Pangan Lokal dan Perubahan Perilaku

Oleh Gerady Tukan

Magister Biokimia, Dosen FMIPA Unwira Kupang

"AYO kawan kita bersama, menanam jagung di kebun kita...." Penggalan lagu ciptaan Ibu Sud ini terkenal merasuk kalbu seluruh rakyat Indonesia, terutama di kalangan pelajar SD, di era tahun 1970-1980-an. Saya teringat, ketika masih sebagai siswa SD, sekolah kami memiliki satu lahan kebun. Setiap hari Sabtu, setelah upacara bendera pagi, kami beramai-ramai menuju kebun sekolah sambil menyanyikan lagu itu, dan juga lagu mars ONM dan ONH. Maklum, saat itu NTT dipimpin oleh Gubernur Ben Mboi, yang gencar dengan program Operasi Nusa Makmur (ONM) dan Operasi Nusa Hijau (ONH), dan menekankan berkebun. 


Menanam jagung, menanam ubi kayu, makan jagung, makan ubi kayu merupakan hal yang kini tidak familiar di generasi kita. Sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk rakyat NTT, bahkan menganggap bahan-bahan itu sebagai makanan orang desa, makanan rakyat kecil, makanan rakyat kelas bawah. Jagung dan ubi kayu juga kerap disejajarkan dengan kemiskinan atau kelaparan dan rawan pangan.

Stigma yang ada saat ini mengatakan, jagung dan ubi kayu adalah gambaran kemelaratan, gambaran kemiskinan. Masyarakat saat ini lidahnya sudah terbiasa dengan makan nasi dari beras padi. Ketersediaan beras padi pun dapat diperoleh relatif gampang, baik dibeli di toko-toko, atau diperoleh di kantor desa, dalam statusnya sebagai beras raskin, beras padat karya, beras bantuan sosial, beras tanggap darurat, beras 'serangan fajar', dan berbagai atribut lainnya. 

Lalu mengapa paket Fren begitu berani mau menyeret masyarakat NTT untuk kembali menggauli jagung dan ubi kayu dalam bingkai pangan lokal dalam era yang serba maju ini?
Banyak pendapat yang telah kita baca, mengemukakan bahwa paket Fren mengangkat program kembali ke pangan lokal dengan lebih mengedepankan pengembangan jagung sebagai jalan keluar penguatan ekonomi rakyat NTT. Paket Fren dinilai berani mengangkat program ini dan terkesan mau melawan arus perkembangan zaman saat ini, karena berangkat dari kultur asli rakyat dan kondisi daerah NTT. Bahwa rakyat NTT memiliki tradisi agraris dengan kehandalan pengetahuan berladang. 

Daerah NTT memiliki iklim tropis panjang, maka tanaman jagung dan penghasil pangan lokal lainnya dipandang lebih pas untuk menjadi penyanggah ketahanan pangan rakyat NTT. Dengan modal dasar kehandalan bertani ladang serta kultur agraris, maka diharapkan pula agar komoditi jagung dan ubi kayu NTT tidak hanya sebatas ketahanan pangan lokal saja, akan tetapi untuk kepentingan komoditas ekspor. 

Namun fakta di lapangan dewasa ini agak berbeda. Bertanam jagung dan ubi kayu, sama dengan berkebun. Tradisi berkebun bagi rakyat NTT saat ini hanya sedang dipertahankan oleh generasi tua untuk mempertahankan hidup yang tersisa. Generasi muda sekarang sudah tidak berminat untuk berkebun. Mereka kini telah dihadapkan oleh berbagai tawaran pilihan hidup lain yang relatif jauh lebih mudah dan menguntungkan, ketimbang banting tulang berjemur panas di ladang, direndam hujan, membuang waktu di ladang selama tiga bulan penuh hanya untuk sekali panen, yang hasilnya juga belum tentu cukup untuk makan sendiri, apalagi dijadikan uang untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Dalam sejarah NTT, belum terdengar ada satu keluarga, atau satu desa, atau satu kecamatan, atau satu kabupaten yang mashur karena jagung. Yang kita tahu adalah: Rote/Sabu = gula air. Ende = ubi kayu. Alor = kenari. Sumba = kuda. Flores Timur = ikan sembe. Sikka = kopra. Manggarai = kopi. Ngada = padi. TTS = cendana, jeruk, apel, sapi. TTU = cendana, sapi. Belu = jati, sapi. Lembata = ikan paus, siput. 

Sedangkan jagung, justru menjadi berita pilu bagi NTT setiap tahun seperti; gagal panen, rawan pangan, terancam kelaparan. Sebabnya adalah karena jagung mati kekeringan lantaran hujan yang tidak cukup. Setiap memulai musim tanam, rakyat NTT mulai diliputi kecemasan dan ketidaktentraman, lantaran curah hujan yang serba teka teki, tidak dapat dipastikan. Kecemasan akan gagal panen menjadi hantu wajib setiap tahun. Mengapa kita tidak perkuat dan pertajam maskot-maskot tiap daerah tersebut hingga dapat menguasai pasar dunia?

Perlu sosialisasi yang jujur
Paket Fren mungkin telah memiliki referensi yang kuat tentang peluang besar keberhasilan bertanam jagung di NTT untuk memajukan daerah ini. Di sini, paket Fren dan kabinetnya harus secara jujur mensosialisasikan kepada masyarakat NTT, apa alasan paling mendasar untuk men-jagung-kan NTT. Apakah untuk menjadi penyanggah ketahanan pangan lokal NTT semata, ataukah ada ambisi lainnya? Atau apakah NTT mau digiring untuk meniru dan mengejar Propinsi Gorontalo yang sukses menguasai pasaran jagung ke China, Filipina, Malaysia dan beberapa negara ASEAN lainnya untuk bahan baku pakan ternak di negaranya? 

Dua tujuan di atas tentu punya daya dan kiat motivasi yang berbeda. Ada cara motivasi bersifat persuasif, ada cara yang bersifat paksaan. Kita tentu berharap cara persuasiflah yang di digunakan secara cerdas dan memikat. Dengan begitu, masyarakat secara sadar dan penuh pengertian ingin mengubah hidup ke arah yang lebih baik dengan bertumpu pada jagung. Masyarakat akan menjadi sangat antusias dan bersemangat berkebun jagung. Mereka juga akan tegar menghadapi ancaman dan kendala, lalu kreatif mengelak dari kegagalan. Bahkan generasi muda pun akan bersemangat bertanam jagung. 

Lain halnya dengan pendekatan yang bersifat pemaksaan yang hanya untuk mengejar suatu target tertentu, penghargaan atas kesuksesan dan prestise. Hal kedua inilah yang patut digelisahkan. Sebab, dapat berakibat eksploitasi terhadap berbagai hal di luar kewajaran, dan jauh di luar daya jangkau serta kesanggupan masyarakat kita. Lalu dengan itu, kita datangkan pihak luar untuk bergerak demi memenuhi target yang kita tetapkan, dan masyarakat kita terpaksa menempati posisi sebagai penonton. Bagaimana pun programnya, pelaksana lapangannya adalah masyarakat di desa-desa. Cara sosialisasi menjadi kunci utama kesuksesannya. Kita ambil contoh saja, cara sosialisasi rencana investasi pertambangan emas di Kabupaten Lembata yang lebih bernuansa pemaksaan kehendak sehingga menuai penolakan, menimbulkan perpecahan di antara rakyat, yang telah menguras pikiran dan perhatian rakyat serta Pemda Lembata selama sekitar 3 tahun ini. Masyarakat digiring untuk setuju investor masuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi emas karena merupakan salah satu program pemerintah daerah, dan terutama untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Argumen dasarnya itu. Timbul penolakan dari masyarakat, karena seolah-olah tambang emaslah yang didewakan menjadi penyelamat hidup rakyat, lalu masyarakat menilai Pemda Lembata sempit wawasan dan tidak kreatif mengkondisikan dan mengajak masyarakat untuk melihat dan mengolah sumber daya alam lain terlebih dahulu. Masyarakat pun beralasan, untuk menaikkan PAD, dapat ditempuh melalui pengolahan sumber daya alam lain, asalkan pemerintah daerah fokus dan serius memfasilitasi pengolahannya, dan berada di pihak kepentingan dan keselamatan rakyat. 

Dunia membutuhkan jagung
Jagung, meskipun zaman sekarang tidak populer bagi rakyat NTT, namun kini menjadi bahan pembicaraan dunia. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mencatat, pasokan jagung di pasar dunia saat ini semakin menipis, sementara kebutuhan akan jagung meningkat dan menjadi penting. Jagung yang semulanya hanya sebatas bahan baku pakan ternak, kini telah menjadi bahan baku pembuatan etanol untuk produksi Bahan Bakar Nabati (BBN), suatu bahan bakar alternatif yang mulai diminati. 

Harga jagung di pasaran dunia cukup menjanjikan. Di tahun 2007, menembus level US$ 230 per ton (Rp 2.886,5/kg). Pasokan jagung untuk pasaran dunia didominasi oleh Amerika Serikat dengan produksi 40% dari total produksi dunia, disusul China 20%, Eropa 7% dan Brasil 6%. Namun kondisi ini belum sanggup memenuhi kebutuhan jagung dunia. Untuk tahun 2007, total produksi jagung sebesar 690 juta ton, sementara permintaan mencapai 740 juta ton. 

Indonesia baru sanggup mengekspor jagung rata-rata 40 ribu sampai 150 ribu ton per tahun. Sebaliknya import malah mencapai 400 ribu sampai 1,8 juta ton per tahun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Secara nasional, pemerintah berencana menggenjot produksi jagung dari 3,4 ton per hektar selama ini, menjadi 3,7 ton per hektar. Tahun 2010, Indonesia mematok target mengekspor jagung 2 juta ton, dan menjadi basis produksi jagung untuk ASEAN. Meskipun masih berupa rencana dan usaha-usaha menuju ke sana, namun Propinsi Gorontalo telah tampil ke permukaan menjadi penguasa ekspor jagung asal Indonesia ke beragai negara ASEAN. 

Ubah perilaku
Setelah jatropha dan ubi kayu aldira menuai keributan, kini masyarakat NTT dihadapkan lagi dengan program tanam jagung untuk pangan lokal. Sukses tidaknya program pangan lokal NTT sangat terletak pada pundak masyarakat di desa-desa. Di sini, masyarakat harus dikondisikan untuk percaya bahwa jagung atau ubi kayu atau lainnya dapat mengubah nasib hidup mereka. Pemerintah perlu memberikan motivasi yang nyata dengan terlebih dahulu menunjukkan bagaimana mencintai pangan lokal. Wujudnya; snack harian di kantor-kantor pemerintah atau acara-acara pemerintahan, perlu dirubah dari kue tart menjadi singkong olahan, pisang olahan atau jagung olahan. Nasi tumpeng harus diganti dengan jagung bose atau putu. Dan lain-lainnya. 

Dinas pertanian propinsi maupun kabupaten/kota, harus memiliki kebun (ladang dan sawah) sendiri untuk dijadikan contoh. Kebun conton itu harus memperlihatkan bagaimana menanam jagung dan ubi kayu pada kondisi hujan yang tidak menentu tetapi memberikan hasil melimpah. Memperlihatkan bagaimana menanam jagung dan ubi kayu di lahan (ladang) secara menetap alias tidak berpindah-pindah, tetapi memberikan hasil berlipat ganda dari tahun ke tahun. Dengan begitu, tidak terjadi perambahan hutan untuk dijadikan ladang jagung dan ubi kayu dengan alasan menyukseskan program kembali ke pangan lokal. Penanaman jagung dan ubi kayu sukses, kelestarian hutan pun tetap terjaga. 

Dinas pertanian memperlihatkan dan mengajarkan bagaimana keberpihakan menggunakan pupuk bokhasi organik dan menghindari penggunaan pupuk kimia, agar kondisi tanah dapat terawat dan produksi pangan lokal bebas dari kecemasan akan cemaran kimiawi. Di sini dinas pertanian harus melepaskan diri dari cengkraman intervensi monopoli perdagangan pupuk kimia, dan harus serius membeli pupuk bokhasi organik yang diproduksi masyarakat. Dinas pertanian harus memperlihatkan bagaimana panenan jagung dikelola pemasarannya sehingga mendatangkan keuntungan yang besar. Dan berbagai hal baik lainnya yang harus diperlihatkan. Masyarakat pun harus didatangkan untuk melihat contoh-contoh pada kebun milik dinas pertanian itu. 

Kinerja dan pengembangan kerja dinas pertanian perlu dibantu dengan kegiatan penelitian dan pengembangan yang intensif dan terpadu. Untuk itu, perlu dipikirkan agar NTT memiliki Dewan Riset Daerah (DRD) yang berperan melakukan penelitian dan pengembangan untuk pengolahan dan optimalisasi potensi daerah kita, termasuk pengembangan tanaman sumber pangan lokal. Pemerintah daerah perlu memikirkan hal ini dan mempunyai minat memanfaatkan dan memberdayakan ahli-ahli lokal. Sebaliknya, ahli-ahli lokal perlu membenah diri agar laku di mata pemerintah daerah dalam urusan penelitian dan pengembangan dimaksud. 

Untuk dapat memiliki kebun jagung contoh, maka dinas pertanian dapat merekrut para sarjana pertanian dan sarjana berdisiplin ilmu terkait lainnya yang banyak menganggur di NTT, untuk dikontrakkan 'otaknya' mengelola kebun itu berikut pengolahan pasca panennya, sebagai salah satu unit bisnis milik dinas untuk kepentingan daerah. Dengan begitu, dinas pertanian harus menjadi panutan dan benteng pendapatan dan perkuatan perkonomian daerah. 

Dinas itu harus menjadi tempat para petani bersandar, para petani datang dan mendapat penguatan, serta menjalin mitra dengan petani di desa secara bermakna. Bila perlu setiap hari bersama petani di kebun, menanam jagung sambil bernyayi 'ayo kawan kita bersama, menanam jagung di kebun kita....' *

Posted in Label: , , |

0 komentar: