokufeu," jelas Fabianus.

Dari berbagai literatur disebutkan bahwa penyakit frambusia ini sesungguhnya pada pemerintahan Orde Baru telah menetapkan bahwa Frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan "Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)". Namun, kenyataannya sampai saat ini Frambusia masih ditemukan. Di Kabupaten Belu sendiri selama ini sepertinya masyarakat dan pemerintah melihat penyakit ini sebagai hal biasa. 

Terbukti baru saat ini Pemerintah Kabupaten Belu mulai 'tanam kaki' dengan melakukan survei ke titik-titik rawan di wilayah selatan Belu. Keadaan ini menyusul adanya wanti-wanti dari pihak WHO. Hasil evaluasi WHO menunjukkan bahwa kasus Frambusia di Belu sudah sangat mengkhawatirkan. WHO bahkan men-support dana Rp 400 juta bagi pemerintah setempat agar persoalan Frambusia ini dapat ditekan. 

Pertanyaannya, mungkinkah target yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Belu untuk bebas Frambusia tahun 2012 dapat dicapai? Target ini tentunya masih harus diuji kembali. Persoalannya, mengatasi kasus ini banyak faktor pendukung yang mestinya jadi bahan pertimbangan. Metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan tetap menjadi indikator yang harus diperhatikan. Untuk itu sangatlah tepat kalau semua pihak di Belu melihat penyakit Frambusia ini sebagai persoalan bersama. (bersambung)

Sumber: Pos Kupang 18 April 2009 halaman 1

Posted in Label: |

0 komentar: