WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (4)

Oleh Julianus Akoit

HARI Selasa, 14 April 2009 pagi, Marselinus Kabosu, Kepala SD Negeri Naiola di Kecamatan Bikomi Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), memerintahkan dua guru setempat, Ny. Delfriana Oetpah dan Izaac Liem, untuk mengeluarkan dua kardus berisi 180 bungkus biskuit gratis bantuan dari WFP. Biskuit dibagi-bagikan kepada para murid kelas III - VI. Masing-masing mendapatkan satu bungkus.

Para murid pun menerima biskuit itu tanpa rasa curiga sedikit pun akan bahaya yang mengancam hidup mereka. Mereka menikmatinya dengan lahap sembari bercanda dengan teman sebangkunya. Mereka menikmati `makanan sampah' itu dalam kelas, diawasi dua guru tadi bersama kepala sekolahnya.

Apakah bapak sudah terima surat perintah dari Kadis Dikpora TTU, Drs. David Juandi, agar biskuit bantuan UN-WFP itu jangan dibagikan kepada para murid? "Sampai hari ini, tidak ada surat itu. Juga tidak ada petugas dari Care International yang datang membawa surat larangan," jawabnya keheranan. 

Sejenak ia terkejut dan ketakutan ketika wartawan menjelaskan tentang perihal `makanan sampah' yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa murid-murid. Tentang temuan benda-benda asing seperti potongan pisau silet, jarum pentul, patahan jarum suntik, anakan hekter dalam biskuit bantuan UN-WPF di Kabupaten Belu dan Kabupaten TTU, selama dua pekan terakhir.

"Sudah empat kali kami membagikan biskuit ini, tapi belum ada murid yang melaporkan kepada guru bahwa ada benda-benda asing yang berbahaya itu," tandas Kabosu berkali-kali ketika Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten TTU, Pater Marianus Kobatoyo, SVD, menanyakan kenapa biskuit itu dibagikan lagi kepada murid padahal sudah ada larangan dari pemerintah dan pihak UN-WFP sendiri. Setelah Pater Kobatoyo menjelaskan tentang sejumlah fakta `biskuit bencana' itu, Kabosu berjanji tidak akan membagikan lagi kepada murid- muridnya.

Sebenarnya kasus biskuit bencana ini sudah terjadi bulan November 2008 di Kabupaten Belu. Beberapa murid sekolah dasar di Belu nyaris menelan benda-benda asing berbahaya itu ketika mengonsumsinya di sekolah. Namun ternyata Care International dan UN-WFP `menyembunyikan' rapat-rapat kasus itu agar tidak diketahui publik maupun pers. Kalaupun informasi buruk tentang biskuit berbahaya itu sampai kepada orangtua, Care International dengan sangat lihai merekayasa informasi tadi, seakan-akan itu kesalahan teknis biasa. Bahkan Care International terus berkampanye dari sekolah ke sekolah bahwa biskuit gratis bantuan UN-WFP sangat aman dan tidak berbahaya.

Perilaku dua lembaga bantuan internasional ini patut disesalkan dan dikutuk oleh semua orang. Hanya karena kepentingan proyek, kesehatan dan jiwa anak-anak hendak digadaikan secara murah dengan cara paling sadis. Kenapa memaksakan `biskuit bencana' itu terus dibagikan ke sekolah? Ada maksud apa? 

Apakah hendak mencelakakan para balita, anak sekolah dan ibu hamil? Kenapa biskuit bencana itu hanya ada di Provinsi NTT, sedangkan di Provinsi NTB tidak ada kasus semacam ini? Apakah itu memang sudah dirancang dengan sengaja?

Dari aspek hukum, kasus ini sebenarnya bisa digiring ke wilayah hukum pidana. Bahkan bukan hanya bisa, tetapi sebenarnya wajib bagi aparat penegak hukum untuk memproses kasus `biskuit bencana' tersebut. Ada unsur penguat tindakan pidana, yaitu dengan sengaja, direncanakan secara sistematis mengedarkan makanan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa anak-anak.

UN-WFP dan Care International telah dengan sengaja melanggar ketentuan Child Rights and Child Protection (CRCP). Dalam CRCP, ditegaskan ada sejumlah kriteria sangat ketat bagi lembaga bantuan asing/NGO yang harus dipatuhi ketika memberikan bantuan makanan bagi balita dan anak-anak. Salah satu ketentuan CRCP, yakni bantuan makanan atau barang kepada anak-anak hendaknya mengutamakan kesehatan dan tidak mencelakakan jiwa anak-anak. Jika terbukti UN-WFP dan Care International sengaja mengedarkan `biskuit bencana' itu untuk tujuan tidak baik, publik bisa mengadukan kedua lembaga ini ke Mahkamah Internasional dengan tuduhan melakukan genosida, kejahatan massal untuk melenyapkan suatu species manusia atau etnis tertentu, yakni anak-anak.

Di Indonesia, Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, menegaskan tentang larangan mengedarkan makanan atau minuman atau barang yang membahayakan kesehatan. Dalam pasal 21 ayat (3), diatur bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan, sebagaimana diatur dalam ayat (1), dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran dan disita atau dimusnahkan sesuai ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku.

Jika terbukti UN-WFP dan Care International sengaja melanggar ketentuan pasal 21 ayat (1), (2) dan (3), maka kedua lembaga ini bisa dijerat dengan pasal 80 ayat 4 butir (a) UU Nomor 23 Tahun 1992. Dalam pasal ini ditegaskan bahwa barang siapa mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan, dipidana dengan penjara 15 tahun dan denda Rp 300 juta.

Lalu bagaimana dengan produsen `biskuit bencana', PT. Tiga Pilar Sejati? Pabrik biskuit ini juga bisa dijerat dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pemilik pabrik biskuit ini berstatus sebagai pelaku usaha harus menjamin mutu barang atau bahan pangan (biskuit), sebagaimana diatur dalam pasal 7. Bahkan dalam pasal 8 ayat 3, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak atau bahan pangan yang rusak.

Dalam pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, para konsumen (anak-anak dan ibu hamil) berhak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengonsumsi barang atau bahan pangan atau jasa. Konsumen juga berhak atas informasi yang jelas, jujur mengenai kondisi dan jumlah barang (baca: biskuit). Juga konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau pengganti barang yang rusak.

Lalu bagaimana dengan penyidik Polres TTU? Sampai hari ini, kabar tentang penyelidikan kasus `biskuit bencana' ini seakan berjalan di tempat. Polisi pun seakan `takut' memeriksa pejabat-pejabat dari UN-WFP dan Care International. Bahkan Direktur PT. Tiga Pilar Sejati belum dipanggil untuk diperiksa. "Mereka belum dipanggil untuk diperiksa," kata Kapolres TTU, AKBP Adi Wibowo, S.H, ketika dihubungi melalui Kasatreskrim Polres TTU, Iptu Eko Mei Prabocahyono, Kamis (16/4/2009) petang. Eko tidak merinci alasan pihaknya enggan memeriksa pihak-pihak terkait yang dianggap bertanggung jawab atas peredaran biskuit bencana tersebut. Apakah Pak Polisi tunggu anaknya sendiri jadi korban menelan jarum pentul karena makan biskuit itu, baru melakukan proses hukum? Silakan jawab sendiri. (habis) 

Sumber: Pos Kupang 17 April 2009 halaman 1 

Posted in Label: , |

0 komentar: