Membangun bangsa, menghapus busung lapar

Kompas Jumat, 30 September 2005

Pengantar Redaksi:
Dibandingkan dengan flu burung, polio, dan mungkin sebentar lagi demam berdarah, busung lapar memang tidak ”seksi”. Meski membuat masa depan suram karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, dampaknya tidak langsung terasa sehingga isu busung lapar hilang ditelan ingar-bingar persoalan negeri ini. Maka, diskusi panel Kompas, 6 September 2005 -- hasil kerja sama dengan Jaringan Solidaritas Pencegahan Busung Lapar -- mencoba mengangkatnya. Sebagai panelis hadir Butet Kertarajasa (seniman), Sri Palupi (Institute for Ecosoc Rights), Rachmat Sentika (dokter anak), dan moderator Benny Susetyo (pengamat sosial). Hadir pula Siti Musdah Mulia (Koordinator Jaringan Solidaritas untuk Penanggulangan Busung Lapar), Jalaluddin Rahmat (pengamat sosial), dan Ratna Riantiarno (seniman). Hasilnya adalah dua tulisan di bawah ini.
***
Oleh: Agnes Aristiarini
Santiago memandang kawanan dombanya. ”Mereka hanya peduli pada makanan dan air. Hari-hari mereka tak pernah berubah, selalu di antara matahari terbit dan terbenam. Mereka tak pernah membaca buku, tak pernah paham keindahan suatu kota.”
Renungan penggembala yang mencari takdirnya seperti digambarkan Paulo Coelho dalam bukunya, The Alchemist (2003), tampaknya tak berlaku di negeri ini.
Santiago bisa menjual dombanya dan kemudian pergi mengembara. Dalam kehidupan nyata, sebagian yang beruntung lahir di keluarga mampu sibuk mengejar cita-citanya: bersekolah, membaca, dan segala aktivitas lainnya. Namun, sebagian besar lagi ternyata masih pada taraf mengais remah-remah rezeki. Jangankan baca buku, hari ini bisa makan saja masih tanda tanya.
Hingga tujuh tahun pascakrisis ekonomi, Indonesia belum juga beranjak bangkit. Sampai tahun lalu, 36,1 juta penduduk masuk kategori miskin absolut yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.
Harga bahan pokok yang terus melambung tak terjangkau, sementara kebijakan ekonomi tidak membuka lapangan kerja, membuat rakyat miskin terpuruk dan berakhir dengan busung lapar pada anak-anaknya.
Kembali ke awal
Tahun 1998, ketika krisis ekonomi mulai melanda, pemerintah menyelenggarakan Operasi Pasar Khusus (OPK) untuk mengatasi melambungnya harga bahan pokok yang tak terbeli lagi oleh rumah tangga miskin. Dengan segala kritik—karena menggunakan kriteria Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dianggap kurang pas—OPK dimulai Agustus 1998.
Kepada 17 juta keluarga yang perlu bantuan, diberikan kemudahan membeli beras 10 kg dengan harga Rp 1.000 per kg, kurang dari setengah harga pasar. Kemudian kebijakan direvisi dan penduduk miskin berhak membeli 20 kg beras.
Namun, kenyataan di lapangan ternyata memprihatinkan. Peter Stalker dalam Beyond Krismon, The Social Legacy of Indonesia’s Financial Crisis yang diterbitkan Unicef Innocenti Research Center (2000) menyebutkan, para staf lokal yang harus membagi beras itu mendapat tekanan sosial luar biasa.
Mereka harus memeratakan jatah sehingga akhirnya yang miskin mendapat kurang dari yang seharusnya. Bahkan, survei di beberapa kecamatan menunjukkan, beras untuk keluarga miskin malah lebih sedikit dari yang lebih kaya.
Penduduk miskin di perkotaan juga banyak yang tidak terjangkau karena mereka tinggal di kawasan yang tidak sah, tanpa KTP, sehingga tidak mendapat kartu miskin. Memang program OPK telah menyelamatkan jutaan rakyat miskin di Tanah Air meski tak semua bisa dijangkau. Namun, penerapan OPK yang baru dimulai Agustus itu tidak membendung jatuhnya korban busung lapar.
Mengutip hasil survei mutakhir Hellen Keller International antara Juni 1996-Juni 1998, status gizi ibu dan anak merosot bahkan yang di Jatim dan Jateng lebih rendah dibandingkan dengan Kalsel dan Sulsel. Jumlah absolut anak-anak kurang gizi di Pulau Jawa 7-10 kali lebih besar dibandingkan dengan pulau-pulau lain kecuali Sumatera.
Meningkatnya jumlah bayi yang kekurangan energi protein (KEP) maupun mikronutrien vital menjadi sumber kasus-kasus busung lapar enam bulan kemudian. Memang pemerintah telah meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan Rp 1,4 triliun yang langsung dikirim ke dokter puskesmas dan bidan desa di seluruh Indonesia, namun kasus busung lapar masih saja berjatuhan.
Tak ada perubahan
Bisa dikatakan, tahun 2005 keadaan tidak berubah. Dua pertiga dari 220 juta penduduk Indonesia kelaparan kalau diukur dari konsumsi kalori per harinya dan total masih ada 5,7 juta anak Indonesia kurang gizi, yang merupakan kandidat busung lapar. Mereka tersebar antara lain di Jawa Barat (107.500), Sumatera Barat (54.000), Nusa Tenggara Timur (94.920), dan berbagai pelosok Tanah Air.
Pemerintah pusat telah menganggarkan Rp 150 miliar untuk menanggulangi busung lapar ini dalam bentuk pengawasan, pemberian makanan tambahan, dan program kuratif untuk mengobati yang sudah busung lapar.
Pemerintah daerah seperti NTB mengaktifkan penimbangan massal dan sistem kewaspadaan pangan dan gizi, investigasi busung lapar, serta menjaga ketersediaan pangan.
Program-program tersebut sebenarnya tidak struktural dan lebih bersifat sebagai ”pemadam kebakaran” karena baru muncul saat ada masalah. Tidak ada program pencegahan jangka panjang yang bisa diandalkan untuk mengurangi jatuhnya korban busung lapar ke depan.
Padahal, besok (1 Oktober) pemerintah bakal menaikkan harga BBM lagi. Fakta menunjukkan, kenaikan harga BBM awal 2005 telah berbuntut munculnya kasus-kasus busung lapar enam bulan kemudian.
Memang pemerintah telah mengupayakan kompensasi subsidi BBM terutama untuk pendidikan dan kesehatan, namun ketidakefisienan birokrasi memperlambat dana ke yang berhak.
Masalah makin panjang karena kompensasi kesehatan ini bukan untuk memperbaiki status gizi masyarakat miskin dan revitalisasi puskesmas dan posyandu, tetapi untuk asuransi kesehatan. Akibatnya, busung lapar tetap jadi ancaman.
Seperti diketahui, asuransi kesehatan merupakan pendekatan pengobatan individual karena lebih bersifat kuratif. Dengan memiliki asuransi kesehatan, sebenarnya penduduk hanya dijamin saat dia jatuh sakit. Namun, asuransi ini tidak mengajak apalagi menstimulir penduduk bertindak preventif supaya tidak sakit dengan makan makanan bergizi.
Sebenarnya Indonesia punya dasar hukum yang sangat kuat dalam menanggulangi kasus busung lapar karena memasukkan hak anak dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, konstitusi yang menjamin tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak ini dalam kehidupan nyata amatlah memprihatinkan.
Rendahnya kesadaran akan kesehatan masyarakat tercermin dari anggaran negara untuk kesehatan yang hanya 0,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tak ada satu negara pun di Asia Pasifik dengan anggaran kesehatan serendah itu.
Filipina dan Vietnam, misalnya, masing-masing 1,5 persen. China 2,0 persen, sementara Thailand dan Malaysia masing- masing 2,1 persen.
Pemerintah daerah setali tiga uang. Di Kabupaten Takalar, misalnya, dari total APBD, 57 persen di antaranya untuk biaya rutin, termasuk perjalanan dinas dan membeli mobil. Anggaran untuk kesehatan hanya 2 persen dan pendidikan 1 persen. Di Jayawijaya 2 persen untuk kesehatan dan 5 persen untuk pendidikan.
Maka, kalau pemerintah mau bersungguh-sungguh menanggulangi busung lapar, selain yang mengubah yang paling mendasar, yaitu perbaikan persentase untuk anggaran kesehatan, paradigma sakitnya juga harus diubah menjadi paradigma sehat.
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat hidup sehat melalui empat kegiatan: perbaikan gizi (30 persen), perbaikan lingkungan (30 persen), perbaikan perilaku (30 persen), dan baru 10 persen sisanya untuk pengobatan dan pengadaan obat maupun alat kesehatan.
Dengan paradigma sehat, tidak hanya busung lapar yang bisa ditekan kasusnya, melainkan juga ledakan kasus demam berdarah, polio, campak, dan sebagainya. Sistem kesehatan dasar dikembalikan ke posyandu dan puskesmas, sementara privatisasi rumah sakit harus ditinjau kembali karena pemerintahlah yang berkewajiban memenuhi hak paling dasar rakyat: pangan dan kesehatan.
Keadilan ekonomi
Paradigma sehat ini harus disertai pemerataan dan keadilan ekonomi secara menyeluruh sehingga jumlah angka kemiskinan terus bisa dikurangi. Sistem ketahanan pangan harus dikembangkan untuk menjamin ketersediaan pangan dan gizi dengan harga terjangkau berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal.
Prioritas kebijakan pangan harus diarahkan pada kelompok yang paling rentan, demikian pula program-program kesehatan dan kesejahteraan lainnya.
Ciptakan aktivitas-aktivitas ekonomi produktif dan penyertaan sebanyak mungkin partisipasi dan kontribusi masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Intinya, buka kesempatan selebar-lebarnya bagi rakyat miskin untuk memberdayakan diri, dan karena itu program-program yang bersifat karitatif sebaiknya dihindari. Sumber kompas http://kompas.com/kompas-cetak/0509/30/humaniora/2089791.htm

Posted in Label: |

0 komentar: