Black Campaign Beras, Perlukah?

Oleh Leta Rafael Levis

TANGGAL 5 Februari 2009, saya diundang manajemen Pos Kupang mengikuti diskusi terbatas tentang pangan lokal dan kedaulatan pangan di NTT. Sebagaimana diwartakan harian ini tanggal 6 Februari 2009, bahwa hal yang menarik dari diskusi ini adalah kehadiran serta ungkapan pengalaman tiga orang petani yaitu Petrus Pebe dari Desa Naimata, Marten Taklal dan Nahor Taklal dari Desa Oeteta. 

Satu nada dasar yang sama diungkapkan ketiganya, yaitu pangan lokal merupakan kebanggaan bagi mereka dan mereka tidak bisa berusahatani dengan baik kalau tidak ada pendampingan secara kontinyu, sehingga mereka menyarankan agar peranan penyuluh baik penyuluh PNS, penyuluh swakarsa maupun penyuluh swasta terus digalakkan (ketiga kelompok penyuluh ini sesuai UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan). 

Hal lain yang menarik dari diskusi tersebut adalah kecerdasan teman sejawat, Ir. Zet Malelak dan Ir. Zainal Arifin, yang mampu mengembangkan potensi lokal yang sejak lama dianggap tidak mungkin oleh banyak pihak, yaitu menyulap daerah kering menjadi daerah penghasil tanaman pangan yang handal masing-masing di Oeteta dan Baumata. Ketika banyak orang meragukan dan melupakan potensi pangan lokal di NTT sebagai pakan utama masyarakat, keduanya justru membuktikan bahwa pangan lokal di NTT dapat menjadi 'pengganti beras raskin'.

Dalam diskusi tersebut saya mengingatkan bahwa persoalan yang krusial dihadapi masyarakat saat ini adalah bukan pada bisa atau tidaknya pemerintah dan masyarakat menanam dan mengonsumsi kembali pangan lokal sebagai pengganti beras. Persoalan utamanya adalah terlanjur terbentuknya persepsi dan perilaku masyarakat bahwa beras adalah makanan utama sehingga hampir semua masyarakat NTT menggantungkan perutnya pada beras. Persoalan akan menjadi semakin sulit dipecahkan ketika kita berusaha mengubah persepsi dan perilaku masyarakat dari 'beras oriented' kepada 'ujakang oriented' (orientasi pada ubi jagung dan kacang-kacangan). Di sinilah diskusi tersebut menjadi semakin hangat ketika saya mengajukan suatu pemikiran dalam bentuk pertanyaan yang agak 'revolusioner' yaitu bisakah dilakukan 'black campaign' terhadap beras agar mengendurkan ketergantungan masyarakat kita kepada beras?

FREN's Spirit
Tahun 2002, suatu hasil penelitian tentang evaluasi perilaku masyarakat penerima dana IDT yang dilakukan bersama Badan Litbangda NTT dan Kelompok Penelitian dan Pengembangan Sosial Ejonomi Pedesaan (KPPSEP) Kupang, menyarankan agar pemerintah harus berani secara perlahan menghentikan bantuan raskin. Beras 'raskin' tersebut selain kualitasnya diragukan, ada akibat jangka panjang yaitu petani menjadi malas menanam tanaman lokal seperti jagung, ubi dan kacang-kacangan. Selanjutnya, tanggal 7 April 2004, pikiran saya pernah dimuat di koran ini dengan judul ' Varieats Lokal Lebih Unggul'. Pikiran-pikiran lepas memang telah lama berkembang agar pemerintah kembali mengembangkan tanaman lokal karena NTT memiliki potensi tanamam lokal yang sangat tinggi. 

Semua saran dan pendapat tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah saat itu. Pemerintah daerah masih keasyikan melaksanakan program pembangunan yang memiskinkan masyarakat terutama kebijakan 'top down' yang tidak memberikan ruang bagi petani untuk mengembangkan kembali tanaman lokal. Akhirnya terbentuklah mentalitas konsumptif dan instan.

Nasihat bijak dari Raja Salomo, "Segala sesuatu ada waktunya". Keinginan serta pemikiran untuk mengembangkan pertanian khususnya potensi lokal menjadi program prioritas baru dapat terwujud setelah paket FREN memimpin provinsi ini. Sebagai seorang penulis, peneliti dan dosen bidang pertanian, saya berpikir bahwa kebijakan pemerintah saat ini terasa menyejukan hati semua orang yang berwatak 'desa oriented' dan 'people welfare oriented'. Kesejukan hati bagi banyak orang merupakan spirit yang baik untuk membangun daerah ini khususnya peningkatan produksi tanaman lokal sebagai upaya menciptakan kedaulatan pangan di level rumah tangga. 

Kita yakin bahwa jika para petani kembali menanam tanaman lokal dan pada suatu saat pemerintah menghentikan bantuan raskin maka kasus busung lapar mungkin tak terjadi lagi. Ini impian kita semua. Jika pemerintah memiliki impian dan keyakinan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat 'grass root', maka mewujudkan 'good governance' dengan mengembangkan potensi lokal adalah salah satu jawaban yang tepat. 

Chen Zhan (2005) menulis tentang Solusi Kreatif Menuju Sukses menyimpulkan ada lima langkah agar usaha berhasil, yaitu 1) impian, 2) tujuan, 3) rencana, 4) tindakan nyata dan 5) keyakinan. Dalam RPMD NTT sudah tercantum secara secara jelas visi, misi (impian), tujuan dan rencana. Semoga semua rencana tersebut dapat diimplementasikan dalam pelaksanaan di lapangan. Kelemahan kita adalah tidak ada tindakan nyata di lapangan serta kita tidak memiliki keyakinan bahwa suatu saat nanti kita akan keluar dari lingkaran kemiskinan. Berpikir dan bertindak fokus adalah kunci keberhasilan. 

Black campaign beras?
Dalam dunia politik istilah 'black campaign' berarti melakukan kampanye negatif (baca: hitam) terhadap seseorang atau sekelompok orang yang tidak sehaluan politik. Tujuannya agar pendengar jangan memilih yang lain selain dirinya karena ia yakin orang lain banyak kekurangan sedangkan dirinya 'sempurna'. Kampanye seperti ini cenderung untuk menjelekkan sesama serta menjadi pemicu konflik di masyarakat.

Sejalan dengan pemikiran di atas, gagasan untuk melakukan 'black campaign' terhadap beras memiliki makna yang agak sedikit berbeda yaitu berusaha untuk menyebarluaskan informasi tentang hal-hal yang 'kurang' dari beras tetapi bukan pada beras sebagai obyek (kecuali raskin) tetapi pada situasi eksternal yang mengancam kelangsungan perberasan di masa yang akan datang. Tujuan dari kampanye jenis ini adalah agar masyarakat khususnya petani jangan terlalu menggantungkan hidupnya pada makanan yang berasal dari beras - apalagi beras raskin -, masyarakat diarahkan untuk beralih ke makanan lokal. Kampanye ini jauh dari maksud agar kita tidak boleh makan nasi. 

Mengapa ide ini harus didifusikan kepada banyak orang? Saat diskusi, tantangan pertama datang dari Ir. Oematan (Direktur Politani Kupang). Dia menyatakan bahwa kita tak mungkin melarang orang untuk makan nasi (beras) karena memang ada orang yang sejak kecil hanya makan nasi tak pernah sentuh jagung atau ubi. Ide kampanye hitam terhadap beras tidak dimaksudkan agar orang tidak boleh makan nasi. Ide ini muncul sebagai sumbang pikir bagi keberhasilan program penggalangan pangan lokal oleh pemerintah saat ini serta tanggapan bahwa produk lokal memang harus menjadi sandaran para petani di NTT karena beras akan memasuki masa sulit untuk 15 tahun ke depan. 

Adakah alasannya kampanye ini?Alasan pertama, hasil kajian IRRI (International Rice Research Institute), negara-negara di kawasan Asia termasuk Indonesia dalam kurun 10 tahun ke depan akan mengalami krisis pangan (khususnya beras) yang berkepanjangan dan disinyalir akan membahayakan kehidupan jutaan umat manusia di dunia. Alasannya, a) para petani umumnya dalam waktu tak lama lagi akan mengalami kekurangan air irigasi untuk beberapa kawasan Asia termasuk Yelloo River di Cina karena tidak mencapai lagi lautan pada musim kemarau. Bahkan pada tahun 2006, permukaan sungai Mekong turun sampai titik terendah. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Padahal jutaan petani kita tergantung pada suplai air irigasi dari sungai-sungai yang ada. b) Hasil penelitian terakhir tentang isu pemanasan global dunia akan berdampak sangat serius pada suplai beras. Produktivitas padi diperkirakan akan turun mencapai 10% pada setiap peningkatan 1 derajat Celsius pada malam hari. 

Perubahan iklim pada daerah lainnya, seperti kekeringan dan menaiknya permukaan laut juga berakibat pada produksi beras. Hal ini merupakan peringatan serius. c) Hal yang terpenting bagi Indonesia adalah terjadinya degradasi kualitas sumber daya manusia (Petani) sebagai pelaku produksi. Industri perberasan tidak lagi menarik minat dan menghasilkan keuntungan karena para petani yang ada kini telah termakan usia dan mengalihkan anak-anaknya belajar di luar uasahataninya.
Akibat kekurangan air, pemanasan global dan menurunya SDM petani baik jumlah maupun kualitas akan mengurangi kemampuan Asia khususnua Indonesia untuk menghasikan beras yang dibutuhkan. Dalam waktu dekat dampaknya belum terasa akan tetapi untuk jangka panjang berdampak sangat serius karena akan secara nyata mengurangi kemampuan negara-negara Asia menghasilkan beras sebagai upaya mempertahankan Ketahanan Pangan Regional, Stabilitas Politik dan Pembangunan Ekonomi.

Alasan kedua, estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286.021 juta sehingga akan terjadi peningkatan permintaan konsumsi bahan pangan dan 30 tahun yang akan datang Indonesia membututuhkan tambahan ketersediaan pangan ± 1,35 kali lipat dari jumlah kebutuhan sekarang akibatnya terjadi kerisauan akan kerawanan pangan. Di lain pihak, sumber daya lahan dan hutan mengalami degredasi 2,5 - 2,8 juta ha/tahun sedangkan rehabilitasi hanya 400.000-500.000 ha/tahun, krisis lahan pertanian menurun rata-rata 141.000 ha/tahun dan sebagian sistem irigasi tidak berfungsi atau rusak.

Berdasarkan kedua pertimbangan di atas maka pemerintah Indonesia saat ini menggenjot program revitalisasi pertanian. Untuk maksud tersebut berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti terbitnya UU No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K dan beberapa kebijakan lain seperti a) mengembangkan tanaman lokal non beras, b) meningkatkan kualitas sumber daya petani, dan c) meningkatkan minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian.

Alasan ketiga, saat ini terjadi kecenderungan perubahan pola makan bagi negara-negara di Asia Selatan seperti India, Pakistan, Sri Lanka serta beberapa negara di Afrika. Saat ini mereka sudah mulai mengonsumi beras yang sebelumnya mengonsumsi gandum. Perubahan perilaku konsumsi ini akan bertambah dari tahun ke tahun yang berakibat pada persaingan masyarakat dunia untuk memperoleh beras. Di lain pihak, produktivitas beras terus menurun. Tidaklah mustahil bahwa suatu saat nanti kita akan sulit memperoleh beras.

Alasan keempat, daerah persawahan di NTT secara perlahan mengalami penurunan produktivitas padi karena empat alasan utama, seperti 1) pengalihan fungsi lahan sawah untuk kepentingan pemukiman khususnya bangunan (kasus di Lembor, Satar Mese, Mbay dan daerah persawahan lin di NTT), 2) menurunnya debit air karena pemanasan global yang mulai mengancam sumber air irigasi di NTT, 3) ketiadaan tenaga kerja produktif yang ada di desa karena sebagian besar tenaga kerja produktif telah 'escape' melalui program TKI, dan 4) usaha persawahan hanya akan memberikan keuntungan bagi petani jika luas lahan yang dikelola minimal satu hektar. Kenyataan, petani sawah kita memiliki luas lahan rerata hanya setengah hektar. Secara ekonomis petani yang memiliki lahan demikian hanya mampu mencapai 'break even point' belum mencapai keuntungan . Jika petani rasional maka dalam kondisi seperti ini mereka akan meninggalkan tanaman padi dan beralih ke tanaman lain.

Dengan melihat fakta yang disebut di atas, maka saya berpikir tidak terlalu berlebihan dan cukup rasional kalau saya menawarkan suatu gagasan alternatif untuk menggelorakan semangat menanam dan mengonsumsi pangan lokal serta mulai mengurangi konsumsi beras dengan suatu gagasan 'black campaign' terhadap beras. *

Pos Kupang edisi 2 Maret 2009 halaman 14

Posted in Label: , |

0 komentar: