Ribuan Anak Balita di NTT gizi buruk

Kompas Jumat, 27 Mei 2005

Kupang, Kompas - Ribuan anak berumur di bawah lima tahun di Nusa Tenggara Timur mengalami gangguan gizi akut dan kronis yang mengarah kepada marasmus yang diduga kuat akibat krisis pangan. Kasus itu ditemukan antara lain di Alor, Belu, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara.
Masalah itu terungkap dalam rapat koordinasi daerah kerja sama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Care Internasional Indonesia (CII), Kamis (26/5) di Kupang. Hadir utusan dinas kesehatan, badan perencana pembangunan daerah tingkat kabupaten dan Provinsi NTT, serta beberapa dokter dan aktivis.
Teny Bengu dari CII yang melakukan survei terhadap lebih dari 2.000 anak balita di tiga kecamatan di Timor Tengah Utara menjelaskan, sebanyak 400 balita di antaranya menderita gizi buruk. Bahkan dua orang di antaranya telah meninggal, dan yang terakhir meninggal akhir pekan lalu di Miomafo Timur.
Balita yang meninggal itu adalah Kristo Wailiu berusia 1,5 tahun, anak dari keluarga Saturnius Nailiu, warga Desa Bifeta, Miomafo Timur, pada September 2004. Seorang lagi meninggal akhir pekan lalu, yakni Yosli Amanunut, dua tahun, anak dari Roswita Ukat, warga Oelani, Miomafo Timur. Selebihnya menderita gizi sedang.
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Alor Paul S Manuempil secara terpisah melaporkan, ketika melakukan pengobatan di lima desa, yakni Taramana, Air Mancur, Lembur Timur, Lembur Tengah, dan Lembur Barat ditemukan 400 balita yang kekurangan gizi.
"Dari jumlah itu, 10-15 persen mengalami gangguan gizi akut yang mengarah kepada gangguan gizi kronis. Adapun 20 persen lagi mengalami gangguan gizi kronis yang mengarah kepada marasmus. Sudah ada satu atau dua kasus yang menderita busung lapar," katanya.
Hanya kecelakaan
Sementara itu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Alwi Shihab mengatakan, kasus busung lapar yang telah mengakibatkan sedikitnya enam anak balita meninggal dunia di Provinsi Nusa Tenggara Barat semata-mata hanya sebuah kecelakaan.
"Mereka yang terkena penyakit busung lapar bukan disebabkan kelalaian, tapi karena ada unsur pemaksaan," kata Menko Kesra Alwi Shihab ketika ditemui seusai memberikan ceramah di Pondok Pesantren Daarul Ma'arif, Cigondewah, Kabupaten Bandung, Kamis.
Menurut Alwi, yang terjadi di Provinsi NTB tersebut adalah anak-anak yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit setempat dipaksa pulang oleh orangtuanya meski belum sembuh benar dari sakitnya.
"Biasalah. Kalau orangtua merasa anaknya sudah sehat, mereka enggan berlama-lama di rumah sakit. Padahal sang pasien masih perlu perawatan lebih lanjut. Meski begitu, orangtuanya tetap memaksa agar anaknya bisa dibawa pulang ke rumah," katanya.
Selain itu, Alwi menduga kurangnya sosialisasi, berupa penyuluhan kepada warga, menjadi salah satu sebab mengapa penyakit ini muncul kembali di NTB.
Alwi mengatakan, meski Provinsi NTB dikenal sebagai wilayah yang surplus dalam pengadaan beras di daerahnya, tidak berarti seluruh penduduk bisa terbebas dari penyakit itu.
"Ini adalah kecelakaan. Kalau kondisi ini terus merebak dan mewabah, hal ini bisa menjadi pertanyaan. Tapi, bukan berarti pemerintah menganggap enteng persoalan ini," kata Alwi Shihab.
Sementara itu Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, masalah busung lapar yang terjadi di NTB semata-mata bukan hanya masalah kekurangan pangan saja, melainkan juga masalah penghasilan individual di masyarakat NTB yang masih kurang sehingga daya belinya pun rendah. Padahal, kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan yang surplus beras
Oleh sebab itu, pemerintah akan membuat program bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam diversifikasi tanaman pangan dan tanaman keras lainnya.
"Nanti pemerintah akan membantu bibit tanamannya. Katakanlah bibit tanaman apa yang paling cocok untuk ditanam di sana, terutama di tanah yang kering," ujar Jusuf Kalla menjawab pertanyaan wartawan di Istana Wapres, Jakarta.
Cuma Rp 20 juta
Untuk menanggulangi gangguan gizi pada anak-anak balita, menurut Kepala Dinas Kesehatan Alor NTT Paul S Manuempil, Pemerintah Kabupaten Alor telah mengalokasikan dana Rp 20 juta. Paul mengakui jika dana itu digunakan untuk menanggulangi sekitar 400 anak penderita gizi buruk, hampir pasti sangat kekurangan. Apalagi jika terus didampingi selama tiga bulan ke depan.
Menurut data di Dinas Kesehatan NTT, jumlah anak balita yang menderita gangguan gizi buruk telah meningkat menjadi 10.000 pada tahun 2004. Jumlah itu meningkat lebih dari 60 persen jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang hanya berkisar 3.500 anak.
Paul juga melaporkan, penyakit tetanus neonatorum yang seharusnya tidak boleh pernah ada justru telah merenggut nyawa Franky, bayi berusia tujuh hari di Welai Timur. Begitu berbahayanya penyakit ini, hanya dengan satu kasus saja sudah dikategorikan sebagai kejadian luar biasa.
Tanda-tanda penyakit ini adalah bayi akan kaku sekujur tubuh, perut menjadi rata seperti papan dan keras, juga kejang-kejang, tidak bisa menyusu karena mulut juga kaku. "Seharusnya penyakit seperti ini tidak boleh ada. Saya menduga karena petugas lalai memberikan imunisasi," katanya.
Lampung cukup tinggi
Sementara itu di Provinsi Lampung, anak berusia di bawah lima tahun yang menderita gizi buruk cukup tinggi. Pada April 2005 tercatat 50 balita menderita gizi buruk. Jumlah itu jauh lebih baik dibandingkan angka penderita pada Februari 2005 yang mencapai 105 anak. Adapun hingga akhir 2004, jumlah balita penderita gizi buruk di Lampung mencapai 215 anak dan satu di antaranya meninggal dunia.
"Angka penderita gizi buruk memang fluktuatif. Setiap bulan selalu ada balita yang menderita gizi buruk," ujar Kepala Subdinas Bina Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Lampung, Mulyanti. (CAL/MHD/IRN/HAR)Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0505/27/daerah/1776829.htm

Posted in Label: |

0 komentar: