Kampanyekan Pangan Lokal
Posted On 18 Februari 2009 at di 00.06.00 by JawapogoBERBAGAI  elemen masyarakat NTT hendaknya terus mengampanyekan budidaya dan pemanfaatan bahan-bahan pangan lokal, seperti jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Beras yang kita anggap sebagai bahan pangan utama selama 
ini terbukti tidak membuat kedaulatan pangan kita makin baik.
Pesan ini dilansir media ini, Jumat (6/2/2009). 
Hari Kamis (5/2/2009) siang, bertempat di ruang redaksi Pos Kupang  berkumpulah para cerdik-cendekia dan para praktisi pertanian untuk membahas kedaulatan pangan di NTT. Tema ini dirasa sangat pas,  selaras dengan kondisi kita di sini.
Peserta diskusi adalah empat orang petani, yakni Petrus Pebe asal Kelurahan Naimata,  Marthen Taklal, Mathen Missa dan Nahor Taklal dari Desa Oeteta, Kecamatan Sulamu. Juga praktisi pertanian, Zet Malelak, insinyur pertanian dari Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang yang sukses mendampingi petani, lalu ada  Ir. Zainal Arifin selaku Kepala Kebun Unit Uji Politani Negeri  Kupang, para pakar pertanian dan pejabat dari Dinas Pertanian dan BKPP NTT.
Banyak gagasan yang mencuat dalam forum diskusi tersebut yang memberi pencerahan kepada  kita. Banyak ide, juga tak sedikit gugatan pada pola pendekatan kita terhadap petani yang membuat petani kita begitu tergantung pada beras. Petani-petani kita menjual jagungnya untuk membeli beras, atau menjual telur ayam kampung dan sayur-mayur untuk membeli mie instan. 
Maka menguatlah gagasan bahwa pangan lokal harus terus dikampanyekan. Kita jangan terlalu tergantung pada beras karena kita punya banyak makanan lokal. 
Dengan kata lain, kita jangan bergantung pada beras yang  lebih banyak didatangkan dari luar daerah. Jika lahan kita memungkinkan, mengapa pemenuhan  beras harus kita "impor"?  Pandangan ini bukan dalam konteks kita tak ingin berinteraksi  dengan dunia luar. Justru salah. Kita butuh inovasi-inovasi dari luar untuk memperkaya  pemahaman kita. 
Jujur saja, kita punya  potensi alam yang menyediakan pangan non beras yang tak kecil. Hanya karena  pergeseran-pergeseran pola hidup, kita mulai beralih ke pangan beras. Ubi, pisang dan sayur-sayuran lokal  mulai dilupakan. Begitu pula jagung  yang cocok tumbuh di daerah ini.
Pangan non beras bukan kali ini diwacanakan. Sudah lama hal ini digalakkan.   Hanya gaungnya  tak kuat. Lemah dalam konteks cakupan  kegiatan dan  keterlibatan  warga.  Hanya diketahui para elit, para  pejabat. Karena itu ke depan,  kita harapkan diskusi dan sosialisasi diharapkan  terus berjalan sampai masyarakat memahaminya. Indikatornya, apakah  masyarakat sudah kembali mengonsumsi  pangan lokal. 
Kita menyadari bahwa mengubah  orientasi memang tak gampang.  Setidaknya dalam konteks diskusi, Pos Kupang  ini telah dua kali membedah khusus dalam hal pangan.  Ini karena  peran pangan itu sentral. Manusia bisa hidup jika ia makan. Ia bisa berkreasi bila "kampung tengahnya" sudah diisi. 
Tetapi pola konsumsi pangan yang salah  akan menyebabkan  banyak persoalan, seperti  tingkat  inteligensi yang rendah.  Itu artinya kita tak bisa berkompetisi. Jika demikian maka kita  telah kalah dalam besaing.
Propinsi ini memang sering  direndahkan, disepelekan.   Kita selalu disebut  daerah kering, miskin, kurang  gizi dan predikat negatif lainnya. Bathin tersiksa mendengar  ungkapan-ungkapan seperti ini. Tapi kita tidak boleh rendah diri. Kita punya banyak kekuatan, juga punya keunggulan lokal, termasuk pangan. 
Warga NTT harus bangga jika kelak menjadi propinsi yang kaya akan hasil jagung, ubi kayu dan kacang-kacangan. Agar daerah ini jangan terus dikasihani dan diremehkan daerah lain karena kita terus lapar, kurang gizi dan mengharap beras dari luar daerah.
Karena itulah kita mendorong semua kekuatan, semua elemen di daerah ini baik perorangan maupun kelompok  agar dapat menyadari persoalan-persoalan ini. 
Kita menginginkan perubahan perilaku dan orientasi. Dan, itu kita patut  memulainya.  Kita yakin, kelak  akan menerima  pernyataan-pernyataan yang menyejukkan. Jangan ada lagi  predikat miskin.  Janganlah daerah ini  kering kerontang sepanjang masa. Sebaliknya, ia   berubah menjadi hijau meski  tahap demi tahap. 
Kita juga berharap busung lapar dan gizi buruk dapat hilang dari NTT. Rakyat kita sebenarnya punya makanan alternatif yang banyak. Alam menyediakannya. Hanya saja kita sudah terlalu tergantung pada beras. Seolah-olah ubi, pisang, kacang- kacangan bukan makanan sehingga orang baru mengatakan "sudah makan" kalau yang dimakan itu nasi.
Dari aspek gizi, pangan lokal itu sangat bergizi. Tetapi masyarakat kita justeru begitu "merindukan raskin" (beras bantuan untuk keluarga miskin), padahal mereka memiliki ubi, pisang, sayur mayur, ternak dan lain-lain. Mengapa bisa begitu? Inilah yang menjadi pekerjaan besar saat ini bagi semua kita, semua pemangku kepentingan untuk mengubah cara pandang dan "cara makan" masyarakat kita. Agar kita tak terus menerus dirundung berita kelaparan, gizi kurang atau gizi butruk, hanya karena kita kekurangan beras! *
Pos Kupang 7 Februari 2009 halaman 14