Program Jagung

Oleh Petrus Kase

Kandidat doktor, ilmu administrasi dan kebijakan publik, Universitas Padjadjaran, Bandung

KETIKA membaca berita tentang program jagung di NTT (Kompas, 8 Oktober 2008, hal 22) hati saya terasa sangat lega karena impian saya telah terwujud. Impian ini muncul ketika saya mengikuti dialog sebuah telivisi nasional dengan Gubernur Gorontalo, Fadel Muhamad, tentang keberhasilan program jagung di Propinsi Gorontalo, dua tahun yang lalu. Menurut gubernur, dengan sedikit nada kritikan, "sebagian pemerintah daerah di Indonesia menetapkan banyak program yang bagus, namun kurang sesuai dengan potensi daerah dan kondisi masyarakat sehingga sulit diimplementasikan. Seharusnya setiap pemerintah daerah memiliki satu program unggulan yang sesuai dengan potensi daerah dan kondisi masyarakat". 

Ketika itu saya berpikir, kenapa pemerintah daerah tidak memikirkan program jagung di NTT yang mayoritas masyarakatnya, dari sisi kultur pertanian maupun konsumsi pangan, jagung bukan hal baru? Pikiran lainnya bahwa dengan adanya program jagung di NTT maka produksi jagung akan meningkat dan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat akan menguat sehingga masalah kurang gizi dan busur lapar di NTT dapat dieliminir. 

Program ini patut disambut dengan gembira karena pemerintah daerah peduli dengan kepentingan daerah dan masyarakat. Namun, di satu sisi masih ada keraguan karena walaupun tujuan program ini mulia, belum tentu efektif pencapaiannya. Rumusan program bisa bagus, tetapi implementasinya bisa lemah sehingga menghambat pencapaian tujuan yang diinginkan. 

Keraguan ini muncul karena alasan teoritis maupun empiris. Secara teoritis, sejumlah ahli kebijakan publik mengatakan bahwa setiap kebijakan pemerintah apa pun pasti mengandung risiko kegagalan. Bahkan Hogwood dan Gunn (1974) menjelaskan dua kategori kegagalan kebijakan atau policy failure yaitu non implementation (tidak terimplementasikan) dan unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Non implementation berarti suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai rencana, karena tidak ada kerjasama atau pihak-pihak yang terlibat tidak bekerja secara efisien, atau tidak menguasai permasalahan. Unsuccessful implementation berarti suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai rencana, namun tidak berhasil mencapai tujuan karena kondisi eksternal yang tidak menguntungkan (misalnya, bencana alam dan sebagainya). Biasanya kebijakan gagal karena faktor-faktor seperti : pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), atau kebijakan itu memang bernasib jelek (bad luck). 

Secara empiris, kenyataan membuktikan bahwa sejumlah program pemerintah gagal mewujudkan tujuan yang diharapkan. Padahal, program itu telah dirancang dengan baik di mana tujuan, sasaran, prosedur pelaksanaan, standar dan indikator-indikator pencapaian tujuan telah ditetapkan secara jelas. Salah satu contohnya, program asuransi kesehatan keluarga miskin (askeskin), yang pelaksanaannya dalam tahun 2007 menemui banyak masalah krusial seperti ketidakakuratan data peserta, keterlambatan penerbitan dan distribusi kartu peserta, penyalahgunaan hak atas fasilitas askeskin oleh banyak keluarga tidak miskin hanya untuk bebas dari kewajiban membayar rumah sakit, keterlambatan pencairan dana sehingga proses pelayanan kesehatan di rumah sakit terganggu, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Walaupun demikian, ada juga program pemerintah yang berhasil mewujudkan tujuannya. Misalnya, program jagung di Propinsi Gorontalo. 

Dalam pelaksanaan program jagung di NTT, pemerintah daerah dan seluruh jajarannya serta pihak terkait lainnya dapat belajar dari kegagalan dan keberhasilan sejumlah program pemerintah dalam merealisasikan tujuannya. Keberhasilan program jagung di Propinsi Gorontalo bisa dijadikan contoh. Studi banding bisa dilakukan untuk mempelajari trik-trik keberhasilan program jagung di Propinsi Gorontalo. Tetapi potensi daerah, kondisi lahan, kondisi managemen pemerintahan, dan kondisi sosial budaya dan politik masyarakat tentu berbeda antara Gorontalo dan NTT. Karena itu, faktor-faktor ini perlu diperhitungkan secara matang sehingga dapat diambil strategi yang paling sesuai untuk kondisi di NTT. Bukannya mengadopsi secara utuh trik-trik keberhasilan itu.

Berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan suatu kebijakan atau program tentu dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Van Meter dan Van Horn (1975) mengemukakan enam faktor yang mempengaruhi efektif tidaknya pencapaian tujuan kebijakan yaitu standar dan tujuan, sumber-sumber, komunikasi antar-organisasi dan kegiatan pelaksanaan, karakteristik badan pelaksana, kondisi sosial, ekonomi dan politik, serta sikap pelaksana. Mengacu pada keenam faktor ini dan berbekal sedikit informasi tentang formulasi isi (content) program jagung di NTT, maka penulis ingin memberi beberapa pikiran sebagai berikut. 

Sesuai informasi, Kompas (8 Oktober 2008) mengatakan : "Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT, Ir. Piet Muga di Kupang, Selasa (7/10/2008) mengatakan, sesuai program jangka pendek Gubernur NTT, semua instansi pemerintah saat ini fokus pada budidaya jagung. Tanaman jagung bukan hal baru di NTT karena sudah lama dikenal masyarakat NTT. Hanya tingkat produksi, pemanfaatan dan pemasaran jagung perlu ditingkatkan dan ditata". 

Tujuan program ini sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan produksi, pemanfaatan dan pemasaran jagung, namun hendaknya program ini jangan lebih terfokus pada aspek komersial sehingga pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat diabaikan. Apabila demikian, maka apa dampak program ini terhadap pangan masyarakat? Apakah produksi jagung dijual untuk membeli beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat? Apakah nilai konsumsi jagung sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat NTT telah bergeser karena nilai konsumsi beras atau jenis pangan lainnya? Apabila benar bahwa program ini lebih terfokus pada aspek komersial, maka hal ini sangat ironis, karena kebanyakan masyarakat NTT masih terlilit masalah kurang terpenuhinya kebutuhan pangan, kurang gizi dan busung lapar. Seharusnya tujuan utama program ini adalah pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dan apabila tujuan ini telah tercapai baru diikuti komersialisasi. 

Dari informasi Kompas di atas, juga terlihat seakan sasaran dan cakupan program ini adalah semua instansi pemerintah. Apabila benar maka cakupan program ini masih terbatas dan belum menyentuh sasaran yang sebenarnya yaitu masyarakat petani karena seharusnya mereka yang paling berhak mendapat manfaat dari program ini. Masyarakat petani bisa berperan sebagai pelaksana sekaligus pemanfaat program, bukan sebagai penonton. Masyarakat petani juga butuh pemberdayaan sehingga mereka mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan dan mengatasi kemiskinannya. Instansi pemerintah mungkin hanya boleh berperan sebagai fasilitator namun apakah semua instansi pemerintah cukup kompoten untuk mengemban tugas ini?

Dari sisi sumber-sumber program maka ketersediaan lahan, jenis dan kualitas bibit, pupuk dan fasilitas lainnya merupakan sumber-sumber yang sangat penting dalam mendukung pencapaian tujuan program ini. Karena itu, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menyediakan sumber-sumber ini secara memadai. Apalagi kalau pelaksana program ini adalah masyarakat petani maka adalah kurang bertanggung jawab apabila pemerintah daerah membiarkan masyarakat petani menyediakan sendiri sumber-sumber ini. Pupuk adalah sarana yang sangat penting karena sebagian besar lahan pertanian di NTT adalah lahan kritis. Kurang tersedianya sumber-sumber ini dalam jumlah dan kualitas yang memadai dapat berakibat gagalnya pencapaian tujuan program. 

Begitu pula, kondisi sosial budaya sebagian masyarakat di NTT bisa menghambat pencapaian tujuan program. Misalnya, budaya beternak lepas. Sementara itu, banyak lahan pertanian tidak dipagari oleh pemiliknya atau dipagari tetapi mudah rusak karena ulah ternak maupun manusia. Akhirnya, sejumlah warga masyarakat gagal panen karena tanaman jagung sudah dirusak sejak dini dan tidak memberi hasil apa-apa. Padahal gagal panen juga merupakan salah satu sebab busung lapar di sejumlah daerah di NTT.

Kondisi sosial budaya seperti ini masih ditemui pada sebagian masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan mungkin juga di kabupaten lainnya. Bahkan ada tokoh masyarakat setempat yang tidak peduli jika ternaknya merusak tanaman warga lain. Budaya beternak lepas juga sering mengakibatkan konflik sehingga merusak tatanan dan ikatan sosial warga masyarakat setempat. Namun, persoalan ini pun masih kurang mendapat respon dari pemerintah daerah. Belum ada perangkat hukum pemerintah daerah yang dapat menertibkan kondisi sosial budaya ini secara efektif. 

Demikian beberapa pikiran dalam tulisan ini dan kiranya pemerintah daerah dan seluruh jajarannya, serta pihak terkait lainnya tergugah untuk lebih responsif, antisipatif, akuntabel, efisien dan efektif, dan adil dalam melaksanakan program jagung di NTT. Apabila sasaran program ini adalah warga masyarakat miskin, maka pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat akan semakin menguat sehingga masalah kurang gizi dan busung lapar di NTT dapat dieliminir. Apabila kesejahteraan warga masyarakat miskin meningkat karena program ini maka kepercayaan mereka kepada pemerintah daerah juga akan meningkat.*

Pos Kupang edisi Sabtu 6 Desember 2008 halaman 14

Posted in Label: |

1 komentar:

  1. Anonim Says:

    Prihatin juga terhadap nasib saudara kita di NTT. Harus ada pembenahan secara struktural.