WFP's School Feeding Program dan `Biskuit Bencana' (3)

Oleh Julianus Akoit

KETIKA kasus biskuit ini berhasil diungkap pers, banyak pihak sontak marah bahkan meradang. Para tokoh masyarakat, tokoh adat bahkan tokoh agama turut `meramaikan' perang opini tentang kasus biskuit bantuan UN-WFP itu. Opini itu pun macam-macam. Ada yang menyayangkan kenapa UN-WFP yang konon merupakan salah satu lembaga yang dipercaya PBB memberikan bantuan kemanusiaan untuk perbaikan gizi anak dan ibu hamil di hampir seluruh belahan dunia ini bisa kecolongan dan terkesan bekerja tidak profesional.

Ada lagi yang sampai menuding jangan-jangan UN-WFP punya 'misi terselubung' untuk mencelakakan para ibu hamil dan anak-anak di NTT. Bahkan ada yang menuding orang-orang yang bekerja di UN-WFP hanya tahu `bikin proyek' tapi tidak punya hati nurani. Hanya ingin kejar profit, bukan untuk tujuan kemanusiaan.

"Kenapa harus beri biskuit, yang nota bene makanan pabrik? Asal tahu saja, makanan pabrik minus vitamin dan mineral. Kalau pun ada, cuma sekian persen saja. Jadi kampanye UN-WFP bahwa biskuit berfortifikasi itu mengandung vitamin dan mineral, adalah cerita bohong! Apalagi ditemukan ribuan bungkus biskuit mengandung benda-benda asing berbahaya seperti beling, pisau silet, jarum pentul, patahan jarum suntik, anak hekter, kerikil dan pasir dalam lempengan biskuit, adalah bukti nyata bahwa UN-WFP telah bekerja tidak profesional. Itu semua menjadi bukti UN-WFP telah menggandeng PT. Tiga Pilar Sejati, sebagai pabrik produsen biskuit yang jelek dan tidak memenuhi standar kesehatan," jelas Pastor Paroki Kiupukan, Romo Yos Nahak, Pr.

Ia justru menantang UN-WFP memberikan bantuan makanan untuk perbaikan gizi balita dan ibu hamil dengan memanfaatkan sumber pangan lokal yang melimpah ruah. Misalnya kacang-kacangan, umbi-umbian, jagung dan beras dari padi varietas lokal, dan sebagainya. "Sekarang pemerintah sedang giat-giatnya kampanye pangan lokal. Mestinya UN-WFP melihat itu sebagai peluang. Saya juga banyak orang curiga dan heran, kenapa yang diberikan makanan pabrik alias makanan sampah? Ada maksud apa? Mau bikin proyek??" tanya Romo Yos Nahak. Entahlah, sampai sekarang kita tidak tahu. Yang bisa menjawab cuma UN-WFP sendiri.

Baiklah kita tinggalkan opini di atas dan menengok laporan The UN's Standing Committee on Nutrition (SCN) bahwa gizi buruk adalah penyumbang terbesar bagi timbulnya berbagai penyakit pada anak-anak dan ibu hamil. Bahkan Komisi PBB untuk Urusan Gizi ini melaporkan kekurangan gizi pada anak usia dini dan anak pra sekolah, memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan fisik dan mental yang lambat. Komisi ini juga melaporkan sebanyak 147 juta anak pra sekolah di negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan fisik dan mental yang sangat rendah.

Penghasilan keluarga yang rendah (keluarga miskin) juga memberi kontribusi bagi ibu hamil yang melahirkan anak dengan berat badan sangat rendah. Padahal anak usia dini dan usia pra sekolah adalah saat paling tepat dalam hidupnya yang dilukiskan sebagai "window of opportunity", sebagai suatu kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang secara baik dan maksimal. Suatu kesempatan dan peluang untuk `membentuk' anak menjadi manusia yang sehat secara fisik dan mental. Suatu periode yang sangat kritis dan penting.

Laporan ini menjadi rujukan penting bagi UN-WFP untuk membuat WFP's School Feeding Program bagi anak sekolah dan program rehabilitasi nutrisi bagi balita dan ibu hamil. Dan itu dilakukan di beberapa negara berkembang di Asia, Afrika dan beberapa negara konflik di Eropa, Amerika Latin dan negara Timur Tengah.

Lalu bagaimana dengan bantuan makanan yang diberikan UN-WFP? Apakah memenuhi persyaratan kesehatan? Apa saja produk makanan yang disiapkan? Selama ini UN-WFP memiliki 5 produk makanan bergizi yang didistribusikan kepada masyarakat untuk memperbaiki gizi balita dan anak serta ibu hamil. Pertama, Fortified Blended Foods (FBFs). Makanan jenis ini mengandung sereal dan susu, kedelai, kacang-kacangan, serta vitamin dan mineral, kadang juga diformulasi khusus dengan kandungan minyak sayur dan susu bubuk. Kedua, Corn Soya Blend (CSB), mengandung suplemen protein. Makanan ini untuk mengatasi kekurangan gizi dan sering diberikan kepada anak dan ibu hamil.

Ada juga produk makanan siap saji (Ready to Use Foods/RUFs). Produk makanan ini biasanya diberikan kepada anak usia 6 bulan sampai 59 bulan, yang mengalami gizi buruk kekurangan pangan atau kelaparan. Makanan ini umumnya terdiri dari komposisi minyak sayur, susu skim kering, gandum dan gula.
Ketiga, ada lagi makanan berupa biskuit berenergi tinggi (High Energy Biscuits/HEBs). Biskuit ini mengandung gandum dengan kompoisi 450 kcal dengan minimal 10 gram dan maksimum 15 gram protein per 100 gram, dilengkapi vitamin dan mineral. Biskuit ini untuk perbaikan gizi. Keempat, ada juga produk yang disebut Micronutrient Powder. Makanan ini lebih populer dengan istilah "Sprinkles". Micronutrient Bubuk atau "Sprinkles" mengandung 16 vitamin dan mineral yang diperuntukkan bagi satu orang dalam asupan gizi hariannya. Ia dimasak sebentar sehingga menjadi bubur siap saji. Biasanya diberikan kepada anak-anak.

Dan masih banyak produk makanan bergizi yang menjadi `proyek' UN-WFP. Kita berharap makanan bergizi versi UN-WFP itu memang makanan yang layak, sehat dan bergizi, bukan makanan sampah, sebagaimana yang mereka kampanyekan selama ini. Memang kita tidak bisa melakukan intervensi melalui sebuah badan independent untuk menyelidiki dan membuktikan apakah produk makanan dari UN-WFP itu layak konsumsi bagi anak dan ibu hamil, terlebih apakah aman?

Di Indonesia, kita punya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Tapi sering lembaga ini hanya berperan sebatas `pemadam kebakaran' alias sudah terjadi kasus baru melakukan penelitian terhadap obat atau makanan yang dicurigai. Ketika sudah ada korban baru petugas BPOM turun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan. Tindakan preventif nyaris tidak ada. Kalaupun ada jarang, dan biasanya dilakukan dengan semangat `panas-panas tahi ayam'. (bersambung)

Sumber: Pos Kupang 16 April 2009 halaman 1

Posted in Label: , |

0 komentar: