Gizi buruk di NTT tak pernah diteliti

Pemerintah rupanya belum pernah meneliti secara khusus guna mencari solusi kasus gizi buruk yang selalu menyerang balita di Nusa Tenggara Timur (NTT) setiap tahun. Hal itu disebabkan persoalannya sangat kompleks, dan perlu penyelesaian mendasar, menyangkut penanggulangan kemiskinan.
Demikian diungkapkan Kepala Pusat Penelitian Gizi Departemen Kesehatan, Sunarno Ranuwidjojo, di Jakarta, Selasa (11/9). "Masalah gizi buruk itu sangat kompleks. Bukan hanya masalah perilaku orangtua, tetapi juga menyangkut kemiskinan," katanya.
Menurut dia, untuk mengatasi gizi buruk tidak cukup hanya dengan memberikan makanan tambahan, tetapi harus menanggulangi masalah dasarnya yaitu kemiskinan.
"Depkes sendiri sudah menyusun program seperti posyandu. Jadi kalau ada gizi buruk, mungkin posyandunya tidak jalan," katanya berkilah.
Dari Kupang dilaporkan, kasus gizi buruk di NTT kali ini telah merenggut nyawa enam balita selama periode Januari-Juni 2007. Korban meninggal masing-masing di Kupang dan Alor masing-masing dua balita, sedangkan dua lainnya di Rote Ndao dan Flores Timur.
Informasi tersebut disampaikan Kepala Dinas Kesehatan NTT, Stef Bria Seran. Selain enam balita meninggal, 95 balita lainnya menderita marasmus dengan kelainan klinis, dengan penderita terbanyak di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Sumba Barat, dan Rote Ndao. Disebutkan pula, 73.388 balita menderita kurang gizi.
Stef menjelaskan, kasus gizi buruk akan terus menimpa anak-anak di NTT selama masalah ketercukupan makanan masih belum tertangani secara tuntas.
Untuk jangka panjang telah disusun program pemberian pelayanan bagi balita penderita marasmus, kwashiorkor, dan marasmus kwashiorkor di fasilitas kesehatan dan TFC (Therapeutic Feeding Centre/Pusat Rehabilitasi Gizi) dengan biaya dari pemerintah dan LSM internasional maupun domestik.
Selain itu, segera dibentuk posko pemantauan kasus di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta mendata kasus dan validasi data ke lokasi yang ditetapkan kondisi luar biasa (KLB). Program lainnya adalah penyebaran informasi kasus kepada masyarakat melalui media massa.
Menurut catatan SP, antara Juni 2005 hingga 30 Desember 2006 terdapat 559 kasus gizi buruk dengan kelainan klinis marasmus, kwashiorkor, atau maramus kwashiorkor. Sebanyak 77 kasus di antaranya meninggal dunia. Tingginya angka kematian pada balita dengan kelompok usia 1-2 tahun, karena ketahanan tubuhnya sangat rawan terhadap penyakit sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dengan adanya intervensi pemerintah pusat dalam penanggulangan KLB gizi buruk, angka penderita marasmus, kwashiorkor, maupun marasmus dengan kwashiorkor dapat ditekan.
Kurang Peka
Secara terpisah, Gubernur NTT, Piet Alexander Tallo, dalam percakapannya dengan SP di Kupang, Selasa (11/9) pagi, meminta walikota dan bupati se-NTT untuk memenuhi ketersediaan pangan masyarakat, untuk mencegah bertambahnya penderita gizi buruk. Apalagi, dana dekonsentrasi yang berasal dari pemerintah pusat, disalurkan langsung ke setiap kota dan kabupaten.
Dikatakan, kasus gizi buruk yang dikenal dengan penyakit busung lapar yang mencuat kembali ke permukaan belakangan ini, disebabkan banyak faktor, di antaranya minimnya curah hujan dan faktor alam lainnya yang menyebabkan petani gagal panen. Di sisi lain, pemerintah kabupaten dan kota gagal memberdayakan masyarakat yang menyebabkan tingginya kebergantungan pada bantuan pemerintah.
Menurut Piet Tallo, ketika gizi buruk ditetapkan menjadi KLB di NTT tahun 2005-2006, pemerintah pusat mengalokasikan dana lewat APBN sebesar Rp 51 miliar. Dana tersebut untuk program pemberian makanan tambahan Rp 29 miliar, revitalisasi posyandu Rp 17 miliar, dan kegiatan penunjang Rp 4 miliar. Pemerintah Provinsi NTT juga mengalokasikan dana APBD sebesar Rp 3 miliar untuk makanan tambahan. Sumber: http://www.gizi.net

Posted in Label: |

0 komentar: