Mungkinkah Petani Jagung di NTT Sejahtera?

Oleh Damianus Adar

Kandidat Doktor Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

HARAPAN yang tinggi akan peran pertanian dalam memecahkan berbagai masalah kritis yang dihadapi, terutama kemiskinan, apabila rekonstruksi dan restrukturisasi telah dilakukan, kembali dipertanyakan: mungkinkah para petani sejahtera? Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga pangan dunia serta krisis perekonomian dunia di tahun 2008 membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi para petani Indonesia. 

Kenaikan harga BBM telah meningkatkan biaya produksi barang dan jasa dan menurunkan profit perusahaan (pertanian). Dengan demikian, para perusahaan mengurangi penggunaan input produksi. Hal ini berdampak pada menurunnya produksi barang dan jasa. Dampak selanjutnya adalah permintaan akan barang dan jasa melebihi produksi yang tersedia, sehingga harga-harga meningkat (inflasi) dan pengangguran bertambah. Kenaikan harga-harga ini menurunkan daya beli petani (purchasing power) dan menurunkan kesejahteraan (welfare) mereka.

Kesejahteraan merupakan variabel/indikator yang dipakai di hampir semua disiplin ilmu. Dalam ilmu ekonomi pertanian, variabel itu menempati posisi sentral. Keberhasilan atau kegagalan sesuatu, atau serangkaian, kebijakan tercermin dari arah perubahan indikator kesejahteraan yang digunakan: meningkat atau menurun. Baik-buruknya 'sistem' pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam akan tercermin pada meningkat atau menurunnya indikator kesejahteraan rakyat. 

Tinggi-rendahnya pendapatan petani, merata-timpangnya distribusi pendapatan petani vs non petani, lestari-terdegradasinya kondisi sumberdaya pertanian mengindikasikan berhasil-gagalnya kebijakan pembangunan pertanian yang telah kita terapkan. Dan, sampai batas tertentu, hal ini mencerminkan kuat-rapuhnya upaya politik yangg telah kita curahkan untuk menempatkan sektor pertanian dan para petani pada tingkatan yang lebih tinggi.

Tulisan ini tentang 'Mungkinkah petani jagung NTT sejahtera' merupakan suatu query terhadap para pembuat kebijakan pembangunan pertanian, penggiat politik pertanian -- jika memang betul-betul ada -- atau akademisi ekonomi pertanian dan politik pengelolaan sumberdaya alam. Secara teoritis, memperhatikan resource endowment yang kita miliki, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah "Ya, mungkin". Secara empiris/praksis, jawabannya barangkali adalah "Ya, mungkin, dan kesejahteraan petani harus kita perjuangkan sekuat tenaga, sekeras pemikiran dan garis kebijakan yang sudah dicanangkan." 

Untuk dapat mempertahankan dan bahkan meningkatkan kesejahteraan petani di era fluktuasi perekonomian yang tidak menentu ini, maka pembangunan pertanian tetap merupakan hal yang penting. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya pembangunan pertanian: 1) potensi sumberdayanya yang besar dan beragam, 2) pangsa terhadap pendapatan nasional yang cukup besar, 3) besarnya pangsa terhadap ekspor nasional, 4) besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, 5) perannya dalam penyediaan pangan masyarakat, dan 6) menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. 

Pembangunan pertanian masa lalu dan bahkan sampai saat ini mempunyai kelemahan antara lain terfokus pada usahatani (on farm), lemahnya dukungan kebijakan makro, serta pendekatannya yang sentralistik. Usaha pertanian sebagai suatu sistem (sistem agribisnis) dijalankan secara tersekat-sekat. Struktur sistem agribisnis yang tersekat-sekat ini dicirikan oleh: (1) subsistem agribisnis hulu (produksi dan perdagangan sarana produksi pertanian) dan subsistem agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan perdagangannya) dikuasai oleh pengusaha menengah dan besar yang bukan petani. Petani sepenuhnya hanya bergerak pada subsistem agribisnis penghasil produk primer; (2) Antar subsistem agribisnis tidak ada hubungan organisasi fungsional dan hanya diikat oleh hubungan pasar produk antara yang juga tidak sepenuhnya kompetitif; (3) Adanya asosiasi pengusaha yang bersifat horisontal dan cenderung bersifat sebagai cartel. 

Berbagai asosiasi pengusaha ini dapat ditemui pada subsistem hulu maupun subsistem agribisnis hilir; (4) Agribsinis dilayani oleh paling sedikit lima departemen teknis (pertanian, kehutanan, perindustrian dan perdagangan, tenaga kerja dan transmigrasi, koperasi). Berbagai departemen ini tentunya memiliki visi ataupun mandat yang berlainan sehingga berbagai kebijakan yang ditujukan pada agribisnis belum tentu integratif dan selaras satu dengan lainnya dipandang dari sudut agribisnis sebagai satu sistem.

Kebijakan lain pada usaha pertanian masa lalu adalah tingkat perlindungan pemerintah, kebijakan investasi dan alokasi kredit berdasarkan sektor lebih banyak ditujukan pada sektor industri. Strategi makro pemerintah dalam proses industrialisasi yang secara operasional lebih berorientasi pada sektor industri yang berbasiskan padat modal yang kurang mengakar dan sektor pertanian hanya bertumpu pada sektor beras.

Kelemahan-kelemahan tersebut mengakibatkan usaha pertanian kita saat ini masih banyak didominasi oleh usaha dengan 1) skala kecil, 2) modal terbatas, 3) teknologi sederhana, 4) sangat dipengaruhi musim, 5) wilayah pasarnya lokal, 6) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), 7) akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, 8) pasar komoditas pertanian sifatnya mono/oligopsoni sehingga terjadi eksploitasi harga pada petani.

Pembangunan pertanian di masa datang tidak hanya dihadapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, namun dihadapkan pula pada tantangan untuk menghadapi perubahan tatanan politik yang mengarah pada era demokratisasi, yakni tuntutan otonomi daerah dan pemberdayaan petani. Di samping itu, dihadapkan pula pada globalisasi dunia. Oleh karena itu, pembangunan pertanian tidak saja dituntut untuk menghasilkan produk berdaya saing tinggi, namun juga mampu mengembangkan pertumbuhan daerah serta pemberdayaan masyarakat.

Salah satu kebijakan untuk mengembangkan pertumbuhan daerah NTT saat ini adalah pengembangan jagung. Mudah-mudahan kebijakan ini bukan merupakan politik pro pertanian (pro konglomerat), tetapi lebih merupakan kebijakan yang pro petani. Intervensi pemerintah ini merupakan suatu hal yang benar dan mulia dalam rangka menyelamatkan para petani NTT dari kerawanan pangan dan kemiskinan. Namun, perlu diingat bahwa implementasi dari kebijakan ini pasti mendapat banyak tantangan. 

Sejalan dengan perubahan tatanan politik di Indonesia, dan di NTT khususnya yang mengarah pada globalisasi, maka keberhasilan kebijakan tersebut di masa datang dihadapkan pada dua tantangan pokok sekaligus. Tantangan pertama adalah tantangan internal yang berasal dari domestik, di mana target pelaksanaannya tidak saja dituntut untuk mengatasi masalah-masalah yang sudah ada, namun dihadapkan pula pada tuntutan demokratisasi yang terjadi di daerah ini. Sedangkan tantangan kedua adalah tantangan eksternal, di mana pembangunan di sektor pertanian (komoditas, produk dan jenis usaha jagung) diharapkan mampu untuk mengatasi era globilisasi dunia. Kedua tantangan ini sulit untuk dihindari karena merupakan suatu rumusan kebijakan pembangunan nasional yang sudah disepakati di negara ini. 


Tantangan pemberdayaan petani mungkin bisa ditanggapi dengan intervensi pemerintah, yang berkaitan dengan pengembangan jagung untuk kesejahteraan petani, yang berorientasi non-efisiensi. Mengingat para petani NTT adalah merupakan net buyer (konsumen) dan sekaligus net seller (produsen), maka kebijakan harga dan non harga perlu digalakkan secara bersama-sama. Kebijakan pertama dapat dilakukan dengan adanya penetapan harga pembelian pemerintah atau intervensi pemerintah dengan melakukan stabilisasi harga (price stabilization) jagung. Pemerintah dapat melakukan pembelian produk petani pada saat panen raya dan mensuplainya ke pasar pada saat bukan musim panen jagung. Kebijakan kedua dapat dilakukan dengan keputusan stabiliasi pendapatan (income stabilization). 

Jika dicari faktor-faktor penyebab stagnasi produksi pertanian di NTT selama ini, maka jawabannya, mungkin, terletak pada rendahnya kepemilikan teknologi, modal dan sumberdaya petaninya. Wujud-nyata kebijakan non harga untuk mendukung pengembangan jagung di NTT ini adalah dengan melakukan 1) pemberdayaan dalam pemanfaatan sumberdaya; 2) pemberdayaan terhadap penguasaan faktor produksi (teknologi usaha, kredit, benih unggul, pupuk, obat-obatan pertanian, dan irigasi); 3) pengembangan posisi tawar petani (peningkatan aksesibilitas informasi pasar); 4) pemberdayaan kelembagaan petani (penguatan kelompok tani, koperasi tani dan bank pertanian); dan 5) pengembangan infrastruktur/penunjang pertanian menjadi tanggung jawab daerah, terutama dalam hal penekanan biaya produksi dan transportasi pascapanen jagung.

Pendekatan pelaksanaaan secara teknis mungkin bisa diusulkan dengan pendekatan cluster, ketimbang pendekatan agribisnis. Pendekatan cluster dengan memusatkan semua aktivitas (on farm dan off farm) pada suatu wilayah/hamparan daratan memungkinkan adanya efisiensi dari penggabungan berbagai skala usaha yang kecil, yang sudah lama dipraktekkan para petani di NTT ini. Dengan demikian, nilai ekonomis yang tinggi dari skala usaha yang kecil dapat dicapai. 

Dalam menciptakan kemandirian petani jagung, sebaiknya pepatah Cina kuno yang berbunyi "jangan berikan kami ikan tetapi kail" kita ganti dengan pepatah kita sendiri yang berbunyi: "jangan berikan kami ikan dan kail atau perahu tetapi ajari kami bagaimana cara membuat kail dan perahu serta cara memancing dengan tangan kami sendiri." Dengan demikian, jika ikan kami habis dan alat mancing serta perahu kami rusak, maka kami dapat memperbaiki dan membuatnya kembali dengan tenaga dan kemampuan serta keterampilan yang ada di dalam diri kami sendiri. Dengan prinsip ini, kesejahteraan petani jagung NTT akan berlangsung 'selama hayat dikandung badan.' *

Posted in Label: , , , |

0 komentar: